Menuju konten utama

Beratnya Hidup Menjadi Generasi Sandwich

Generasi sandwich rentan akan tekanan psikologis karena himpitan hidup yang dirasa terlalu berat. Bagaimana caranya keluar dari lubang neraka tersebut?

Beratnya Hidup Menjadi Generasi Sandwich
Ilustrasi generasi Sandwich. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Sudah tiga tahun Patricia (37 tahun) memilih untuk keluar dari pekerjaannya sebagai konsultan di sebuah perusahaan public relation (PR). Ia memilih untuk membesarkan usaha katering keluarganya, langkah yang diambil sebagai bentuk kompromi untuk tetap bisa membiayai kebutuhan orang tua dan juga dua orang anaknya.

"Daripada usaha orang tua terbengkalai enggak keurus, jadinya saya mengalah dari pekerjaan dan berusaha untuk mengembangkan. Selain itu juga, supaya bisa punya waktu lebih dengan anak-anak, karena saya adalah orang tua tunggal," tutur Patricia kepada Tirto.

Patricia hanya satu dari sekian banyak orang dewasa yang juga harus membantu keuangan orang tua serta memikirkan kelangsungan rumah tangganya. Jika diibaratkan, posisi Patricia terjepit di tengah-tengah antara generasi sebelumnya yaitu orang tua, dan generasi setelahnya yaitu anak. Situasi Patricia ini dikenal dengan istilah sandwich generation atau generasi sandwich.

Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh Dorothy A. Miller, pada 1981. Profesor sekaligus direktur praktikum Universitas Kentucky, Lexington, Amerika Serikat (AS), itu memperkenalkan istilah generasi sandwich dalam jurnal berjudul "The 'Sandwich' Generation: Adult Children of the Aging."

Di dalam jurnal tersebut, Dorothy mendeskripsikan generasi sandwich sebagai generasi orang dewasa yang harus menanggung hidup tidak hanya orang tua dan juga anak-anak mereka. Generasi sandwich ini rentan mengalami banyak tekanan karena mereka merupakan sumber utama penyokong hidup orang tua dan juga anak-anak mereka.

Tekanan psikologis yang dialami oleh generasi ini bisa terjadi karena orang tua atau generasi tua tidak menyiapkan masa tuanya dengan baik. Dalam hal ini, bukan hanya kehidupan finansial yang perlu dipersiapkan, tetapi juga menjaga kehidupan kesehatan.

Tekanan psikologis berupa stres pada generasi sandwich menurut Anna Surti Ariani, psikolog dari Klinik Terpadu Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Depok, bisa menyebabkan terganggunya pekerjaan serta kehidupan berumah tangga dan juga pergaulan.

"Kondisi spesifik berupa 'terjepit' seperti sandwich ini hendaknya jangan sampai berpengaruh terhadap anak-anak maupun keluarganya sendiri. Sehingga, sangat penting untuk mempunyai teman sesama generasi sandwich supaya bisa saling berbagi agar tidak merasa sendirian dan stres berkepanjangan," jelas Anna kepada Tirto.

Oleh karena itu, sangat penting bagi generasi sandwich untuk bisa mengkomunikasikan kepada orang tua berapa besar bantuan dari segi keuangan yang bisa diberikan setiap bulan. Sebab, faktor bantuan ekonomi memang menjadi faktor yang lebih besar dirasakan bagi generasi sandwich yang terhimpit kebutuhan untuk membiayai rumah tangga sendiri dan juga kebutuhan orang tua.

Selain itu, penting juga untuk menyadari keterbatasan diri untuk membantu orang tua. Sebab menurut Anna, pada dasarnya manusia memang memiliki keterbatasan. "Membantu orang tua memang kewajiban seorang anak, tetapi juga penting bagi sang anak untuk bisa mengkomunikasikan bantuan yang bisa diberikan kepada orang tua sebatas apa karena anak juga memiliki kebutuhannya sendiri," imbuh Anna.

Penghasilan Tambahan hingga Berbagi Beban

Langkah dramatis berupa penataan ulang keuangan menjadi hal yang perlu dilakukan oleh generasi sandwich jika memang dirasa arus kas atau cash flow untuk kehidupan rumah tangga dan orang tua sudah tidak terkendali lagi.

Budi Raharjo, perencana keuangan dari Oneshildt Financial Planning menyebutkan terdapat beberapa cara yang bisa dilakukan generasi sandwich untuk menata ulang keuangan. Pertama adalah dengan mencatat pengeluaran baik pengeluaran keluarga sendiri dan juga kebutuhan untuk orang tua. Catatan pengeluaran diperlukan untuk selanjutnya dibandingkan dengan sumber-sumber pendapatan dan penghasilan generasi sandwich.

