Menuju konten utama

Berharap Macet Lekas Lenyap dari Margonda Raya

Saking sepinya Jalan Margona tiga puluh tahun silam, orang bisa main bola di tengah jalan.

Berharap Macet Lekas Lenyap dari Margonda Raya
Bagus Takwin. tirto.id/Sabit

tirto.id - Antara 1989-1990, hampir tiga puluh tahun lalu, saya sering bermain bola di tengah Jalan Margonda Raya setelah jam 7 malam. Hanya itu kenangan manis yang tersisa tentang jalan utama kota Depok yang panjangnya 4,895 km itu. Selebihnya, sekitar 1994-1997, Jl. Margonda Raya adalah arena yang menegangkan bagi penyeberang jalan, termasuk saya. Tiap kali menyeberang, rasanya seperti bertaruh nyawa.

Barangkali waktu itu para pengendara motor atau mobil membayangkan bahwa Jl. Margonda Raya adalah jalan luar kota yang pantas dilalui dengan kecepatan tinggi. Walhasil, para penyeberang kerap dimaki. Saking tegangnya waktu itu, tiap kali menyeberang, saya menganalogikan Jl. Margonda Raya sebagai pistol dalam permainan Rolet Rusia: kalaupun bukan saya, pasti orang lain yang mampus.

Saya tidak ingat betul kapan jalan itu bersinonim dengan kemacetan seperti sekarang ini. Saya menduga kemacetan mulai terjadi pada pertengahan dekade 1990-an, setelah banyak perumahan bertebaran di seputar Depok dan dibangun dua atau tiga pusat perbelanjaan di sepanjang Jl. Margonda Raya. Sejujurnya, saya agak lega karena kemacetan membuat jalan lebih mudah diseberangi. Saya bisa menyelip di antara mobil dan motor yang tertahan padatnya jalan.

Kekesalan macet di Jl. Margonda Raya baru membuncah setelah saya tinggal agak jauh dari lingkungan Universitas Indonesia. Saya harus mengendarai kendaraan bermotor untuk menempuh jarak antara rumah dan kampus tempat saya bekerja sekitar 9 km. Tapi karena macet, perjalanan dengan mobil bisa memakan 45-60 menit. Di puncak kemacetan, waktu tempuhnya bisa lebih dari 1,5 jam. Jangankan ke rumah, saya pernah menghabiskan waktu 1,5 jam di perjalanan dari Fakultas Psikologi UI ke Margocity.

Meski pada 30 November 2017 Dinas Perhubungan Kota Depok menyatakan bahwa taraf kepadatan Jl. Margonda Raya masih wajar, bagi saya kemacetan di jalan tersebut terutama pada sore hingga malam hari, apalagi pada Sabtu dan Minggu, sudah sulit ditoleransi.

Bisa jadi memang benar jika tarafnya masih wajar. Rasio kepadatan Jl. Margonda Raya berada di skala 0,53-0,75 alias masih dalam batas normal, belum mencapai rasio macet total 0,8-1. Namun, lagi-lagi, arus kendaraan yang padat itu membuat perasaan tertekan dan tak berdaya membungkus diri saya sepanjang jalan.

Berkendara di Jl. Margonda Raya adalah uji kesabaran: menunggu lalu-lintas bergerak sambil menyaksikan tingkah laku berkendara orang lain yang semena-mena, menahan diri untuk tidak marah atas kesalahan pengendara lain di sana. Bagaimanapun, macet menyuburkan dorongan egosentris; orang mudah mengabaikan orang lain dan mengorbankan kepentingan bersama.

Menguras Sumber Daya Mental

Kadang saya menghibur diri dengan berpikir bahwa apa yang saya alami jauh lebih baik dari para pengemudi yang harus melewati Jl. Margonda Raya setelah menempuh perjalanan panjang dari Jakarta atau Bekasi atau Tangerang. Dalam perkiraan saya, penderitaan mereka tentu lebih lama dan berat.

