Menuju konten utama

Berbagai Insentif Jokowi Saat Pandemi yang Telat dan Kurang Tepat

Ada banyak insentif yang diberikan pemerintah saat masa pandemi. Beberapa di antaranya terlambat cair, lainnya dianggap tak tepat sasaran.

Berbagai Insentif Jokowi Saat Pandemi yang Telat dan Kurang Tepat
Presiden Joko Widodo menyampaikan keterangan pers didampingi Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto (kiri) seusai melakukan peninjauan fasilitas produksi dan uji klinis tahap III vaksin COVID-19 di Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, Bandung, Selasa (11/8/2020). ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto/foc.

tirto.id - Beberapa program pemerintah terkait insentif dan penyelamatan ekonomi dalam masa pandemi COVID-19 telat terealisasi. Beberapa di antaranya juga dinilai tidak tepat sasaran.

Leletnya realisasi bahkan memicu kemarahan Presiden Joko Widodo kepada para menteri dalam rapat kabinet di Istana Negara, Jakarta, 18 Juni lalu. Saat itu serapan anggaran kesehatan rendah dan dana insentif untuk tenaga kesehatan (nakes) terlambat disalurkan. Setelah Jokowi marah-marah, barulah ada progres penyerapan anggaran.

Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan (BKF Kemenkeu) Febrio Kacaribu mengungkap apa yang terjadi di balik lambannya proses verifikasi Kementerian Kesehatan yang jadi penyebab lambannya pencairan insentif.

"Yang daerah itu seringkali datanya masuk ke pusat, diverifikasi dua eselon 1 berbeda di Kemkes. Kalau data tidak cocok dibalikin lagi ke rumah sakit daerah. Itu yang terjadi dua bulan terakhir," ucap Febrio dalam diskusi virtual, Jumat (3/7/2020). Dengan kata lain, perkara birokrasi.

Realisasi Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) untuk korporasi pun demikian. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebut realisasinya hingga Senin 24 Agustus "masih dianggap 0", padahal alokasi yang disiapkan untuk itu relatif besar, Rp 53,57 triliun. Direktur Jenderal Anggaran Kemenkeu mengatakan belum adanya kemajuan dari program ini adalah karena "masih menunggu regulasi". Jika aturan sudah selesai dibuat, "realisasi PEN akan segera dilaksanakan."

Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core) Piter Abdullah menjelaskan lambannya PEN untuk korporasi menunjukkan keanehan sistem penyelamatan ekonomi Indonesia. Di negara lain, penyelamatan korporasi itu yang pertama--telah dilakukan sejak jauh hari--sebab dapat menghindari pemutusan hubungan kerja (PHK). "Kalau di Indonesia ini konsepnya beda," katanya.

Selama pandemi memang banyak perusahaan melakukan PHK. Menurut Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Rosan Roeslani, selama Mei-Juni sudah ada 6 juta pekerja yang dirumahkan dan di-PHK karena pandemi. Angkanya mungkin sekarang lebih banyak.

Untuk membantu para pekerja yang di-PHK, pemerintah membuat Program Kartu Prakerja yang saat ini sudah sampai gelombang kelima. Pada Minggu (23/8/2020) pukul 12.00 WIB, jumlah pendaftar mencapai 1,77 juta orang, meningkat dibandingkan dengan gelombang keempat yang diminati oleh 1,20 juta orang.

Lewat program ini peserta akan mendapatkan uang Rp3,5 juta yang dikirimkan bertahap selama empat bulan, terdiri dari bantuan pelatihan Rp1 juta, insentif setelah pelatihan Rp600 ribu per bulan selama empat bulan, dan insentif survei kebekerjaan sebesar Rp50 ribu per survei selama tiga kali.

Program ini juga sempat terlambat. Semula situs prakerja.go.id, tempat orang mendaftarkan diri, direncanakan diluncurkan pada Kamis 9 April, namun diundur menjadi Sabtu 11 April karena kendala teknis.

Selain terlambat, efektivitas program juga banyak dipertanyakan. Banyak pihak menganggap Kartu Prakerja tidak tepat untuk dijadikan jaring pengaman sosial. Kritik-kritik ini sudah muncul sejak program diperkenalkan Jumat 20 Maret. Ketua Departemen Komunikasi dan Media Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Kahar S Cahyono, misalnya, pernah mengatakan "akan lebih bermanfaat kalau semuanya diberikan dalam bentuk BLT" atau bantuan langsung tunai.

Pemerintah juga punya program untuk membantu UMKM dengan total anggaran Rp28,8 triliun. Anggaran ini dibagi ke 12 juta orang dengan nilai Rp2,4 juta/UMKM.

Dibanding program lain, bantuan ini terhitung cepat. Namun, justru karena verifikasi data super kilat--diumumkan pada 11 Agustus dan sudah cair ke ratusan ribu orang tiga hari kemudian--itulah pengamat ekonomi menilai bantuan ini berpotensi tak tepat sasaran.

Pemerintah juga memberikan BLT kepada para pekerja bergaji di bawah Rp5 juta, dengan dasar data milik Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Bantuan sebesar Rp2,4 juta (Rp600 ribu sampai empat bulan) tersebut pertama-tama akan diberikan kepada 2,5 juta orang. "Kami harapkan nanti di bulan September selesai 15,7 juta pekerja," kata Jokowi.

Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziah sempat berjanji uang cair pada 25 Agustus, tapi lagi-lagi terlambat. "Kami mohon maaf, butuh kehati-hatian untuk menyesuaikan data yang ada," katanya, 24 Agustus.

Dengan bantuan ini, diharapkan daya beli pekerja meningkat. Harapan turunannya, karena Indonesia masih mengandalkan konsumsi rumah tangga, kebijakan ini dapat menghindari negara dari resesi.

Namun, harapan ini dianggap sulit terealisasi karena para penerima manfaat cenderung bakal lebih memilih menyimpan uang alih-alih membelanjakannya, kata pengamat ekonomi.

Di antara semua program yang terlambat itu, penyebab bantuan sosial barang kebutuhan pokok pada Mei lalu mungkin yang paling 'unik'. Bansos pemerintah pusat sempat terlambat diterima warga karena hal sepele, yaitu kemasannya, yang bertuliskan "Bantuan Presiden," habis.

Baca juga artikel terkait BANTUAN SOSIAL atau tulisan lainnya dari Selfie Miftahul Jannah

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Selfie Miftahul Jannah
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Rio Apinino