Menuju konten utama

Bencana dan Tantangan Bertubi-tubi, Bioskop Tak Hendak Mati

Bioskop mampu bertahan di tengah pelbagai tantangan dan bencana yang menerpa.

Bencana dan Tantangan Bertubi-tubi, Bioskop Tak Hendak Mati
Header Mozaik Bioskop Akan Hidup Abadi. tirto.id/Fuad

tirto.id - Suatu hari pada awal 1960, saat berkeliling kota mencari lokasi untuk toko buku, Toby Talbot dan suaminya, saling bertukar judul-judul film masa lalu yang ingin ditonton kembali.

Ketika kembali ke rumah, keduanya mendapati "saudara-saudara kami tengah berbincang tentang seorang akuntan yang sedang berpikir untuk menjual bioskop Yortown di distrik Brodway (New York), antara 88th dan 89th Street," tulis Talbot dalam memoarnya berjudul The New Yorker Theater and Other Scenes from a Life at the Movies (2009).

Mengetahui ada bioskop yang hendak dijual, mereka melupakan keinginan untuk mendirikan toko buku. Keduanya lantas menyampaikan kepada sang akuntan, Henry Rosenberg, bahwa mereka hendak membeli bioskop itu.

Karena menganggap dua sejoli ini tak memiliki pengetahuan mumpuni soal bisnis bioskop, Rosenberg menolak tawaran yang diajukan.

Namun, tak ingin terus-menerus mengurus bioskop kumuh, sang akuntan akhirnya mengizinkan Talbot dan suaminya untuk mengurus Bioskop Yortown selama satu tahun, tanpa dibeli.

Jika Rosenberg menganggap mereka berhasil, "kita lihat apa yang bisa kita lakukan nanti," kenang Talbot soal perbincangannya dengan akuntan itu.

Talbot menerima tawaran itu dan mulai bekerja mengurus bioskop. Ia bekerja sendirian sebab sang suami ditentang oleh orang tuanya karena mengurus bioskop dianggap bukan pekerjaan.

Setelah mengganti seluruh kursi, menambal di sana-sini, serta mendekorasi ulang, Talbot memulai langkahnya di dunia bioskop bukan dengan nama Bioskop Yorktown, tetapi The New Yorker Theater.

Mula-mula film yang diputar berjudul Henry V yang dibintangi Laurence Olivier. Selain itu, diputar juga film The Red Baloon (1956) karya Albert Lamorisse yang di hari pertama pemutarannya berhasil mendulang dua ribu penonton.

Jumlah penonton kian banyak ketika di hari berikutnya bioskop ini menutar film Day of Wrath, Harvest, The Magnificent Ambersons, dan Pull My Daisy (1959).

Thomas Beller, pengajar sastra pada Tulane University peraih New York City Book Award, dalam "The Death of a Movie Theatre" menyebut bahwa kesuksesan The New Yorker Theater terjadi karena Talbot selektif dalam memilih judul film yang hendak diputar.

Sebagai moviegoer, Talbot tahu betul mana film yang layak ditonton dan mana yang tidak. Di saat bioskop-bioskop lain hanya memutar film-film Hollywood, ia berani menyuguhkan film-film dalam French New Wave dan New German.

Ketika Perang Vietman berkecamuk dan membuat publik AS protes, Talbot menjadi satu-satunya pebisnis film yang berani memutar Before the Revolution (1964), Shoah, serta Point of Order (1964).

Bukan hanya publik New York yang kegirangan dimanjakan Talbot, tetapi juga tokoh-tokoh di dunia perfilman. The New Yorker Theater menjadi bioskop langganan Woody Allen, Martin Scorsese, Andrew Sarris, hingga Pauline Kael.

Singkat cerita, Talbot akhirnya memiliki bioskop itu dan mengubahnya menjadi Lincoln Plaza Cinemas sejak 1981. Apa yang ia lakukan memengaruhi bioskop-bioskop, terutama di AS, bekerja dalam memilih film-film yang diputar.

Meski menjadi pemilik Lincoln Plaza Cinemas, properti di bioskop tersebut tidak termasuk di dalamnya. Dipicu oleh kenaikan terus-menerus biaya sewa gedung dan ketidakinginan pemilik properti menyewakan tempatnya bagi bioskop itu, akhirnya pada Januari 2018 Lincoln Plaza Cinemas gulung tikar.

