Menuju konten utama

Berapa Maksimal Seorang Shahibul Kurban Boleh Memakan Daging Kurban

Berdasarkan pendapat populer, shahibul kurban hanya boleh memakan sepertiga dari hasil kurbannya, satu atau dua suap, atau tanpa batasan tertentu.

Berapa Maksimal Seorang Shahibul Kurban Boleh Memakan Daging Kurban
Ilustrasi hewan kurban. ANTARA FOTO/Arnas Padda/yu/foc.

tirto.id - Para ulama berbeda pendapat mengenai berapa maksimal seorang shahibul kurban boleh memakan daging kurban. Di antara pendapat yang umum digunakan yakni sepertiga, satu sampai tiga suap, dan bagian selain yang disedekahkan (tidak ada batasan tertentu).

Umat Islam memperingati Hari Raya Iduladha 2022/1443 H. Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah menetapkan perayaan tersebut jatuh pada Sabtu, 9 Juli 2022. Sementara itu, Kementerian Agama (Kemenag) masih menunggu hasil Sidang Isbat yang akan dihelat pada Rabu, 29 Juni 2022 mendatang.

Hari Raya Iduladha identik dengan pemotongan hewan kurban bagi umat Islam. Ibadah kurban adalah menyembelih hewan ternak yang memenuhi syarat tertentu pada Hari Raya Iduladha dan hari-hari tasyrik (11, 12, dan 13 Zulhijah) untuk beribadah serta mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Pada dasarnya, hukum pelaksanaan kurban ialah sunah muakadah atau sangat dianjurkan bagi muslim dengan kelapangan harta. Anjuran tersebut termuat dalam Surah Al Kautsar ayat 1-3 sebagai berikut:

“Sungguh, Kami telah memberimu [Muhammad] nikmat yang banyak. Maka laksanakanlah salat karena Tuhanmu, dan berkurbanlah [sebagai ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah]. Sungguh, orang-orang yang membencimu dialah yang terputus [dari rahmat Allah],” (QS. Al Kautsar [108]: 1-3).

Rasulullah SAW pernah memperingatkan umatnya yang berkelapangan harta, namun tidak berkurban agar tidak bergaul dengannya.

Peringatan itu termuat dalam hadis sebagai berikut: “Barangsiapa yang memiliki kelapangan [harta], sedangkan ia tak berkurban, janganlah dekat-dekat tempat salat kami,” (H.R. Ahmad, Ibnu Majah, dan Hakim).

Dalam Islam, ibadah kurban juga bisa berubah hukumnya dari sunah muakadah menjadi wajib.

Hal itu terjadi ketika seorang muslim bernazar untuk melaksanakan ibadah kurban.

Ketika seseorang bernazar, ibadah kurbannya tidak lagi sunah, melainkan sudah wajib. Jika tidak menunaikannya, ia dianggap berdosa karena telah melanggar nazarnya.

Salah satu rujukan larangan tersebut, ialah tulisan Syekh Abu Bakar Muhammad Syatha, ulama Mazhab Syafi’i dalam kitab Hasyiyah I’anah At-Thalibin (1993) sebagai berikut:

“Haram mengonsumsi kurban dan hadiah yang wajib sebab nazar. Maksudnya, haram bagi orang yang berkurban dan memberi hadiah, mengonsumsi daging kurban dan hadiah yang wajib sebab nazar.

Maka [dia] wajib menyedekahkan seluruhnya, termasuk tanduk dan kuku hewan. Jika dia mengonsumsi sebagian dari hewan tersebut, wajib menggantinya dan diberikan pada orang fakir,” (Juz 2, hlm. 378).

Jatah Daging Kurban bagi Shahibul Kurban yang Diperbolehkan

Orang yang berkurban dalam Islam dikenal sebagai shahibul kurban. Untuk menjadi shahibul kurban, muslim harus memenuhi beberapa syarat tertentu.

Berikut ini beberapa syarat menjadi shahibul kurban:

  • Muslim
  • Berakal sehat
  • Memiliki kelebihan harta setelah kebutuhan pokok terpenuhi
  • Sudah balig

Dalam pemotongan hewan kurban, terdapat jatah daging bagi shahibul kurban. Jatah tersebut dibatasi karena daging kurban seyogianya disedekahkan kepada orang yang membutuhkan.

Di samping itu, shahibul kurban mendapatkan jatah daging hanya pada kurban sunah.

Kurban jenis itu bahkan menganjurkan shahibul kurban mengonsumsi daging hewan yang disembelih.

