Menuju konten utama
3 April 2016

Panama Papers: Menyingkap Teknik Jahat Penggelapan Pajak

Bocoran Panama Papers hanya puncak gunung es dari sistem finansial global yang tak transparan.

Panama Papers: Menyingkap Teknik Jahat Penggelapan Pajak
Ilustrasi Panama Papers. tirto.id/Nauval

tirto.id - "Aku tak mencari laba!"

Direktur dari John Holt, perusahaan dagang asal Inggris, menerangkan kepada Raymond W. Baker ihwal bagaimana perusahaannya berbisnis di Afrika. Saat itu 1962. Baker, yang baru tiba di Nigeria untuk memimpin satu perusahaan, terkesiap mendengarnya.

Waktu Baker bertanya bagaimana ia menentukan harga mobil-mobil impor, bahan baku, dan barang konsumsi, ia menambahkan, “Harga bukanlah soal. Aku cukup berusaha meningkatkan omset penjualan.”

Peraih M.B.A. dari Sekolah Bisnis Harvard ini jelas kebingungan mencerna ajaran itu. “Apa yang sebenarnya terjadi di sini? Kita tahu bahwa orang menanam uangnya di suatu tempat agar bisa mendapat laba, bukan? Bukankah ini adalah pedoman mendasar; dasar dari kapitalisme?” batin Baker.

Sekian tahun kemudian, ia insyaf semua asumsinya salah belaka.

"Banyak orang menanam modalnya di suatu tempat untuk menuai labanya di tempat lain," tulis Baker dalam Capitalism’s Achilles Heels (2005).

John Holt, misalnya, menyiasati harga impor sebagai mekanisme agar keuntungannya di Nigeria tampak kecil, sedangkan untungnya yang besar dituai di negara asalnya, Inggris.

Praktik itu tak hanya dilakukan John Holt. Sebagian besar perusahaan asing di Nigeria melakukan hal sama. Tak berhenti di situ, ia kemudian tahu bahwa orang-orang terkaya Afrika yang terlibat perdagangan luar negeri pun secara ilegal memindahkan uangnya ke luar negeri dengan cara serupa.

Modus dagang semacam ini tentu merugikan negara tempat berinvestasi. Jika laba John Holt tidak dipindahkan ke Inggris, akan ada bagian dari laba yang diserap negara lewat pajak. Dengan dana pajak itu Nigeria bisa membiayai pembangunan infrastruktur, pendidikan, juga kesehatan.

Puluhan tahun menjadi pebisnis lintas-negara, Baker menemukan bahwa pemindahan laba—yang juga dikenal sebagai transfer pricing/trade misinvoicing—hanyalah salah satu siasat pemindahan dana dari suatu negara.

Ia melihat bagaimana pemimpin-pemimpin negara korup menyimpan duit hasil korupsi dan pencucian uang dalam rekening-rekening rahasia luar negeri. Juga, uang hasil kriminal lain seperti penjualan narkoba, pencurian, atau perdagangan manusia. Semua pemindahan uang secara ilegal yang dikondisikan dalam transaksi rahasia itu disebut sebagai illicit financial flows atau aliran dana gelap.

Karena aliran dana gelap itu membuat negara-negara miskin dan berkembang kehilangan potensi pendapatannya, muncul satu kesimpulan dalam benak Baker yang juga membuatnya mendirikan lembaga think tank Global Financial Integrity (GFI): "Aliran dana gelap adalah babak terburuk ekonomi global setelah perbudakan."

Salah satu yang paling berperan dalam babak terburuk ekonomi global itu adalah layanan jasa di negara-negara suaka pajak seperti firma Mossack Fonseca di Panama. Data tentang itu kemudian bocor secara massif lewat kumpulan dokumen yang dikenal sebagai 'Panama Papers', yang diungkap ke publik pada 3 April 2016, tepat hari ini 4 tahun lalu.

Dua hal utama yang menyebabkan negara seperti Panama dimanfaatkan dalam pengaliran dana gelap: pajak nol/sangat rendah dan jaminan kerahasiaan.

Modus Penghindaran Pajak

Menurut Baker, komponen suap dan pencurian hanya menyumbang dana gelap sebanyak 3 persen, meski dua hal itu juga menyebabkan kerugian turunan. Perkara kriminal menyumbang sekitar 30-35 persen. Musabab terbesar dalam perkara dana gelap adalah trade misinvoicing yang menjadi modus pebisnis menghindari pajak dengan bantuan negara surga pajak.

Transaksi perdagangan yang mengakali harga dilakukan dengan cara membuat perusahaan perantara di negara surga pajak semacam Panama. Katakanlah ada satu perusahaan di Indonesia bernama PT Asianaga. Asianaga hendak mengekspor kursi ke satu perusahaan di Belanda. Tapi, alih-alih mengekspor langsung ke Belanda dalam harga wajar sehingga bisa mendapat laba yang juga wajar, Asianaga bersiasat dengan skema lain.

