Menuju konten utama

Benarkah Amerika Latin Bergerak ke Kanan?

Sayap kanan di Amerika diperkirakan bangkit. Namun, kiri masih kuat.

Benarkah Amerika Latin Bergerak ke Kanan?
Anggota komunitas Venezuela memegang poster Presiden Nicolas Maduro dalam sebuah protes menjelang Sidang Umum Organisasi Negara-Negara Amerika ke-47 (OAS), dengan krisis Venezuela yang sedang berlangsung dalam sorotan, diluar bandara internasional di Cancun, Meksiko, Senin (19/6). ANTARA FOTO/REUTERS/Ivan Alonso

tirto.id - Awal abad 21 menjadi era baru di Amerika Latin. Partai-partai kiri menang di Venezuela, Cile, Brasil, Argentina, Uruguay, Bolivia, Ekuador, dan Paraguay. Sosialisme, kata yang haram selama Perang Dingin di benua tersebut, tiba-tiba kembali bergema di ruang-ruang publik.

Sejak terpilih sebagai presiden Venezuela para 1999 Hugo Chavez menjadi motor gerakan sosialis/populisme sayap kiri dan anti-imperialis. Pada 2002, Luiz Inacio Lula da Silva, pendiri Partai Buruh Brazil berhasil memenangkan pemilihan umum. Lalu ada pasangan politik kiri dari Argentina, Nestor Kirchner dan Christina yang berturut-turut menduduki kursi kepresidenan di Argentina. Tak ketinggalan, Evo Morales terpilih menjadi presiden Bolivia pada 2005, disusul oleh kemenangan Rafael Correa di Ekuador.

Program dan retorik pemerintahan sayap kiri di Amerika Latin umumnya serupa: nasionalisasi industri, redistribusi pendapatan, dan menolak resep-resep neoliberalisme ala IMF. Mengutip pernyataan sosiolog asal Brazil, Emir Sader, Amerika Latin adalah “rantai terlemah dalam pusaran neoliberal dunia.”

Namun, angin politik saat ini berbalik arah. Dominasi sayap kiri dalam pemerintahan negara-negara Amerika Latin mulai tergerus. Di Argentina, Mauricio Macri yang berasal dari partai sayap kanan Cambienos terpilih menjadi presiden Argentina sekaligus mengakhiri 12 tahun kekuasaan klan Kirchner. Sementara itu di Venezuela, penerus Hugo Chavez, Nicolas Maduro mendapatkan tekanan dari oposisi yang meraih kemenangan telak di pemilihan legislatif 2015. Krisis politik dan ekonomi pun membuat posisi Maduro semakin tersudut.

Rafael Correa yang dikenal sebagai ekonom radikal Ekuador juga tak luput dari tekanan untuk meletakkan jabatannya akibat resesi ekonomi negerinya. Di Bolivia, Evo Morales tersandung skandal seks dan pada 2016 kalah suara dalam referendum konstitusi yang memungkinkan dirinya menjabat presiden untuk kali keempat.

Kemudian, di Brazil sekitar satu juta orang turun ke jalan meminta Presiden Dilma Rousseff yang juga dari sayap kiri untuk mundur jabatan pada 2016. Rousseff bahkan dimakzulkan Kongres akibat korupsi dan krisis ekonomi. Michel Temer yang berasal dari kelompok sayap kanan naik menggantikannya.

Baca juga: Venezuela, Krisis, dan Obsesi Kecantikan

Laporan yang dirilis lembaga jejak pendapat Chile Latinobarometro pada 2015 menyebutkan bahwa tingkat kepuasan publik terhadap demokrasi di Amerika Latin berada pada titik rendah. Selain itu, kepercayaan publik akan institusi politik di negara-negara Amerika Latin setali tiga uang. Reputasi pemerintah dianggap turun drastis dalam beberapa tahun terakhir.

Banyak yang berpendapat bahwa terguncangnya pemerintahan sayap kiri di Amerika Latin disebabkan karena pemerintah dianggap gagal memenuhi janji politiknya (kesejahteraan dan pertumbuhan ekonomi). Jorge Castañeda, pakar politik dan mantan menteri luar negeri Meksiko menyebutkan bahwa kejayaan politik sayap kiri di Amerika Latin sudah berakhir—meski tentatif—akibat tantangan ekonomi yang urung diselesaikan. Namun demikian, secara umum goyahnya pemerintahan sayap kiri di Amerika Latin disebabkan oleh masalah ekonomi dan korupsi yang masif.

Selama awal abad 20, Amerika Latin menikmati keuntungan akibat melonjaknya harga ekspor komoditas mentah unggulan seperti minyak dan tembaga. Lonjakan harga telah memicu pertumbuhan ekonomi yang signifikan. Harold Trikunas dari Pusat Riset Kerjasama dan Keamanan Internasional Universitas Stanford menjelaskan kenaikan angka ekonomi di Amerika Latin mengurangi angka kemiskinan serta melipatgandakan jumlah kelas menengah.

