Menuju konten utama
Soeharto & Tragedi Umat Islam

Benarkah Soeharto Memusuhi Islam dan Mengapa Ia Berubah?

Beberapa kesaksian tentang sikap Soeharto pada Islam.

Benarkah Soeharto Memusuhi Islam dan Mengapa Ia Berubah?
Soeharto dan Moerdani. Foto/garudamiliter.blogspot

tirto.id - “Kok saya yang dituduh Anti-Islam. Soeharto itu yang anti-Islam,” kata Benny Moerdani setelah Salim Said bertanya terkait banyaknya tuduhan kepada Benny Moerdani yang dicap anti-Islam.

Mengenai tuduhan Benny Moerdani yang dicap anti Islam, Abdurrahman Wahid (Gus Dur), dalam tulisan sumbangannya dalam buku LB Moerdani: Langkah Perjuangan (2005) untuk mengenang jenderal Katolik abangan itu punya pendapat yang cukup netral.

“Sebagian teman menyatakan kepada penulis (baca: Gusdur) Benny Moerdani adalah musuh Islam yang sesungguhnya, tetapi penulis melihat kesimpulan itu sebagai sesuatu yang salah....dia memegang pendirian bahwa harus ada perbedaan yang tegas antara mana yang menjadi tanggungjawab negara dan mana milik agama itu sendiri,” tulis Gus Dur.

“Saya tahu pada awal Orde Baru, Soeharto memang ada menunjukkan sikap alergi pada Islam. Saya sendiri pernah menyaksikan Soeharto melotot kepada seorang santri wanita yang menyarankan agar demonstrasi dukungan kepada ABRI yang berlangsung di halaman Kostrad pada hari-hari pertama pasca Gestapu itu ditutup dengan doa,” tulis Salim Said dalam bukunya.

Salim Said juga mencatat Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (NU) era peristiwa 1965, Subchan ZE yang sering bertemu Soeharto di Markas Kostrad juga punya pengalaman sama. Suatu kali, di akhir sebuah rapat, Subchan yang menyampaikan soal rencana aksi pengganyangan PKI, berucap kata “Insya Allah.” Soeharto pun terganggu.

“Mengapa harus pakai Insya Allah?” tanya Harto dengan nada kesal. Belakangan Subchan, yang berasal dari kalangan santri di Kudus Jawa Tengah, berkesimpulan: “Wah, Soeharto ini memang abangan tulen.”

Masih di hari-hari awal pasca Gestapu atau G30S yang gagal, Salim Said juga mengutip dari Harry Tjan Silalahi dalam bukunya Tengara Orde Baru: Harry Tjan Silalahi (2004) yang punya cerita soal alergi Soeharto pada Islam. Di Markas Besar AD 24 Januari 1966, tokoh anti-komunis bertemu dengan Soeharto. Salah satunya Kiai Dahlan dari NU yang menyinggung soal Piagam Jakarta—sila pertamanya dilengkapi frasa “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya.”

Soeharto bereaksi. “Bagaimana dengan saya yang abangan ini dan Islam abangan lainnya? Apakah akan dipaksa melakukan sembahyang dan lain-lainnya?” tanya Soeharto. Sang kiai pun bilang, “Hal tersebut bergantung kepada orangnya.”

Menurut Soeharto ketika itu, Piagam Jakarta tidak perlu dipersoalkan dan meminta agar persoalan Piagam Jakarta itu tidak diteruskan. Mereka yang mendengar percakapan itu juga berkesimpulan betapa alerginya Soeharto pada Islam.

Soeharto membiarkan para pejabatnya melarang jilbab. Dirjen Pendidikan dan Menengah (Dikdasmen), Prof. Darji Darmodiharjo, SH, pada 17 Maret 1982, mengeluarkan Surat Keputusan 052/C/Kep/D.82 tentang Seragam Sekolah Nasional yang berujung pada pelarangan jilbab di sekolah negeri sekuler.

Perubahan Sikap kepada Islam

Tentu saja Soeharto tak bisa berlama-lama menghalang-halangi jilbab. Dia tak mau terus menerus ditentang diam-diam oleh orang Islam seperti sosok Abdurrahman Wahid yang memimpin NU itu. Soeharto pun akhirnya merangkul orang-orang Islam lainnya.