Namun, semakin saya menghibur diri, saya pun semakin sedih. Sembilan kilometer saja sudah membuat saya luar biasa tertekan dan kehilangan waktu 1,5 jam. Lantas bagaimana dengan mereka? Berapa banyak sumber daya material dan mental mereka yang terkuras?

Selain boros waktu, uang, dan bahan bakar, macet memperbesar risiko gangguan kesehatan karena karbondioksida yang mengiringi perjalanan. Biaya psikologis dan sosial dari kemacetan juga tak kalah besar dan merupakan penyebab utama stres karena ketidakpastian dan rasa kehilangan kendali. Kebosanan, isolasi sosial, amarah, dan frustrasi kerap terlihat pada raut wajah para pengemudi.

Banyak studi psikologi menunjukkan efek negatif dari kemacetan dan perjalanan panjang yang terpaksa dilakoni saban hari. Studi menunjukkan bahwa efek negatif perjalanan pulang menyusuri kemacetan jauh lebih besar kepada para penglaju ketimbang saat mereka berangkat ke kantor. Perjalanan pulang merupakan aktivitas yang paling tidak memuaskan dari semua jenis aktivitas sehari-hari, serta menimbulkan perasaan tak sabaran dan kelelahan.

Beberapa dampak negatif dari akumulasi perjalanan pergi dan pulang kantor dalam kemacetan adalah peningkatan tekanan darah, masalah otot, toleransi rendah terhadap frustrasi, kecemasan dan permusuhan yang lebih tinggi, perasaan mudah tersinggung, serta kinerja yang buruk dan rendahnya tingkat kepuasan bekerja.

Jejak-jejak emosional perjalanan berangkat dapat menyebabkan suasana hati yang buruk saat tiba di tempat kerja. Kondisi mental ini semakin memperkuat rasa ketidaknyamanan selama perjalanan pulang.

Wajar jika banyak orang sampai di rumah dengan tubuh yang letih dan energi mental terkuras, sehingga berpengaruh pada rendahnya kualitas hubungan dalam keluarga. Seberapa besar kita bisa berharap pada orang yang mengalami kelelahan fisik dan mental tiap hari?

Pemkot Depok wajib mengatasi macet. Dan sembari menunggu Pemkot membereskannya dalam waktu yang lama, sebaiknya para pengendara melakukan upaya mencegah efek negatif kemacetan. Saya kira sudah banyak yang melakukan upaya ini: melawan kebosanan dengan menemukan aktivitas menyenangkan dalam perjalanan dengan kendaraan bermotor.

Upaya lain adalah menyiapkan diri menghadapi ketidakpastian. Ketidakpastian bukan untuk dilawan, melainkan situasi yang perlu dihadapi dengan keterbukaan pikiran dan kesiapan mental. Kejadian tidak terduga dan tidak pasti di jalan memang dapat menyebabkan tekanan darah meroket. Namun, menyikapi hal-hal yang tak terduga dengan respons berlebihan akan menyita lebih banyak energi dan fokus. Berharap yang terbaik seraya mengantisipasi yang terburuk adalah cara menyiasati ketidakpastian.

Ketika bergulat dengan Jl. Margonda Raya, saya mulai mensugesti diri untuk mengakui bahwa kontrol pribadi saya terhadap situasi di jalan itu kurang, sangat kecil, bahkan mungkin nol. Saya harus menyadari bahwa saya tidak dapat mengendalikan faktor-faktor lingkungan yang ada di sana sehingga saya perlu menyiapkan diri menghadapi kejadian yang tidak pasti dan mungkin mengesalkan.

Bukan berarti saya tidak lagi berharap jalan itu akan bebas macet. Saya ingin macet hilang dari Margonda dan meminta Pemkot Depok menemukan caranya. Tentu saya tidak berharap bisa main bola lagi di sana. Yang saya inginkan: siapa pun yang melintasi jalan itu tidak terampas kebahagiaannya, saling menghargai, saling memanusiakan.

Sebagaimana kita ingin hidup yang penuh berkah, saya ingin Jl. Margonda Raya menjadi berkah bagi banyak orang dengan kelancarannya.

*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.