Membaiknya kondisi ekonomi nasional memberikan peluang bagi pemerintah untuk menyusun program-program sosial, yang sayangkan dilakukan tanpa perhitungan matang. Di Venezuela pada era Chavez, misalnya, pemerintah menghabiskan anggaran dari minyak untuk memperluas akses kesehatan, pendidikan, serta pasokan makanan, namun tanpa memperbaharui sektor-sektor ekonomi non-migas.

Tak sedikit pula program pemerintah dibiayai lewat utang yang jumlahnya semakin meningkat (dari 28 miliar dolar di awal jabatannya menjadi 90 miliar dolar saat Chavez meninggal). Richard Feinberg, profesor politik-ekonomi internasional Universitas California menyebut Venezuela sebagai negara dengan “kasus belanja anggaran paling ekstrem.”

Kondisi serupa juga terlihat di Argentina. Pemerintahan Cristina Fernandez diterpa dampak-dampak krisis ekonomi mulai dari tingginya angka pengangguran hingga inflasi yang tinggi (menyentuh angka 25 persen pada 2010).

Masa kejayaan pemerintahan kiri yang didukung oleh naiknya harga komoditas mentah seperti minyak bumi pun berakhir. Di saat bersamaan, harga komoditas turun serta simpanan anggaran habis tak bersisa karena digunakan untuk membiayai program-program pemerintah.

Situasi diperburuk dengan korupsi di pemerintahan. Di Brazil, Rousseff dimakzulkan karena dituduh terlibat kasus korupsi. Kemudian di Argentina, Fernandez diduga kuat melakukan manipulasi dana Bank Sentral serta mengkorupsi anggaran proyek pemerintah.

“Ketika masyarakat menghadapi permasalahan ekonomi ditambah kasus korupsi yang akut, maka kondisi memang benar-benar memprihatinkan,” ujar Feinberg.

Menebak Arah Politik Amerika Selatan

Titik terendah politik kiri dalam di Amerika Latin terjadi pada 1981, ketika nyaris seluruh organisasi kiri tiarap akibat berkuasanya rezim-rezim militer di Brazil, Argentina, hingga Bolivia.

Keadaan sempat berubah saat kelompok sayap kiri di Amerika Latin mulai berani melawan pemerintah otoritarianisme. Kekuatan politik perlahan bergeser ke kelompok kiri sebelum momentum tersebut hilang akibat kebijakan ekonomi pasar bebas yang termaktub dalam Konsensus Washington pada 1989.

Kebijakan pasar bebas nyatanya membuat perekonomian sejumlah negeri di Amerika Latin jalan melambat. Kesempatan emas tersebut diambil oleh partai-partai kiri untuk tampil dan merebut kekuasaan politik. Hasilnya, pada 2008 delapan dari sepuluh kursi presiden di Amerika Latin dikuasai kaum populis kiri hingga 2016, ketika jumlahnya menurun jadi lima.

Krisis pemerintahan kiri di Amerika Latin pun tak bisa dilepaskan dari pengaruh Washington. Meskipun krisis ekonomi dan korupsi dirasa jadi alasan utama, namun apabila ditelisik lebih dalam Amerika Serikat memiliki peran yang tidak bisa dianggap remeh melalui lembaga think tank bernama Atlas Network, yang menjadi perpanjangan kebijakan luar negeri Amerika Serikat di berbagai negara.

Dengan 450 jaringan di seluruh dunia, Atlas Network memperoleh pendanaan dari Departemen Luar Negeri Amerika, National Endowment for Democracy, hingga para pebisnis liberal semacam Koch bersaudara (pemilik jaringan bisnis Koch Industries).

Operasi Atlas Network di Amerika Latin dalam upaya-upayanya mendorong perubahan rezim di Brazil, Argentina, sampai Cile. Di Brazil, Atlas Network bekerjasama dengan jaringan liberal pro-pasar setempat untuk menyokong Gerakan Brazil Merdeka (Free Brazil Movement) guna menekan Rousseff mundur dari jabatan. Di Argentina Atlas Network menjalin hubungan dengan lembaga think tank liberal macam Fundacion Pensar untuk mendukung Macri menjadi presiden.

Atlas Network menanamkan pengaruhnya di kelompok oposisi Venezuela dan menghimpun kekuatan kampanye untuk kandidat dari kelompok kanan-tengah Cile Sebastián Piñera selama persiapan pemilihan presiden tahun ini.

Dalam kegiatannya mendukung kandidat-kandidat pro-pasar di Amerika Latin, Atlas Network memberikan bantuan finansial pelatihan, dan seminar kepada pihak-pihak terkait seperti Gerakan Brazil Merdeka dan Foundacion Eleutera di Honduras.

