Menuju konten utama

Beragam Adaptasi Penjual Pernak-pernik Imlek Saat Pandemi

Para penjual pernak pernik Imlek beradaptasi. Mereka kini mengalihkan dagangan ke online.

Beragam Adaptasi Penjual Pernak-pernik Imlek Saat Pandemi
Dua pekerja menyiapkan hiasan lampion Imlek untuk menghiasi kota, di Posko Pemadam Kebakaran Panca Bhakti, Pontianak, Kalimantan Barat, Selasa (9/2/2021). ANTARA FOTO/Jessica Helena Wuysang/hp.

tirto.id - Imlek tahun ini memberikan pengalaman yang berbeda untuk Michelle Samantha. Baru tujuh bulan ia beralih strategi bisnis dari offline ke online untuk menjual berbagai pernak-pernik Imlek. Bukan proses yang mudah, tentu saja, sebab Michelle yang tidak memiliki pengalaman jualan daring harus belajar sendiri bagaimana syarat dan proses penjualan platform baru.

“Kita serba sendiri. Masarin sendiri, packing sendiri, admin sendiri,” kata dia kepada reporter Tirto melalui kolom chatting salah satu marketplace, Rabu (10/2/2021).

Pernak-pernik Imlek yang beragam, mulai dari lilin, dupa, chinese knot, angpau, petasan kertas, chunlian, lampion, sampai kertas gantung ia foto satu per satu dan itu cukup merepotkan. “Semua harus difoto, kan, buat dijual per item. Tapi memang ada beberapa yang enggak bisa dijual online, seperti lilin dua meter itu,” kata dia.

Ia mulai memfoto barang-barang dagangannya sejak April sampai Agustus. Setelah barang difoto, kegiatan selanjutnya adalah daftar online. Ia memilih dua marketplace, Tokopedia dan Shopee. “Satu-satu didraf dulu, belum bikin template, belum dikasih peringatan, harus dikode-kodein. Itu benar-benar pusing,” akunya.

Michelle pun harus beradaptasi bagaimana berkomunikasi dengan calon pembeli lewat chatting. Menurutnya itu juga merupakan kesulitan tersendiri. “Pembeli kebanyakan enggak baca deskripsi,” katanya. Ini membuatnya harus mengeluarkan tenaga lebih karena menjelaskan ulang padahal keterangan barang sudah tersedia.

Pendapatan yang diperoleh pun diakui lebih sedikit. “Memang keuntungannya tipis, ya, kalau online tuh,” katanya. Tapi bagaimanapun itu lebih baik ketimbang tidak berjualan sama sekali karena pandemi.

Wiguna, penjual dupa yang biasa berjualan di kawasan Taman Palem, Jakarta Barat juga merasakan hal yang sama. Wiguna mengatakan selain harus melalui proses yang panjang untuk bisa menjajakan barang di marketplace, ia pun harus berani memotong keuntungan. Pasalnya, harga pernak pernik Imlek yang dijajakan di marketplace begitu kompetitif.

“Untungnya itu tipis banget, apalagi dipotong pajak segala macam. Dari satu item kita bisa dapet potongan pajak sekitar 3-5 persen, padahal itu keuntungannya kita kalau jualan offline,” katanya kepada reporter Tirto, Rabu.

Memotong margin keuntungan jadi strategi Wiguna untuk menggaet pelanggan di skema bisnis online. Banyak toko yang menjajakan barang dengan harga offline di marketplace, padahal dalam skema online ada pengeluaran khusus seperti pajak, pengadaan kardus, bubble wrap, plastik, sampai jasa kirim barang.

“Kalau kita kasih harga lebih mahal, misalnya lebih mahal seribu aja, toko kita enggak ada yang beli. Jadi mending marginnya bener-bener enggak ambil besar.”

Dalam situasi seperti ini, dia membayangkan mendapatkan bantuan dari pemerintah. “Sepertinya akan sangat membantu kalau ada subsidi. Potongan pajak itu nyebelin banget soalnya. Udah kita ambilnya sedikit, dipajakin sampai 5 persenan.”

Selain harus memotong keuntungan, para penjual pernak pernik Imlek juga harus bertahan di tengah penurunan daya beli sebagai dampak pandemi COVID-19. Ratna, satu di antara pemilik toko pernak-pernik Imlek di kawasan Jalan Gajah Mada Pontianak, Rabu, mengatakan penurunan “sebesar 20 hingga 30 persen.

Ratna masih bertahan dengan berjualan offline. Dia bilang secara umum perayaan Imlek tahun ini memang tidak semeriah tahun-tahun sebelumnya. Meski begitu rumah harus tetap dihias. Untuk mengantisipasi sepinya pembeli, saat ini tengah mengalihkan strategi penjualan ke online.

Mengalihkan bisnis ke online seperti yang dilakukan Michelle, Wiguna, sampai Ratna juga dilakukan oleh jutaan pedagang lain. Menurut data Tokopedia, jumlah toko online baru meningkat tajam selama 2020.

“Per Desember 2020, 9,9 juta penjual yang hampir seluruhnya UMKM telah terdaftar di Tokopedia. Ada kenaikan sebesar lebih dari 2,5 juta dari 7,2 juta penjual sejak Januari 2020,” ujar External Communications Senior Lead Tokopedia Ekhel Chandra Wijaya Tokopedia dalam siaran pers, Jumat (15/1/2021).

Para pedagang UMKM yang mendadak online ini perlu dibantu oleh pemerintah, kata pengamat ekonomi Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira. Ia menyarankan pemerintah memberikan subsidi ongkos kirim.

“Ini bentuk insentif yang spesifik,” ujar Bhima dalam seminar daring di Jakarta, Senin (18/1/2021). “Subsidi internet juga penting.”

Selain itu, pemerintah juga perlu meningkatkan akses internet di daerah-daerah tertinggal. Alasannya, banyak UMKM yang sebenarnya ingin masuk dan terdaftar di pasar daring namun di daerahnya akses internet masih terbatas.

Bhima juga menyarankan pemerintah membantu dan memberikan pendampingan kepada pelaku UMKM agar mereka bisa lebih memahami pasar digital. “Hal yang bisa menolong mungkin sampai dengan akhir 2021 adalah bagaimana pelaku UMKM bisa didampingi terkait hal-hal teknis untuk bisa berkompetisi dan berjualan di marketplace, media sosial, atau platform digital lain,” ujarnya.

Di samping itu, ekonom Indef tersebut juga menyarankan BUMN lebih berperan sebagai agregator, menyerap produk UMKM untuk dipasarkan di pasar digital. Selain itu, pemberian kredit usaha rakyat atau KUR perlu dipertajam dan diberikan kepada pelaku UMKM yang inovatif serta produktif.

Baca juga artikel terkait IMLEK 2021 atau tulisan lainnya dari Selfie Miftahul Jannah

tirto.id - Bisnis
Reporter: Selfie Miftahul Jannah
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Rio Apinino