Jika pengeluaran lebih besar dibanding pendapatan, lanjutnya, maka mencari penghasilan tambahan merupakan solusi dasar yang harus segera dilakukan. "Pendapatan tambahan misalnya saja dari yang tadinya single income menjadi double income. Sang istri mungkin bisa bekerja kembali atau mencari penghasilan tambahan dari rumah," sebut Budi kepada Tirto.

Langkah berikutnya adalah dengan mengakali pengeluaran berupa tinggal bersama orang tua. Langkah ini mungkin dirasa sebagai langkah mundur oleh generasi sandwich yang telah berkeluarga dan ingin mandiri. Tetapi, Budi beralasan, dengan tinggal bersama dengan orang tua, pengeluaran dua rumah tangga bisa ditekan menjadi pengeluaran satu rumah tangga saja.

Selanjutnya, rumah tinggal yang tidak ditempati bisa disewakan sehingga menjadi aset yang berproduksi. "Aset yang disewakan bisa menjadi pendapatan tambahan, sehingga cash flow rumah tangga generasi sandwich tidak terganggu oleh bantuan yang diberikan kepada orang tua," imbuh Budi.

Langkah kecerdasan finansial berikutnya adalah dengan melakukan prioritas keuangan. Di sini, generasi sandwich harus disiplin dalam membuat prioritas pengeluaran. Ini artinya, pengeluaran yang sifatnya tersier seperti melakukan rekreasi hingga konsumsi barang-barang mahal harus dilakukan dengan pertimbangan yang matang.

"Disiplin membuat prioritas keuangan artinya hanya melakukan pengeluaran yang butuh dan penting. Untuk yang sudah berkeluarga, langkah ini tentu harus dilakukan komunikasi dan kompromi dengan pasangan," ucap Budi.

Langkah lain adalah dengan meminta bantuan dengan saudara kandung, jika memang bukan merupakan anak tunggal. Ini dilakukan agar beban dirasa tidak terlalu memberatkan salah satu anak saja.

Tidak dapat dipungkiri, kemampuan keuangan masing-masing rumah tangga berbeda-beda. Tapi, alangkah baiknya jika bantuan keuangan kepada orang tua dapat ditanggung bersama-sama.

Infografik Generasi Sandwich

Infografik Generasi Sandwich. tirto.id/Quita

Memutus Rantai Generasi Sandwich

Untuk memutus rantai generasi sandwich, maka langkah paling dasar yang paling dibutuhkan adalah mengembangkan kecerdasan finansial. Terkait ini, hal utama yang perlu dilakukan adalah belajar mengenai investasi meski memiliki sumber penghasilan dan juga besaran nilai yang terbatas.

"Belajar investasi menjadi hal yang mutlak bagi generasi sandwich. Tidak bisa tidak dilakukan, meski hanya menyisihkan sebesar 20 persen dari penghasilan," rinci Budi.

Generasi sandwich dituntut untuk belajar menempatkan uang serta melakukan manajemen risiko dengan baik. Sebab, belajar mengelola risiko instrumen investasi yang dipilih baik jangka pendek, menengah maupun panjang, juga tidak kalah penting. Ini dilakukan supaya bisa memenuhi tujuan-tujuan keuangan yang memang telah dicita-citakan.

Selain itu, ada baiknya juga bagi generasi sandwich untuk memiliki proteksi diri baik berupa asuransi kesehatan maupun asuransi jiwa. Langkah ini perlu dilakukan, lagi-lagi, agar tidak mengganggu arus kas keuangan rumah tangga jika mengalami musibah mendadak berupa sakit maupun kematian.

"Pastikan diri kita sebagai pencari nafkah terproteksi dan juga memproteksi orang tua dengan baik. Kalaupun tidak sanggup untuk membeli asuransi kesehatan, akan sangat membantu jika memiliki BPJS Kesehatan dan membayar iuran secara rutin agar jika sewaktu-waktu dibutuhkan bisa langsung digunakan," ungkap Budi.

Selain itu, penting pula untuk mulai memikirkan dan memikirkan dana hari tua atau pensiun. Dana hari tua ini bisa disiapkan secara pribadi dengan membuat rekening khusus untuk dana pensiun di bank-bank maupun perusahaan asuransi yang menyediakan produk Dana Pensiun Lembaga Keuangan (DPLK).

Dengan begitu, saat generasi sandwich memasuki usia pensiun, mereka diharapkan tidak lagi memberatkan generasi berikutnya. "Mulai menyisihkan uang untuk dana hari tua adalah sebagian kecil dari beberapa langkah dari pengelolaan keuangan serta persiapan hari tua, sehingga fenomena generasi sandwich bisa terputus," pungkas Budi.

Baca juga artikel terkait GENERASI SANDWICH atau tulisan lainnya dari Dea Chadiza Syafina

tirto.id - Ekonomi
Penulis: Dea Chadiza Syafina
Editor: Ign. L. Adhi Bhaskara