Pertanyaannya kemudian adalah, apakah partai-partai sayap kanan tengah berjaya lagi di Amerika Latin?

Para pengamat menyatakan masih terlalu dini untuk menyimpulkan bahwa kekuatan kanan sedang bangkit di Amerika Latin. Partai dan organisasi sayap kanan di Amerika Latin yang secara umum berkarakter konservatif, pro-pasar, dan mendukung kebijakan-kebijakan anti-subsidi menemui berbagai ganjalan karena kuatnya pengaruh politik kiri di akar rumput dan sejumlah lembaga pemerintahan yang telah terkonsolidasi sejak kemenangan bertahap gerakan kiri pada awal 2000an.

Baca juga: Yang Latin, Yang Emosional

Raanan Rein, profesor sejarah Spanyol dan Amerika Latin pada Universitas Tel Aviv menuturkan bahwa kondisi Argentina saat ini terpolarisasi dan penuh dengan skandal korupsi. Selain itu, perekonomian Argentina masih mewariskan ketimpangan sosial yang luar biasa. Macri pun juga dikritik akibat pemerintahannya dianggap terlalu boros.

Sedangkan di Brazil, jalannya pemerintahan Michel Temer yang menggantikan Rousseff juga tak mulus. Di tengah ajakannya membenahi perekonomian dengan menggandeng Kementerian Keuangan Brazil, Bank Sentral, Bank Pembangunan Nasional (BNDES), sampai Petrobas, kasus korupsi justru menyeret anak-anak buah Temer.

Lowell Gustafson, profesor ilmu politik dari Universitas Villanova menjelaskan bahwa partai-partai kiri akan memanfaatkan skandal dan inkompetensi pemerintahan sayap kanan di beberapa negara seperti Brazil dan Argentina.

infografik tumbuhnya politik kanan amerika latin

Selain faktor-faktor di atas, pengaruh politik dan kultural sayap kiri di beberapa negara juga masih kuat. Di Peru, Pedro Pablo Kuczynski menang atas lawannya dari sayap kanan, Keiko Fujimori berkat dukungan besar dari kelompok kiri Peru. Di Cile, Michelle Bachelet kembali memimpin pemerintahan untuk kali kedua. Kemudian di Nikaragua, Daniel Ortega, mantan gerilyawan kiri terpilih lagi dalam pemilihan walaupun pihak oposisi menuduhnya melakukan kecurangan.

Baca juga: Amerika Latin Berharap Donald Trump Hormati Kedaulatan

Jorge G. Castañeda menjelaskan terdapat beberapa permasalahan penting yang dialami oleh negara-negara Amerika Latin. Pertama adalah soal anggaran pemerintahan. Sudah semestinya negara-negara Amerika Latin memperkuat fondasi anggaran negara untuk pembiayaan jangka panjang. Situasi masa lampau di mana lonjakan harga komoditas seperti tembaga, minyak bumi, dan gas yang dibarengi ketidakmampuan mengelola anggaran kiranya harus ditinggalkan. Menurut Castaneda, pemerintah perlu membuat tata kelola anggaran yang lebih bijak agar mampu bertahan dalam situasi ekonomi yang serba tidak menentu.

Cile dan Peru bisa dijadikan contoh untuk poin pertama. Kedua negara tersebut dapat menarik keuntungan dari harga minyak, hasil bumi, hingga tembaga untuk kemudian menyimpannya di bawah pengawasan ketat. Simpanan itu kemudian digunakan untuk program-program pembangunan infrastruktur, perluasan akses kesehatan dan pendidikan.

Kedua, berkaitan dengan budaya korupsi, Castaneda menjelaskan bahwa korupsi di Amerika Latin muncul sebab pengelolaan ekonomi berbasis sumber daya alam tidak berjalan baik. Ditambah lagi, ketiadaan transparansi, pertanggungjawaban, hingga pengawasan yang lemah kepada institusi pemerintahan juga ditengarai sebagai penguat iklim korupsi.

Untuk poin kedua, negara-negara di Amerika Latin setidaknya dapat meniru jejak Uruguay. Sejauh ini, Presiden Tabare Vazquez kiranya mampu mengelola pemerintahan tanpa memunculkan banyak konflik. Beberapa pencapaian telah dilakukan Uruguay seperti menekan angka korupsi (menurut Transparency International), mendorong energi terbarukan, hingga menjaga kestabilan sosial.

Baca juga artikel terkait AMERIKA LATIN atau tulisan lainnya dari M Faisal Reza Irfan

tirto.id - Politik
Reporter: M Faisal Reza Irfan
Penulis: M Faisal Reza Irfan
Editor: Windu Jusuf