Soeharto juga kemudian menyetujui didirikannya Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) pada Desember 1990. Lalu, ia memperbolehkan jilbab dipakai. Setahun setelah merestui ICMI, Soeharto bahkan naik haji bersama keluarganya. Namanya pun menjadi Haji Muhammad Soeharto.

“Saya ini bibit Muhammadiyah yang ditanam di bumi Indonesia; dan alhamdulillah memperoleh kepercayaan masyarakat Indonesia untuk memimpin pembangunan nasional. Semoga apa yang saya lakukan ini tidak mengecewakan warga Muhammadiyah,” kata Soeharto dalam pembukaan Muktamar Muhamadiyah di Banda Aceh pada 1995, seperti dikutip Media Indonesia (09/07/1995).

Situasi politik memang sudah berbeda. Perang Dingin sudah usai, Uni Soviet sudah bubar, dan Republik Rakyat Cina terlihat mulai lebih moderat ketimbang menampakkan diri sebagai negara komunis berhaluan keras.

Sehingga platform politik yang sebelumnya melandaskan diri pada anti-komunisme pun berganti narasi. Salah satu indikasinya adalah dipulihkannya hubungan diplomatik dengan Cina pada 1990. Pemulihan ditandai penandatanganan nota kesepahaman (MOU) oleh kedua Menteri Luar Negeri, Ali Alatas dan Qian Qichen, di Jakarta pada 8 Agustus 1990. Kedua kepala negara, Soeharto dan Li Peng, menyaksikan langsung peristiwa bersejarah itu.

Memasuki dekade 1990an, Soeharto menilai Islam bisa menjadi basis politik yang lebih kuat di masa-masa mendatang. Inilah yang membuatnya berubah arah menjadi lebih ramah pada Islam.

Menurut Ginanjar Kartasasmita, salah seorang menteri di era Orde Baru, seperti dikutip Salim Said dalam dalam Menyaksikan 30 tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto (2016), “Soeharto seorang yang pragmatis, Soeharto melihat kekuatan Islam politik berkembang dan berpengaruh pada kekuasaan....untuk hari depan kepentingan politiknya, Soeharto merasa harus berbaikan dengan kekuatan Islam yang sedang bangkit tersebut.”

Hal sama disampaikan Robert Hefner. Peneliti tentang Islam di Indonesia mengatakan perubahan Soeharto memang dipengaruhi oleh analisis tentang situasi dan kebutuhan politik. “Soeharto dari semula sudah bermaksud memanfaatkan ICMI untuk tujuan politiknya sendiri,” tulis Robert Hefner dalam bukunya Civil Islam: Muslim and Democratization in Indonesia (2000).

Infografik Soeharto dan Islam

Semua Salah Benny Moerdani

Sikap alerginya pun pelan-pelan menghilang. Cukup nama di bawahnya macam Benny Moerdani yang terkait kasus Tanjung Priok atau Darji Darmodiharjo yang memutuskan pelarangan jilbab sajalah yang dipersalahkan.

Para pengagum Soeharto kini terbiasa menyederhanakan persoalan politik yang kompleks itu dengan cara: semua salah Benny.

Latar belakang Benny sebagai seorang Katolik menjadi basis argumentasi untuk membebaskan Soeharto dari seluruh tindakan kekerasan Orde Baru kepada ulama atau umat Islam. Hal itu sama saja menganggap Benny “serba main sendiri,” “bergerak di luar komando,” atau “bertindak tanpa sepengetahuan Soeharto.”

Sebagai penguasa tertinggi di Indonesia, terlalu menggelikan menganggap Soeharto sama sekali tidak tahu menahu kejadian Tanjung Priok, Talang Sari atau Haur Koneng, misalnya. Lagi pula, Soeharto masih terus memberikan kesempatan kepada Benny, dan bukan memecat atau menjauhkannya dari kekuasaan.

Tragedi pembantaian umat Islam di Priok pada 1984 tak membuat Benny “cacat” di mata Soeharto saat itu juga. Jabatan Benny sebagai Panglima ABRI terus berlanjut sampai 1988. Setelah itu, Benny malah menjadi Menteri Pertahanan dan Keamanan dari 1988 hingga 1993. Artinya, Benny dianggap bekerja dengan baik, bukan melakukan tindakan main sendiri.

Jadi, masih berpikir semua salah Benny?

Baca juga artikel terkait SOEHARTO atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Politik
Reporter: Petrik Matanasi
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Zen RS & Maulida Sri Handayani