Menuju konten utama

Berapa Santunan untuk Aparat yang Tewas Saat Bertugas?

Santunan terbesar diberikan untuk aparat yang masuk kategori "Gugur".

Berapa Santunan untuk Aparat yang Tewas Saat Bertugas?
Prajurit TNI dan polisi membawa peti jenazah korban jatuhnya Helikopter TNI AD untuk dimakamkan di TMP Kalibata, Jakata, Selasa (22/3). ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A

tirto.id - Pada 2016 lalu, pemerintah Amerika Serikat menghabiskan dana lebih dari 3,6 triliun dolar untuk perang di Irak, Afganistan, Pakistan dan Syiria serta pengamanan dari Homeland Security. Untuk 2017 diperkirakan pemerintah Amerika membutuhkan 32 miliar dolar untuk kebutuhan perang dan paska perang. Departemen Homeland Security juga menyebutkan dana untuk kebutuhan korban perang dan para veteran di tahun mendatang akan terus bertambah.

Bagaimana negara menghargai mereka yang gugur dalam tugas? Pemerintah Amerika Serikat punya kebijakan yang sangat berbeda dengan negara-negara lain. Pada 2005 Kongres Amerika menyetujui menaikkan bantuan dari 12.000 dolar menjadi 100.000 dolar untuk mereka yang tewas dalam tugas. Selain itu, Departemen Pertahanan Amerika juga berhasil menggolkan kebijakan santunan bagi keluarga korban perang. Santunan berupa bantuan pendidikan, bebas pajak, dan juga bantuan kredit perumahan.

Kebijakan ini disebut sebagai death gratuities. Memberikan santunan uang duka bagi keluarga kombatan yang tewas saat perang dalam menjalankan tugas negara.

Mengapa ini penting? Mereka yang ditinggalkan oleh kepala keluarga yang bertugas sebagai tentara atau polisi, tentu membutuhkan sumber kehidupan untuk menjamin kebutuhan. Pemerintah berupaya untuk menjamin kebutuhan itu, baik sementara dan seca permanen. Death gratuities juga menjadi penghargaan dan apresiasi negara terhadap para petugas negara yang meninggal.

Di Indonesia kematian polisi dan tentara saat tugas adalah risiko yang tidak bisa dihindari. Dalam laporan tahunan HAM ELSAM tahun 2012 tentang kekerasan sipil dan militer di Indonesia, tercatat ada total 139 peristiwa kekerasan sepanjang 2011. Dari peristiwa kekerasan tersebut menelan 40 korban warga sipil tewas dan 155 luka-luka; 10 polisi tewas dan enam luka-luka, tiga TNI tewas dan 10 luka-luka, dan tiga Kelompok Sipil Bersenjata (KSB) tewas serta dua luka-luka.

Sedang data ELSAM tahun 2013 mencatat delapan kategori kekerasan dengan rincian: total 151 Kekerasan di Papua 2013 peristiwa kekerasan menelan korban 106 warga sipil tewas dan 220 luka-luka; satu polisi tewas dan 10 luka-luka, 13 TNI tewas dan 5 luka-luka; serta terakhir 5 KSB tewas.

Sepanjang 2014 ELSAM mencatat 102 kasus kekerasan dan pelanggran HAM yang dialami oleh warga Papua. Pada 2015 kekerasan juga masih terjadi dan korban sipil maupun militer berjatuhan. Kasus penembakan dan pembunuhan para aktivis di Kabupaten Yahukimo yang diduga dilakukan aparat Brimob pada 20 Maret 2015.

Kasus penembakan di Kabupaten Dogiyai pada 25 Juni 2015. Kasus amuk massa di Kabupaten Tolikara pada 17 Juli 2015. Kasus penembakan di Kabupaten Timika pada 28 Agustus 2015. Dan kasus penembakan hingga mati di Kabupaten Kepulauan Yapen yang membunuh empat orang. Mereka yang meninggal dan mati akibat kekerasan di Papua bukan hanya orang Papua, bukan hanya kelompok sipil bersenjata, namun juga pihak TNI dan Polri. Petugas negara yang tewas saat tugas mendapatkan santunan uang duka dari negara untuk meringankan beban keluarga yang ditinggalkan.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) 102 Tahun 2015 menggantikan aturan sebelumnya yakni PP Nomor 67 tahun 1991 disebutkan santunan reisiko kematian bagi anggota Polri, TNI dan PNS Kemenhan yang meninggal karena gugur dalam bertugas kini mencapai Rp 400 juta. Sedangkan korban meninggal dalam kategori tewas mendapat santunan Rp275 juta.