Anjuran tersebut termuat dalam Surah Al Hajj ayat 36 sebagai berikut:

“Dan unta-unta itu Kami jadikan untuk-mu bagian dari syiar agama Allah, kamu banyak memperoleh kebaikan padanya. Maka sebutlah nama Allah [ketika kamu akan menyembelihnya] dalam keadaan berdiri [dan kaki-kaki telah terikat].

Kemudian apabila telah rebah [mati], maka makanlah sebagiannya dan berilah makanlah orang yang merasa cukup dengan apa yang ada padanya [tidak meminta-minta] dan orang yang meminta. Demikianlah Kami tundukkan [unta-unta itu] untukmu, agar kamu bersyukur,” (Q.S. Al-Hajj [22]: 36).

Sementara pada kurban wajib, shahibul kurban dilarang memakan hewan ternak yang disembelih tersebut.

Para ulama berbeda pendapat mengenai jatah maksimal daging kurban bagi shahibul kurban.

Di antara pendapat yang umum digunakan, yakni sepertiga, satu sampai tiga suap, dan bagian selain yang disedekahkan. Berikut ini penjelasan ketiga batasan jatah daging shahibul kurban tersebut:

1. Jatah Sepertiga

Terdapat pendapat sejumlah ulama yang memperbolehkan shahibul kurban memakan daging kurban maksimal sepertiga bagian. Namun, anjuran pengambilan jatah shahibul kurban sebaiknya kurang dari porsi tersebut.

Jatah sepertiga senada dengan tulisan Afifudin Muhajir, pakar Ushul Fikih Nahdlatul Ulama (NU) dalam kitab Fathul Mujibil Qarib (2014) sebagai berikut: “ ... Orang yang berkurban dianjurkan memakan [daging kurban sunah] sepertiga atau lebih sedikit dari itu,” (Hlm. 207).

Akan tetapi, Afifudin Muhajir dalam kitab yang sama menekankan, shahibul kurban dilarang menjual bagian apa pun dari hewan kurbannya. Jatah hewan kurban untuk shahibul kurban hanya boleh untuk dimakan.

2. Satu sampai Tiga Suap

Shahibul kurban disunahkan mengonsumsi daging kurbannya, yakni satu hingga tiga suap. Hal tersebut dilakukan untuk mendapatkan berkah (tabaruk). Sementara itu, bagian daging lainnya disedekahkan.

M. Ali Zainal Abidin dalam “Seberapa Banyak Pekurban Boleh Mengonsumsi Daging Kurbannya?” di NU Online menuliskan kesunahan mengonsumsi daging hewan kurban satu sampai tiga suap.

Hal tersebut senada dengan penjelasan Syekh Zainuddin Bin Abdul Aziz Al-Malibari, ulama Mazhab Syafi’i dalam kitab Fath Al-Mu'in (tanpa tahun) sebagai berikut:

“[...] Hal yang lebih utama adalah menyedekahkan keseluruhan daging kurban kecuali satu suapan dengan niatan mengharap berkah dengan mengonsumsi daging itu. Hendaknya daging tersebut dari bagian hati. Hendaknya orang yang berkurban tidak mengonsumsi lebih dari tiga suapan”

3. Bagian selain yang Disedekahkan ke Fakir Miskin

Terdapat pendapat yang menyatakan tidak ada batasan jatah daging kurban bagi shahibul kurban.

Mengutip dari sumber sama tulisan M. Ali Zainal Abidin di NU Online, beberapa ulama Mazhab Syafi’i memperbolehkan shahibul kurban mengonsumsi seluruh daging kurbannya setelah disedekahkan sebagian kecil ke fakir miskin.

Pendapat tersebut senada dengan penjelasan Ibnu Hajar Al-Haitami, ulama Mazhab Syafi’i dalam kitab Al-Fatawa Al-Fiqhiyyah Al-Kubra (1983) sebagai berikut:

“Tujuan kurban adalah mengalirkan darah hewan beserta wujud belas kasih kepada orang-orang miskin, dengan [memberikan] bagian minimal dari hewan kurban yang tidak signifikan. [Jika] Maksud tujuan ini sudah terpenuhi, maka tidak perlu adanya wujud ganti rugi [...].”

Meskipun demikian, yang paling utama adalah shahibul kurban tidak mengambil daging kurban dengan jumlah terlalu banyak. Sebab, sebagian besar daging kurban seyogianya disedekahkan, terutama kepada para fakir dan miskin.

Baca juga artikel terkait IBADAH KURBAN atau tulisan lainnya dari Syamsul Dwi Maarif

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Syamsul Dwi Maarif
Penulis: Syamsul Dwi Maarif
Editor: Abdul Hadi