Menuju konten utama

Benarkah Vitamin D Sinar Matahari Bisa Mengurangi Infeksi COVID-19?

Benarkah Vitamin D sinar matahari bisa mengurangi terinfeksi dari virus COVID-19?

Benarkah Vitamin D Sinar Matahari Bisa Mengurangi Infeksi COVID-19?
Ilustrasi Sunbathing atau berjemur di sinar matahari. foto/istockphoto

tirto.id - Orang yang berjemur di bawah sinar matahari biasanya melakukan hal itu dengan tujuan membuat mereka merasa nyaman dan membuat kulitnya lebih bersinar.

Selain itu sinar matahari juga memiliki manfaat lain, yakni memberikan vitamin yang sangat dibutuhkan tubuh, yakni Vitamin D sebagai penguat tulang. Vitamin D dapat mencegah penyakit seperti rakhitis dan membantu kalsium menjaga tulang tetap kuat.

Seperti dilansir dari Medical Daily, Vitamin D yang diperoleh dari sinar matahari juga mengurangi risiko terkena osteoporosis, tulang rapuh. Dan saat ini, para peneliti berpikir vitamin D juga dapat mengurangi risiko tertular COVID-19.

Dua penelitian terbaru menemukan bahwa orang yang memiliki kadar vitamin D di bawah normal lebih sering tertular COVID-19 daripada orang dengan kadar yang disarankan.

Studi pertama, yang diterbitkan pada Mei di Irish Medical Journal, menelusuri literatur untuk catatan pasien yang lebih tua di Eropa untuk mencari hubungan antara kadar vitamin D dan infeksi virus corona.

Para peneliti berharap bahwa orang-orang di negara-negara yang lebih cerah, seperti Italia dan Spanyol, akan memiliki level yang lebih tinggi daripada negara-negara yang lebih utara, seperti Norwegia, Finlandia dan Swedia.

Namun, mereka menemukan bahwa yang terjadi adalah sebaliknya. Warga negara utara, di mana makanan yang diperkaya dengan vitamin D dan suplemen lebih umum memiliki kadar vitamin yang lebih tinggi dalam darah mereka.

Mereka juga memiliki tingkat infeksi dan kematian COVID-19 terendah. Namun, penulis juga menyebutkan bahwa ada banyak masalah yang tidak diselidiki, seperti bagaimana setiap negara mengukur kadar vitamin D, dan kemungkinan alasan lain mengapa warganya lebih terinfeksi daripada yang lain, termasuk seberapa cepat infeksi menyebar.

Artikel lain, yang ini diterbitkan di JAMA Network Open pada bulan Agustus, didasarkan pada penelitian di AS terhadap hampir 500 pasien. Para peneliti mengamati pasien yang kadar vitamin D darahnya diukur dalam waktu satu tahun setelah diuji untuk COVID-19.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pasien yang kekurangan vitamin D hampir dua kali lebih mungkin untuk tertular COVID-19 dibandingkan pasien dengan tingkat normal.

Para peneliti yang berbasis di AS mencatat bahwa ada banyak alasan mengapa seseorang mungkin kekurangan vitamin D, termasuk masalah kesehatan kronis atau faktor gaya hidup yang membatasi paparan mereka terhadap vitamin tersebut.

Ini, juga, dapat berdampak pada tertular virus. Mereka mendorong studi lebih lanjut untuk melihat masalah tersebut.

Kedua studi ini bertentangan dengan apa yang ditemukan para peneliti dari University of Glasgow.

Studi mereka, yang diterbitkan dalam Diabetes & Metabolic Syndrome edisi Juli / Agustus, mengamati hampir 1.500 orang di Inggris yang telah dites positif COVID-19 dan yang telah diuji untuk kadar vitamin D antara 2006 dan 2010.

Para peneliti yang melakukannya tidak menemukan hubungan apa pun tentang bagaimana vitamin yang dimiliki orang-orang ini.

Jadi, pada titik ini, belum ada jawaban pasti apakah vitamin D benar-benar bisa berperan dalam mengurangi infeksi COVID-19.

Baca juga artikel terkait SINAR MATAHARI MENCEGAH CORONA atau tulisan lainnya dari Dewi Adhitya S. Koesno

tirto.id - Kesehatan
Penulis: Dewi Adhitya S. Koesno
Editor: Agung DH