Konflik bersenjata di Indonesia membunuh banyak warga sipil dan militer. Upaya memutus rantai kekerasan ini, seperti di Papua, membutuhkan perubahan cara pandang aparat, politik, dan kebijakan keamanan di Papua, secara mendasar. Namun selama pendekatan keamanan berbasis militer dan represif menjadi pilihan solusi, selamanya, maka potensi kematian putra-putra terbaik dari polisi dan tentara masih terus terbuka.

Tidak semua yang meninggal saat tugas diberikan santunan risiko kematian. Ada beberapa kriteria khusus yang dibuat. Ada kriteria "Gugur" di mana Prajurit dan PNS Kemhan yang meninggal dunia dalam melaksanakan tugas pertempuran atau tugas operasi di dalam atau di luar negeri sebagai akibat tindakan langsung lawan.

Tidak hanya mendapatkan uang dari santunan risiko kematian, keluarga petugas negara yang masuk kategori "gugur" mendapatkan santunan kematian berdasarkan jabatan sebesar Rp17.000.000,00 (tujuh belas juta rupiah); dan sementara untuk bintara dan tamtama Tentara Nasional Indonesia, bintara dan tamtama Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan PNS yang menduduki jabatan pelaksana sebesar Rp15.500.000,00 (lima belas juta lima ratus ribu rupiah). Keluarga yang ditinggal juga mendapatkan bantuan beasiswa pendidikan untuk anak mereka sebesar 30 juta rupiah.

Infografik Uang Duka dari Negara

Sementara untuk polisi masuk kategori "Gugur" apabila anggota Polri dan PNS Polri yang meninggal dunia dalam tugas kepolisian sebagai akibat dari tindakan langsung lawan atau yang menentang negara atau pemerintahan yang sah. Masing-masing mendapatkan 400 juta rupiah. Misalnya tewas tertembak oleh perampok yang hendak dilumpuhkan.

Data dari Humas Polda Metro Jaya menyebut sejak 2011 hingga Mei 2016 sebanyak tujuh orang gugur dalam tugas. Mayoritas korban ditembak saat hendak menangkap pelaku tindak kriminal. Beberapa kasus yang tercatat di media adalah kematian personel Polda Metro jaya yang meninggal pada Juni 2011 di kawasan Pondok Gede, Bekasi. Di awal Agustus 2013, anggota Polres Metro Jakarta Selatan meninggal dunia setelah ditembak orang tidak dikenal saat berjaga di Pos Pengamanan Terminal Lebak Bulus.

Selang seminggu, insiden serupa terjadi, dua personel Polres Kota Tangerang meninggal dunia setelah ditembak orang tidak dikenal saat hendak kembali ke kantornya usai tugas. Dua peristiwa lainnya terjadi tahun 2016. Data dari Indonesia Police Watch (IPW) mencatat, sepanjang tahun 2015, sebanyak 18 anggota Polri tewas dalam tugas dan sebanyak 74 lainnya luka-luka. Data tersebut dihimpun dari seluruh Indonesia.

Ada beberapa daerah yang dianggap sangat rawan dan berbahaya bagi polisi, yaitu Jawa Barat dan Sulawesi Selatan, yang pada 2015 terjadi masing-masing empat peristiwa. Disusul Sulawesi Tengah dan Sumatra Utara tiga peristiwa. Selain itu, di Papua, Lampung, Sumatra Selatan, Jawa Timur, dan Gorontalo masing-masing dua peristiwa. Sementara di Jawa Tengah, Yogyakarta, Maluku, dan Nusa Tenggara Barat masing-masing terjadi satu peristiwa.

Baca juga artikel terkait SANTUNAN atau tulisan lainnya dari Arman Dhani

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Arman Dhani
Penulis: Arman Dhani
Editor: Zen RS