Asianaga tak mau mengekspor langsung ke Belanda dengan harga wajar, sebab jumlah laba yang didapatkan akan membuatnya membayar pajak sebesar 25 persen laba itu. Karenanya, Asianaga menempuh cara lain agar pajak yang dibayarkan ke pemerintah Indonesia angkanya lebih kecil.

Langkah pertama: membuat perusahaan cangkang di negara yang pajaknya nol atau sangat kecil seperti Panama. Selanjutnya, kursi diekspor ke perusahaan cangkang itu dengan harga jual rendah. Langkah terakhir: perusahaan cangkang menjual lagi kursi itu ke Belanda dengan harga seharusnya.

Dari skema itu, tentu laba yang terlapor dalam neraca keuangan Asianaga akan jauh lebih kecil ketimbang menjual langsung kursinya ke Belanda dengan harga wajar. Otomatis, pajak yang harus dibayarkan jauh lebih kecil daripada yang seharusnya.

Infografik Mozaik Panama Papers

Infografik Mozaik Surga Pajak dalam Panama Papers. tirto.id/Nauval

Pelaku Untung, Kesejahteraan Tak Merata

Hilangnya potensi pemasukan negara itu menjadi salah satu poin yang menyebabkan aliran dana gelap ini menjadi topik kontroversial. Umumnya, barisan pendukung menganggap praktik itu sah, terutama ketika ia tak bisa dibuktikan sebagai tindakan ilegal. Apalagi, pencarian laba dan akumulasi modal sebanyak-banyaknya kerap diterima begitu saja sebagai hal mendasar dalam praktik kapitalisme.

Sementara itu, kelompok penolak terdiri dari beberapa spektrum. Ada yang sama sekali menolaknya dengan dasar bahwa kapitalisme itu sendiri bermasalah, sehingga praktik apapun di dalamnya tak mungkin menciptakan keadilan.

Posisi Baker lain. Pendiri Global Financial Integrity ini menyatakan dirinya tak hendak mengajukan sistem selain kapitalisme. Tapi, ia meyakini praktik aliran dana gelap adalah kekeliruan yang harus ditiadakan. Kapitalisme bisa diperbaiki dengan mewujudkan sistem yang transparan.

Ketika praktiknya transparan, pertumbuhan ekonomi seharusnya mampu menguntungkan kaum miskin; mendistribusikan kesejahteraan. Ini akan lebih gamblang jika dilihat dalam perbandingan angka seperti berikut.

Menurut data Global Financial Integrity (GFI), pada rentang 2004-2013, rata-rata aliran dana gelap dari Indonesia mencapai $18.071 juta atau sekitar Rp220 triliun per tahun. Dari angka itu, praktik trade misinvoicing menyumbang angka rata-rata $16.759 juta atau Rp204 triliun setiap tahunnya. Jika agregat pendapatan pajak dari trade misinvoicing diasumsikan 15 persen saja, maka seharusnya ada pemasukan Rp30,6 triliun untuk negara.

Sekarang, mari bandingkan angka tersebut dengan beberapa komponen belanja negara dalam APBN pada saat itu, misalnya Biaya Operasional Sekolah (BOS). Dalam APBN 2016, anggaran untuk membiayai operasi sekolah-sekolah itu totalnya Rp43,9 triliun.

Jika Anda termasuk yang percaya pendidikan sebagai salah satu jalan untuk memperbaiki tingkat penghidupan, maka perbandingan ini layak dibaca: potensi pajak dari trade misinvoicing bisa menutup biaya operasional sekitar 70 persen sekolah di seluruh Indonesia.

Potensi pemasukan negara yang hilang akibat modus pengelakan pajak itu bisa menyediakan 11 kali lipat anggaran pembangunan fisik sekolah-sekolah dasar di Indonesia. Sebab, penganggaran dana alokasi khusus fisik untuk pendidikan dalam APBN 2016 cuma Rp2,7 triliun untuk setahun.

Apabila Indonesia diyakini sebagai negara agraris, di mana sepatutnya tak ada bayi dan anak kurang gizi, maka dana hantu yang lari dari Indonesia itu setara hampir empat kali lipat anggaran kedaulatan pangan Rp8,3 triliun. Ia juga melebihi anggaran subsidi pupuk yang totalnya Rp30,1 triliun.

Bagaimana dengan visi Indonesia sebagai negara maritim? Jika dibandingkan dengan dana alokasi khusus perikanan dan kelautan sebesar Rp1,3 triliun, maka uang yang lenyap tadi berpotensi menutup dana alokasi fisik bidang ini sebanyak 23 kali lipat dari yang dianggarkan.

==========

Artikel ini pertama kali ditayangkan pada 11 April 2016 dengan judul "Bergelap-gelap Menghindari Pajak". Kami melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk rubrik Mozaik.

Baca juga artikel terkait PANAMA PAPERS atau tulisan lainnya dari Maulida Sri Handayani

tirto.id - Ekonomi
Penulis: Maulida Sri Handayani
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti & Ivan Aulia Ahsan