Menuju konten utama

Beras Bulog Turun Mutu: dari Kualitas Gudang sampai Birokrasi Buruk

Bulog perlu memperbaiki gudang untuk mengatasi persoalan beras turun mutu. Selain itu, perlu juga mengatasi masalah koordinasi.

Beras Bulog Turun Mutu: dari Kualitas Gudang sampai Birokrasi Buruk
Pekerja menata karung berisi beras di Gudang Bulog Kanwil DKI dan Banten, Kelapa Gading, Jakarta, Kamis (18/3/2021). ANTARA FOTO/ Reno Esnir/aww

tirto.id - Ombudsman RI menemukan 400 ribu ton stok beras milik Perum Bulog berpotensi turun mutu. Anggota Ombudsman RI Yeka Hendra Fatika menjelaskan jumlah itu merupakan stok beras dari tahun 2018-2019 yang didapat dari penyerapan lokal maupun impor di 2018.

Menurutnya, bila beras yang ada tidak lagi layak konsumsi, kemungkinan negara akan merugi Rp1,25 triliun.

Berdasarkan temuan awal, per 14 Maret 2021, Bulog memiliki stok beras mencapai 883.585 ton dengan rincian 859.877 ton merupakan stok cadangan beras pemerintah (CBP) dan 23.708 ton stok beras komersial. Dari CBP, beras yang berpotensi turun mutu sekitar 400 ribu ton, berasal dari pengadaan dalam negeri periode 2018-2019 dan impor di 2018.

Dengan demikian, stok beras yang layak konsumsi kurang dari 500 ribu ton atau sekitar 20% dari kebutuhan beras atau rata rata tiap bulan 2,5 juta ton.

Meski banyak yang turun mutu, ia menilai itu masih cukup memenuhi kebutuhan konsumsi sehingga impor belum dibutuhkan. “Merujuk data stok pangan dan potensi produksi beras nasional di 2021, Ombudsman menilai bahwa stok beras nasional masih relatif aman, dan tidak memerlukan impor dalam waktu dekat ini,” ucap Yeka.

Data Kementerian Perdagangan, per Februari 2021, stok beras yang ada di penggilingan padi sebesar 1 juta ton. Stok beras di LPM, 6,3 ribu ton, di PIBC sekitar 30,6 ribu ton, di horeka sekitar 260,2 ribu ton, dan di rumah tangga sekitar 3,2 juta ton. Sementara merujuk angka sementara BPS pada tahun 2021, luas panen padi dari Januari hingga April 2021 mencapai 4,86 juta hektare dengan total potensi produktivitas padi pada subround Januari-April 2021 sebesar 25,37 juta ton GKG dan diperkirakan mempunyai potensi produksi beras pada Januari-April 2021 sebesar 14,54 juta ton atau naik 3,08 juta ton (26,84 persen) dibandingkan produksi beras pada subround Januari-April 2020 sebesar 11,46 juta ton.

Ia juga meminta Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian untuk melaksanakan rakortas (rapat koordinasi terbatas) guna menunda keputusan impor “hingga menunggu perkembangan panen dan pengadaan oleh Perum Bulog pada awal Mei.”

Masalah Sistem Pergudangan Bulog

Turunnya mutu beras seperti temuan Ombudsman tak terlepas dari sistem pergudangan yang dimiliki Bulog. Pengamat pertanian dari Institut Pertanian Bogor (IPB) Hermanto Siregar mengatakan gudang Bulog tak boleh hanya sekedar fasilitas gedung beratap. “Harus ada peningkatan teknologi supaya beras bisa disimpan lebih lama. Ada alat yang bisa menjaga supaya kelembaban udara bagus,” kata dia kepada reporter Tirto, Kamis (25/3/2021).

Masalah kualitas pergudangan yang jadul diakui Direktur Utama Bulog Budi Waseso. “Penyimpanan beras di gudang Bulog enggak spesialis gudang beras sehingga mempercepat kerusakan beras. Beras itu harus disipan dengan temperatur stabil,” kata dia dalam sebuah webinar, Kamis.

“Terus kenapa beras rusak, sudah menahun,” tambahnya. Ia mengatakan beras yang ada di gudang Bulog sudah tersimpan tiga tahun. “Bahan mati seperti kursi besi itu saja ada nilai turunnya, apalagi pangan. Nyimpen beras empat bulan bisa dinyatakan turun mutunya,” ujar dia.

Meski mengakui ada beras yang terancam turun mutu, angka versi Budi berbeda dengan yang disampaikan ombudsman.

Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI) Dwi Andreas menyarankan agar Bulog menerapkan sistem first in first out (FIFO) untuk mengantisipasi penurunan mutu. Seperti namanya, dalam sistem ini barang yang keluar pertama kali adalah barang yang masuk pertama kali. “First in first out itu aja jalanin. Kalau kita bicara teorinya, itu saja,” kata dia kepada reporter Tirto, Kamis.

Meski begitu, ia menyadari sistem tersebut belum tentu berjalan baik. “Apakah tata kelola ini bisa jalan dengan baik? Kan, ini banyak faktor, terutama Bulog ya, ada PSO dan macam-macam.”

Terhadap beras yang sudah tidak bisa diselamatkan, Dwi mengatakan taka ada jalan lain selain disposal atau didaur ulang menjadi bentuk lain. “Bisa dialihguna untuk produksi etanol atau yang lainnya,” katanya.

Menurut peneliti dari Institute for Development Economics and Finance (Indef) Rusli Abdullah, penurunan mutu beras karena gudang yang ada tak dilengkapi fasilitas mumpuni memang harus diselesaikan. Ia bilang perlu ada peremajaan gudang dan melengkapinya dengan sistem pengaturan suhu.

Namun ia menekankan bahwa persoalan teknologi gudang hanya bagian kecil saja. Masalah yang lebih besar menumpuknya stok adalah berbelitnya sistem administrasi. Banyak hambatan regulasi dalam hal penyaluran beras, mulai dari koordinasi antar kementerian sampai sirkulasi beras impor yang masuk dan beras lokal yang panen.

“Kenapa di Bulog banyak beras nganggur yang akibatkan stok yang banyak? Ini karena enggak ada koordinasi antar kementerian dan lembaga. Intinya para menteri kurang ngopi. Bulog enggak kelihatan ada komunikasi ke Kemendag dan Kementan,” kata dia kepada reporter Tirto, Kamis. Satu contoh: “Raskin (beras miskin) jadi enggak ada karena bantuan pangan non tunai (BPNT) dihapus, Kemensos enggak koordinasi, banyak lah,” kata dia.

Jika koordinasi baik, katanya, beras bisa lebih cepat keluar dan dengan demikian masalah penurunan mutu juga dapat dihindari.

Baca juga artikel terkait KUALITAS BERAS atau tulisan lainnya dari Selfie Miftahul Jannah

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Selfie Miftahul Jannah
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Rio Apinino