Empat tahun berselang, Cineworld--jaringan bioskop terbesar kedua di dunia asal Inggris yang mengoperasikan Regal Cinemas di Amerika Serikat--mengajukan permohonan kebangkrutan (pailit) kepada pengadilan AS.

Berbeda dengan Lincoln Plaza Cinemas, permohonan pailit ini dilakukan Cineworld untuk membuat seluruh jaringan bioskop yang mereka miliki tetap hidup. Mereka mencoba meloloskan diri dari jeratan utang senilai $8,9 miliar dan tanggungan senilai $4 miliar setelah dihajar pandemi Covid-19 melalui restrukturisasi perusahaan atas putusan pengadilan.

Tetap Bertahan

Bioskop telah menjadi salah satu tempat terpenting dalam kehidupan manusia modern. Ia bukan sebatas tempat menonton film, tapi "ranah privat--juga publik sebagai paradoksnya--bagi masyarakat untuk melakukan hal-hal pribadi, yakni tertawa, menangis, dan memadu asmara," tutur Richard Brody, kritikus film The New Yorker dalam "What I Miss Most About Movie Theatres"(April 2020).

Brody menambahkan, bioskop bukan hanya tentang pengalaman fisik menyaksikan tutur-kisah dalam layar besar, ruang gelap, dan suara yang menggelegar, tetapi juga salah satu penanda utama mengapa kota menjadi kota--dengan menjadi rumah bagi film.

"Ya, film hari ini dapat disaksikan di mana saja, tanpa harus ke bioskop, melalui kemunculan aplikasi streaming seperti Netflix. Namun, karena mereka miliki begitu banyak film yang tak diragukan lagi kualitasnya, mayoritas masyarakat kebingungan memilih film yang hendak ditonton dan akhirnya tidak ada film yang ditonton," lanjut Brody.

Diterpa pandemi Covid-19, ribuan bioskop di seluruh dunia terpaksa harus tutup sementara, bahkan bangkrut. Namun, bak data noise dalam ilmu statistik, lesunya bioskop di masa pandemi mesti dianggap sebagai angin lalu semata.

Infografik Mozaik Bioskop Akan Hidup Abadi

Infografik Mozaik Bioskop Akan Hidup Abadi. tirto.id/Fuad

Musababnya, sebelum Covid-19 muncul, bisnis bioskop di seluruh dunia melesat. Jika pada 2015 hanya mendulang $6,8 miliar, maka pada 2019 pelbagai jaringan bioskop di Cina meraup pendapatan sebesar $9,3 miliar.

Di Jepang dan Korea Selatan, dalam rentang waktu yang sama, terdapat pertumbuhan hingga 30 persen. Terdongkrak atas masifnya jumlah film yang dirilis, dari 232 film menjadi 502 film.

Hasil positif juga diraih jaringan bioskop di India (meningkat 15 persen), Meksiko, Colombia, Indonesia, Polandia, serta Rusia yang masing-masing mengalami peningkatan hingga 20 persen.

Setelah pandemi mereda dan memungkinkan bioskop beroperasi kembali, dimotori oleh Top Gun: Maverick, Doctor Strange in the Multiverse of Madness, Minions: The Rise of Gru, serta Pengabdi Setan 2: Communion dan KKN di Desa Penari khusus bagi publik Indonesia, bioskop kembali bergairah.

Top Gun meraup pendapatan hingga $1,5 miliar. Sementara sekuel Doctor Strange berhasil ditonton lebih banyak 41 persen dari film sebelumnya. Keduanya memecahkan rekor keterisian kursi dan penghasilan milik film-film tersukses sebelum pandemi.

Kesuksesan ini juga dirasakan oleh para pembuat film. Pasalnya, meski studio film kini berlomba-lomba mengembangkan aplikasinya sendiri, penjualan tiket bioskop menyumbang sepertiga total penghasilan sebuah film.

Tertatih-tatih diterpa pandemi dan menjadi alasan Cineworld atau Regal Cinemas mengajukan kepailitan, bioskop tak akan sirna seperti yang dialami The New Yorker Theater.

Ia berhasil selamat dari pelbagai tantangan dan bencana yang mengusik eksistensinya, mulai dari kemunculan Betamax, VCR, DVD, VCD, TV, streaming, hingga pandemi Flu Spanyol. Maka tidak ada alasan bagi bioskop untuk kalah dari pandemi Covid-19.

Baca juga artikel terkait BIOSKOP atau tulisan lainnya dari Ahmad Zaenudin

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Irfan Teguh Pribadi