Menuju konten utama

Berjalan Kaki Menjadi Kian Berbahaya bagi Penyandang Disabilitas

Pedestrian berebut dengan para pengendara, pedagang kaki lima, dan lahan parkir. Berjalan kaki menjadi kian berbahaya, terlebih bagi penyandang disabilitas.

Berjalan Kaki Menjadi Kian Berbahaya bagi Penyandang Disabilitas
Header Mozaik Jalan Kaki. tirto.id/Tino

tirto.id - Jika memungkinkan, saya selalu ingin berjalan kaki untuk pergi ke mana-mana. Sederhana alasannya, jalan kaki menyenangkan.

Mengutip Sheila Sarkar dalam "Determination of Service Levels for Pedestrians" (Transportation Research Record, 1993), meski terlihat sebagai proses behavioristik alakadarnya, "berjalan kaki membutuhkan proses input sensorik yang cukup rumit, menautkan aspek persepsi manusia seperti penglihatan tepi, kedalaman, kecepatan dan arah, serta pengenalan suara secara bersamaan."

Ya, jalan kaki merupakan stimulan sensorik terbaik bagi manusia.

Hal ini diamini oleh Paul Salopek, jurnalis cum pengembara National Geographic. Ia menghabiskan waktu tujuh tahun untuk berjalan kaki sejauh 32.000 kilometer dari Afrika ke pelbagai penjuru dunia guna mengulang proses migrasi manusia modern.

Berjalan kaki, tutur Salopek, "merupakan proses yang memaksa kita, manusia, melambat. Dan dengan melambat, semua yang kita lihat [dalam perjalanan] menampakkan wujudnya secara jelas."

Kiwari, di Indonesia berjalan kaki tak mudah dilakukan. Bukan hanya soal godaan kendaraan bermotor yang mudah dimiliki via skema cicilan, melainkan tentang infrastruktur pejalan kaki yang tak memadai, bahkan tidak ada sama sekali.

Mengutip catatan laman resmi Pemerintah DKI Jakarta, ibu kota hanya memiliki jalur pedestrian sejauh 545 kilometer per 2020, kalah jauh dibandingkan total panjang jalan bagi kendaraan bermotor yang mencapai angka 6,7 ribu kilometer di tahun yang sama.

Tak mau kalah, dari 1,2 ribu kilometer jaringan jalan yang dimiliki, Bandung hanya menyediakan trotoar sepanjang 117 kilometer. Membiarkan Jalan Raya Ciwastra, misalnya, hanya dinikmati pengendara kendaraan bermotor.

Dari secuil jalur pedestrian tersebut, sebagaimana dipaparkan Sonya Sidjabat dalam "Alih Fungsi Trotoar Untuk Pejalan Kaki" (Jurnal Manajemen Bisnis Transportasi Dan Logistik, 2016), sebagian besar telah beralih fungsi sebagai tempat pedagang menjajakan jualannya, lahan parkir, dan tempat pemerintah menempatkan pot tanaman.

Akibatnya, berjalan kaki--dianggap sebagai moda transportasi via Undang-Undang No. 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan--merupakan aktivitas yang sangat berbahaya. Sepanjang 2013, 30 persen pejalan kaki mengalami 3.675 kasus kecelakaan. Ini jadi kian membahayakan bagi para penyandang disabilitas.

Menurut Sally Octaviana dalam "Jalur Trotoar Responsif Penyandang Low Vision" (Inklusi, 2019), hal ini terjadi karena selain jalur pedestrian telah banyak dialihfungsikan secara paksa untuk kebutuhan lain, trotoar umumnya dibangun dengan tidak memedulikan kebutuhan penyandang disabilitas.

Untuk bisa digunakan orang-orang yang memiliki penglihatan low vision ataupun tuna netra, trotoar mesti memiliki penanda lokasi atau oritentasi (lajur pemandu). Juga pemberian warna atau material atau ketinggian yang berbeda antara jalur pedestrian dan jalan kendaraan bermotor guna memudahkan penyandang low vision membedakan mana tempatnya bergerak dan mana yang bukan.

Sayangnya, melihat kenyataan di Jalan Pasar Baru Bandung sebagai lokasi penelitian, Sally tak menemukan aspek-aspek krusial bagi penyandang low vision dalam berjalan kaki.

