Menuju konten utama

Benarkah Sejarah Kerajaan Sriwijaya Fiktif Macam Kata Ridwan Saidi?

Ridwan Saidi meyakini bahwa sejarah Kerajaan Sriwijaya sebenarnya tidak pernah ada.

Benarkah Sejarah Kerajaan Sriwijaya Fiktif Macam Kata Ridwan Saidi?
Sejarawan dan budayawan Betawi, Ridwan Saidi (kanan). ANTARA FOTO/Dodo Karundeng

tirto.id - Budayawan Betawi, mantan politisi, yang juga sering dikenal sebagai sejarawan, Ridwan Saidi, menyebut Kerajaan Sriwijaya adalah fiktif. Benarkah sejarah kerajaan Buddha terbesar di Nusantara yang pernah berpusat di Palembang, Sumatera Selatan, itu memang fiktif seperti kata Ridwan Saidi?

Ridwan Saidi memaparkan argumennya mengenai Kerajaan Sriwijaya yang disebutnya tidak pernah ada itu dalam perbincangan dengan Vasco Ruseimy dan ditayangkan melalui channel YouTube tanggal 24 Agustus 2019.

Mula-mula, Ridwan Saidi menyebut bahwa generasi pertama historian Indonesia adalah orang Belanda semua. “Dan kebanyakan dari mereka bukan berpendidikan sejarah, namun berlatar belakang teolog,” kata pria kelahiran 1942 yang akrab disapa Babe ini.

Ridwan Saidi mengakui memang ada beberapa ahli sejarah asing, termasuk orang Belanda, pada masa kolonial yang bagus. “Tapi yang lainnya saya kira tulisannya kebanyakan dongeng,” ujar lulusan Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia ini.

Argumentasi Ridwan Saidi

Mengenai Sriwijaya, Ridwan Saidi mengisyaratkan bahwa kerajaan yang disebut mulai eksis pada abad ke-7 Masehi itu sebenarnya tidak pernah ada.

Teori yang diperoleh dari temuan prasasti Kedukan Bukit yang selama ini diyakini sebagai salah satu bukti terkuat keberadaan Sriwijaya, dibantah oleh mantan anggota DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pada era Orde Baru ini.

Menurutnya, dikutip dari konfirmasi CNN tanggal 28 Agustus 2019, peneliti bernama George Coedes yang menemukan Prasasti Kedukan Bukit salah dalam menerjemahkan aksara di prasasti itu.

Catatan dalam prasasti tersebut bukan dalam bahasa Sanskerta seperti yang diterjemahkan Coedes, “Tapi bahasa Armenia, itu sangat jauh,” tandas Ridwan Saidi.

Begitu pula dengan temuan lainnya, yakni Prasasti Kota Kapur yang bertuliskan Kedatuan (Kerajaan) Sriwijaya. “Itulah kedunguan penerjemah,” tukasnya.

“Itu adalah bahasa Armenia, kedatuan artinya selubung, Sriwijaya adalah sang ruang, the space, jadi Prasasti Kedukan Bukit dan tiga prasasti lainnya itu adalah prasasti teologis,” papar Ridwan Saidi.

Tiga prasasti selain Kedukan Bukit yang diyakini sebagai bukti keberadaan Kerajaan Sriwijaya adalah Prasasti Kota Kapur, Talang Igo, dan Talang Tuwo.

Prasasti teologis yang dimaksud Ridwan Saidi adalah bahwa penemuan tersebut membuktikan di daerah yang kemudian disebut sebagai wilayah Sriwijaya telah terdapat komunitas kaum spiritual, bukan kerajaan.

"Saya sudah 30 tahun mempelajari bahasa-bahasa kuno. Banyak kesalahan mereka [arkeolog/peneliti sejarah], prasasti di Jawa dan Sumatera adalah bahasa Melayu, tapi sebenarnya bahasa Armenia,” beber Ridwan, dilansir Kompas.com, Rabu (28/8/2019).

“Oleh arkeolog dipukul rata itu bahasa Sanskerta. Itu yang harus dikoreksi, masa enggak boleh dikoreksi?” imbuh Ketua Umum Partai Masyumi Baru periode 1995-2003 ini.

