Menuju konten utama

Berebut Manisnya Pasar Kredit Ultra Mikro

Pemerintah akan membentuk holding pembiayaan untuk usaha ultra mikro. Pangsa pasarnya jelas besar dan belum banyak digarap.

Berebut Manisnya Pasar Kredit Ultra Mikro
Pekerja menyelesaikan proses produksi roti di Cisaranten Endah, Bandung, Jawa Barat, Selasa (27/10/2020). ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi/foc.

tirto.id - Pemerintah akan membentuk holding yang terdiri dari PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk, PT Permodalan Nasional Madani (Persero), dan PT Pegadaian (Persero). Holding sektor pembiayaan ini akan menggarap pasar kredit dengan plafon kecil yang menjangkau usaha mikro kecil menengah (UMKM).

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan holding dibentuk untuk “melayani lebih banyak dan lebih luas,” sebab sampai sekarang 65 persen dari 54 juta pelaku usaha UMKM belum terlayani lembaga keuangan formal. Ditargetkan holding akan melayani 20 juta usaha ultra mikro per 2024.

Sejauh ini rencana “disetujui Komite Privatisasi dan KSSK sudah memberi dukungan,” kata Sri Mulyani dalam rapat dengan Komisi XI DPR RI, Senin (8/2/2021).

Pembentukan holding akan menggunakan skema right issue atau penerbitan saham baru oleh Pegadaian dan PNM yang kemudian akan dikuasai oleh BRI. Seluruh saham seri B Pegadaian dan PNM yang dimiliki pemerintah akan disetorkan ke BRI. Setelah right issue, BRI akan memiliki seluruh saham seri B Pegadaian dan PNM dengan porsi 99,9 persen. Pemerintah hanya akan memegang 1 lembar saham seri A di Pegadaian dan PNM, sementara di BRI tetap terjaga di 56,75 persen dan sisanya publik.

Meski diproyeksikan positif, ternyata masing-masing BUMN yang terlibat mengaku khawatir holding akan mengikis eksistensi mereka.

“Pegadaian punya 4.087 outlet tapi belum boleh menyalurkan KUR dan super mikro. Pegadaian punya fasilitas multifinance, BUMN besar dengan jaringan luas, pegawainya saja sampai 30 ribu,” kata Direktur Utama PT Pegadaian Kuswiyoto juga dalam rapat dengan DPR di saat yang sama. “Ini agak nyesek.”

Dalam rapat itu pula Direktur Utama PNM Arief Mulyadi mengeluhkan hal yang sama. Dia mengatakan tak ingin pasar andalan perusahaan selama ini terusik. Apalagi, di tahun lalu PNM mendapat suntikan modal dari pemerintah melalui PEN sebanyak dua kali dengan total Rp2,5 Triliun. Belum lagi mereka juga pernah diberikan tugas oleh Presiden Joko Widodo untuk menyalurkan Bantuan Produktif Presiden (Banpres) melalui kerja sama dengan Kementerian Koperasi dan UKM.

Kredit ultra mikro dengan rentang penyaluran kredit di bawah Rp10 juta merupakan peluang bisnis yang cukup menggiurkan, baik dari sisi volume maupun potensi pendapatan. Catatan PNM, kredit ultra mikro bisa memberikan pendapatan dari bunga kredit hingga 25 persen untuk tiap transaksi. Angka ini jauh di atas rata-rata bunga Kredit Pemilikan Rumah (KPR) yang berkisar 7-9 persen, misalnya.

Namun, ceruk ini memang tak bisa hanya digarap oleh PNM saja. Seperti yang dikatakan Sri Mulyani, masih banyak usaha ultra mikro belum bisa menikmati akses keuangan formal seperti yang diberikan PNM.

Akhirnya banyak pelaku usaha yang mencari alternatif pembiayaan lain seperti rentenir dan pinjaman online. Ketua Bidang Humas Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) Andi Taufan Garuda Putera mengatakan “tren pencairan pinjaman dari fintech lending per 2020 sudah mencapai Rp74 triliun atau naik 27 persen.” Angkanya diperkirakan naik lagi tahun ini.

Dengan pertimbangan seluruh latar belakang tersebut, ekonom Universitas Indonesia Fithra Faisal Hastiadi menilai pembentukan holding cukup tepat. “Ultra mikro enggak ada masalah sama bunga, yang penting ada akses. Ini yang harus diambil potensinya,” kata dia kepada reporter Tirto, Selasa (9/2/2021).

Dengan kata lain, ada potensi uang yang masuk ke kantor rentenir beralih ke perusahaan negara dengan holding ini.

Senada dengan Fithra, pengamat BUMN dari Universitas Indonesia Toto Pranoto juga mendukung kebijakan ini. Menurutnya holding dapat mempercepat kemandirian sektor bisnis ultra mikro. “Masih puluhan juta [pelaku usaha] segmen ini yang belum terlayani akses financing-nya. Mereka masih mengandalkan akses keuangan non formal yang berbiaya tinggi. Kalau sinergi 3 BUMN ini bisa dijalankan, tentu harapannya jumlah bisnis ultra mikro yang naik kelas bisa bertambah signifikan,” kata Toto kepada reporter Tirto, Selasa.

Namun, bukan berarti holding sama sekali tanpa potensi kendala. Direktur Eksekutif Institute for Development on Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad menjabarkan beberapa catatan. “Efektif [atau tidak] itu tergantung suku bunganya, bisa diturunkan atau enggak. Kemudian seberapa jauh nanti fasilitasi subsidi bunga setelah peleburan,” kata dia kepada reporter Tirto, Selasa.

Ada pula risiko unit bisnis yang perannya akan berkurang sementara unit lain diprioritaskan, mengingat pembentukan holding bakal menuntut penyesuaian pola manajemen dan administrasi agar lebih teratur. “Merger ini enggak mudah karena ada perbedaan karakter. Nanti akan ada prioritas. Itu desainnya akan bagaimana?”

Catatan lain terkait dengan keberlangsungan usaha dari lini bisnis masing-masing BUMN. Jangan sampai tugas menyalurkan kredit usaha ultra mikro malah mengganggu, misalnya, kelangsungan bisnis gadai dari Pegadaian, kata Tauhid.

Baca juga artikel terkait KREDIT UMKM atau tulisan lainnya dari Selfie Miftahul Jannah

tirto.id - Bisnis
Reporter: Selfie Miftahul Jannah
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Rio Apinino