Bahkan, penyandang disabilitas diadang oleh rintangan, seperti keberadaan tiang di tengah trotoar, yang sangat mengganggu penyandang low vision mengandalkan kemampuan mereka melihat banyangan objek untuk berjalan kaki.

Dalam penelitian lain, yang dilakukan dengan mengamati keadaan Jalan Gegerkalong Hilir dan Jalan Ciumbuleuit di Bandung, ketidakramahan terhadap penyandang disabilitas berjalan kaki di trotoar terlihat jelas.

Hal ini antara keberadaan jalur hijau yang tidak sesuai standar, lampu penerangan yang berjarak 23 meter dari masing-masing lokasi (jarak ideal 10 meter), pagar pengaman yang dibuat serampangan, serta perambuan yang rusak.

Jalur pedestrian di Indonesia, mengutip Danoe Iswanto dalam "Pengaruh Elemen-Elemen Pelengkap Jalur Pedestrian Terhadap Kenyamanan Pejalan Kaki" (Enclosure, 2006), umumnya dibuat dengan tidak mengikuti standar, khususnya untuk memenuhi kebutuhan penyandang disabilitas.

Melalui pedestrian yang tak ramah penyandang disabilitas, pemerintah telah melanggar kewajibannya. Keputusan Menteri Pekerjaan Umum No. 468 tahun 1998 menyebutkan bahwa persyaratan teknis suatu lingkungan harus memiliki aksesibilitas dan universalitas.

Selain itu, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 Tentang Penyandang Disabilitas juga mewajibkan infrastruktur dibangun dengan memperhitungkan aksesibililitas masyarakat berkebutuhan khusus.

Ini diterjemahkan pada tingkat kota, misalnya, melalui Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 26/2009 tentang kesetaraan dan pemberdayaan penyandang cacat. Atau Peraturan Daerah Kota Depok Nomor 13 Tahun 2013 yang mensyaratkan fasilitas publik dibangun dengan memperhitungkan kesetaraan penyandang disabilitas.

Padahal, merujuk publikasi Biro Pusat Statistik (BPS), terdapat 22,5 juta jiwa penyandang disabilitas di Indonesia yang membutuhkan perhatian khusus--termasuk hak berjalan kaki yang aman dan nyaman.

Infografik Mozaik Jalan Kaki

Infografik Mozaik Jalan Kaki. tirto.id/Tino

Terlebih, atas anggapan sebagai "masyarakat kelas dua", peyandang disabilitas umumnya tak memiliki kesempatan seperti masyarakat umum lainnya, khususnya tentang pendidikan dan pekerjaan.

Merujuk publikasi UNESCO, 90 persen anak-anak dengan penyandang disabilitas tidak bersekolah. Dan jika bekerja, mereka umumnya memperoleh penghasilan yang jauh berbeda dengan masyarakat umum.

Pembangunan fasilitas publik dalam bentuk trotoar yang tak ramah disabilitas ini sangat memprihatinkan. Padahal, infrastruktur atau produk atau layanan yang menjunjung tinggi hak-hak disabilitas merupakan indikator terbaik dalam melihat bagus atau tidaknya suatu infrastruktur atau produk atau layanan, baik ditujukan khusus bagi penyandang disabilitas ataupun tidak.

Pembangunan fasilitas publik dalam bentuk trotoar yang tak ramah disabilitas ini tak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga di Amerika Serikat.

Sebagaimana dipaparkan Peter Norton dalam Fighting Traffic (2008), semakin populernya mobil digunakan masyarakat AS sejak awal abad ke-20, Paman Sam semakin tak peduli untuk membangun trotoar bagi masyarakat umum, apalagi memperhitungkan hak-hak penyandang disabilitas.

Terlebih, karena ingin menggenjot hasil maksimal dalam mendulang penghasilan, National Automobile Chamber of Commerce, kelompok lobi terkemuka untuk produsen mobil, melakukan segala tipu daya untuk menjauhkan aturan-aturan yang berpihak pada pejalan kaki dan penyandang disabilitas.

Mereka menyuplai laporan-laporan saintifik palsu kepada pelbagai editor di seluruh penjuru AS dan menyebut bahwa "pejalan kaki tak ubahnya bagai badut" yang membuat jalanan tak aman karena menjadi sebab utama kecelakaan lalu lintas.

Baca juga artikel terkait HARI DIFABEL INTERNASIONAL atau tulisan lainnya dari Ahmad Zaenudin

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Irfan Teguh Pribadi