Menuju konten utama
Misbar

Berbagai Rupa Jakarta di Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi

Urusannya privat, tapi justru dijadikan konsumsi publik.

Berbagai Rupa Jakarta di Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi
Elvira Devinamira dalam film DILARANG MENYANYI DI KAMAR MANDI THE MOVIE. Youtube/DILARANG MENYANYI DI KAMAR MANDI THE MOVIE

tirto.id - Dalam semesta sinema Indonesia, Jakarta nyaris selalu diangkat ke layar lebar dan kemudian diperbincangkan. Jakarta punya banyak muka sehingga menarik muka itu untuk dijadikan sebuah cerita adalah, mungkin, suatu bentuk keharusan. Publik kerap memposisikan Jakarta sebagai wajah Indonesia—vice versa.

Pelbagai macam rupa tersebut wujudnya bisa kompleks, berlapis, penuh ironi, dan, tak jarang, tragis. Semua diperlihatkan secara subtil melalui kemiskinan, ketimpangan, pemerintahan yang korup, maupun kisah perjuangan hidup yang kadang menguras air mata, simpati, dan kutukan tak bertepi.

Di Jakarta, apa saja bisa berubah sebagai cerita; cerita yang membuka mata masyarakat bahwa hidup tak melulu tentang siapa yang bakal menang pemilu dan siapa yang bakal jadi pesakitan. Jakarta bercerita soal orang-orang kalah—orang-orang yang terlibas keadaan dan dihantam ketidakberuntungan.

Film yang menggambarkan Jakarta secara paripurna, setidaknya dalam versi saya, ialah Jakarta Jakarta (1978). Disutradarai oleh Ami Prijono serta dibintangi El Manik dan Ricca Rachim, Jakarta Jakarta dapat mengumbar segala hal soal Jakarta, baik sekaligus buruk, dengan apik. Kemiskinan, premanisme, dan ketimpangan si kaya-miskin tak cuma tempelan semata—ia merupakan realita itu sendiri.

Ini yang lantas muncul pula di film anyar garapan John De Rantau berjudul Dilarang Bernyanyi di Kamar Mandi (selanjutnya Dilarang Bernyanyi). Dalam film yang diadaptasi dari cerita pendek (cerpen) karya Seno Gumira Ajidarma (1995) tersebut, Jakarta ditampilkan lewat sudut kampung-kampung kecil yang terhimpit beton dan gedung pencakar langit simbol kapitalisme. Jakarta, di semesta Dilarang Bernyanyi, merupakan Jakarta yang memeluk kemiskinan.

Cerita Dilarang Bernyanyi berpusat pada bagaimana satu kampung dibikin resah oleh kehadiran perempuan muda bernama Sophie (Elvira Devinamira). Dengan paras wajah yang cantik jelita, para laki-laki di kampung itu, sebagian besar berstatus suami, tertarik kepada dirinya.

Selain wajah cantik, suaranya yang serak-serak-basah rupanya turut berpengaruh pada tingginya kadar ketertarikan bapak-bapak ini kepada sosok Sophie. Saking tingginya, tiap pagi mereka rela berkumpul di satu tempat demi menguping aktivitas mandi Sophie. Mereka berbaris dengan rapi dan meluapkan fantasinya secara berjamaah.

Keadaan ini, tentu, membuat para istri muak. Suami mereka jadi kehilangan fokus di ranjang. Bahkan, ada yang sampai berbulan-bulan tak disentuh sebab pikiran suami tercurahkan untuk sosok Sophie. Tak tahan, ibu-ibu pun melancarkan aksi protes kepada Ketua RT (Mathias Muchus). Mereka meminta Sophie angkat kaki dari kampung karena dinilai "mengancam stabilitas rumah tangga".

Dibalut humor, pada dasarnya, Dilarang Menyanyi mengangkat narasi sederhana namun kerap dijumpai di kehidupan sehari-hari. Tentang bagaimana informasi yang simpang siur bisa berubah jadi malapetaka dan berdampak kepada hajat hidup orang banyak.

Bila Anda pernah tinggal di “kampung”, Anda pasti setidaknya sempat menjumpai ontran-ontran semacam ini manakala sebuah berita menyebar cepat dari satu rumah ke rumah lainnya, membentuk gelembung informasi yang (seolah) besar, serta memiliki konsekuensi yang tak kecil. Rumor yang berkembang di kampung menjalar lebih cepat tanpa harus mendapat bantuan dari teknologi berwujud WhatsApp.

Fenomena tersebut direkam dengan proporsional di Dilarang Menyanyi. Kekuatan film ini, salah satunya, terletak pada dialog-dialognya yang seperti tanpa script: mengalir, tak ndakik-ndakik, serta jelas tanpa tedeng aling-aling.

Kendati dibalut dengan ringan dan jenaka, Dilarang Menyanyi justru menyediakan kritik sosial yang beragam. Di luar perkara pengangguran, ketimpangan, hingga kemiskinan, yang acap disebut-sebut sebagai masalah struktural yang tak pernah punya jalan keluar, Dilarang Menyanyi juga menyoroti isu hoaks yang menjangkiti dinamika masyarakat dalam beberapa tahun belakangan.

Kasus Sophie kian menegaskan bahwa masyarakat kerap mengambil tindakan atas sebuah isu tanpa lebih dulu memverifikasi kebenaran isu tersebut. Masyarakat era kiwari lebih menonjolkan emosi ketimbang logika maupun cara berpikir yang terang. Kejadian yang dialami Sophie sebetulnya bisa diantisipasi bila para ibu-ibu lebih dulu meminta informasi dari suami mereka.

Infografik Misbar Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi

Infografik Misbar Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi. tirto.id/Quita

Tak sekadar itu saja, narasi Dilarang Menyanyi turut pula menyentil isu perempuan. Kenyataannya, apa pun kondisi yang ada, perempuan seringkali ditempatkan pada posisi terjepit, baik oleh sistem dan norma sosial di masyarakat maupun sesama perempuan. Dalam Dilarang Menyanyi, alih-alih meminta para suami bertanggung jawab (dan tobat), ibu-ibu ini malah menyalahkan kehadiran Sophie yang, jika menuruti logika, tidak melakukan kesalahan apa-apa.

Bagaimana bisa seseorang disalahkan karena aktivitas privatnya yang sama sekali tak punya keterkaitan dengan kepentingan publik?

Gejala semacam ini memang tak ubahnya penyakit akut di masyarakat Indonesia. Masyarakat tak dapat membedakan mana yang semestinya tetap berada di koridor privat dan mana yang berada di koridor publik. Oleh masyarakat, tak jarang, keduanya dilebur dalam satu mangkok yang sama.

Namun demikian, ada celah yang muncul dalam Dilarang Menyanyi. Meski John De Rantau mampu mengemas segala kritik sosialnya dengan baik, ia masih saja terjebak pada adegan-adegan klise yang sebetulnya tak perlu disertakan, seperti ketika film ini menyoroti kisah asmara Sophie dengan Senja (David Schaap). Sepanjang film, adegan dua insan tersebut tak lebih dari tempelan semata. Cerita Dilarang Menyanyi tak akan kehilangan kekuatannya bila adegan itu dihapus.

Kemudian, dengan menjadikan kampung kumuh dan orang-orang miskin sebagai elemen sentral cerita, John De Rantau kembali mengulang gejala yang dialami para sineas lokal: menempatkan orang-orang ini ke dalam posisi yang serba salah. Bahwa orang-orang miskin gampang termakan hoaks. Bahwa orang-orang yang menganggur lebih mudah tersulut emosinya. Bahwa orang-orang yang berada pada jurang kesenjangan sosial tak mampu membedakan mana yang benar dan mana yang salah.

John De Rantau seharusnya paham bahwa hoaks, kerumunan massa, dan amarah yang lahir secara kolektif, sebagaimana yang dialami di kampung di Dilarang Menyanyi, bisa dialami sekaligus disantap siapa saja.

Baca juga artikel terkait MISBAR atau tulisan lainnya dari Faisal Irfani

tirto.id - Film
Penulis: Faisal Irfani
Editor: Nuran Wibisono