“Bantahlah argumentasi saya bahwa menggunakan Prasasti Kedukan Bukit salah karena yang mereka [arkeolog/peneliti sejarah] andalkan itu. Maka, saya katakan Kerajaan Sriwijaya itu fiktif!” tegas Ridwan Saidi.

Benarkah Sriwijaya Fiktif?

Selama ini, yang diyakini sebagai bukti awal keberadaan Kerajaan Sriwijaya adalah catatan seorang pengelana dari Cina bernama I-Tsing.

Nia Kurnia dalam buku Kerajaan Sriwijaya: Pusat pemerintahan dan Perkembangannya (1983) menyatakan bahwa catatan I Tsing harus mendapat tempat sebagai sumber informasi terpenting tentang Kerajaan Sriwijaya.

Banyak referensi lama yang memang menyebut I Tsing mengunjungi Sriwijaya pada 671 Masehi dan menetap di kerajaan itu selama 6 bulan, salah satunya adalah Gabriel Ferrand dalam L’Empire Sumatranais de Crivijaya (1922).

Mengenai I Tsing, Ridwan Saidi juga punya argumen yang dilontarkannya dalam wawancara dengan Vasco Ruseimy. Menurutnya, I Tsing memang diperintahkan oleh Kaisar Cina kala itu untuk mencari letak Sriwijaya, namun tidak pernah menemukan wujud kerajaan yang dimaksud.

Selain catatan I Tsing, ada pula prasasti yang ditemukan. Prasasti yang dipercaya paling tua mengenai Sriwijaya adalah Prasasti Kedukan Bukit (682 M), kemudian disusul penemuan tiga prasasti lainnya yang telah dibantah Ridwan Saidi.

Lantas, apakah memang Kerajaan Sriwijaya tidak pernah dalam sejarah peradaban Nusantara?

Jean Gelman Taylor dalam Indonesia: Peoples and Histories (2003) mengakui bahwa memang belum banyak bukti-bukti fisik yang ditemukan mengenai keberadaan Kerajaan Sriwijaya.

Sebelum Coedes merilis penemuan dari hasil penelitiannya pada 1918, sebut Taylor, belum ada orang Indonesia yang pernah mendengar tentang Kerajaan Sriwijaya, setidaknya hingga tahun 1920.

Selain catatan I Tsing dan beberapa prasasti yang ditemukan di Palembang, Bangka, serta sejumlah tempat lainnya, nyaris belum ada bukti lain yang dianggap sahih dan bisa benar-benar diandalkan untuk membuktikan keberadaan kerajaan tersebut.

Hanya kabar-kabar lokal yang beberapa di antaranya justru mendekati mitos, cerita rakyat, atau legenda, juga nukilan catatan musafir dari Arab dan India, yang barangkali bisa dihubungkan dengan eksistensi Kerajaan Sriwijaya.

Melacak Serpihan Sriwijaya

Menurut Paul Michel Munoz dalam Early Kingdoms of the Indonesian Archipelago and the Malay Peninsula (2006), salah satu alasan mengapa keberadaan Sriwijaya sangat sulit dipastikan adalah karena banyaknya nama yang dikait-kaitkan dengan penyebutan kerajaan ini.

Dalam bahasa Sanskerta dan bahasa-bahasa turunannya, Sriwijaya disebut sebagai Yavadesh atau Javadeh, bangsa Cina menamakannya Shih-li-fo-shih, San-fo-ts'i, atau San Fo Qi, sedangkan para saudagar Arab mengenal kerajaan ini dengan nama Zabaj, dan seterusnya.

Tahun 2012 lalu, Balai Arkeologi Palembang menemukan perahu yang diperkirakan digunakan pada masa awal Kerajaan Sriwijaya. Diberitakan Detik.com (24 Maret 2012), kapal kuno ini ditemukan di Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan.

Hanya saja, penemuan tersebut tidak berwujud utuh. Ujung depan kapal itu hilang meskipun saat ditemukan masih ada. Bahkan sebagian papan perahu justru digunakan untuk membuat jembatan. Sebenarnya, ada beberapa keping perahu yang ditemukan.

“Pertanggalan perahu-perahu tersebut mulai dari abad ke-7 Masehi sampai abad ke-13 Masehi dan dikaitkan dengan masa Kerajaan Sriwijaya,” ungkap Nurhadi Rangkuti, Kepala Balai Arkeologi Palembang saat itu.

Ditemukan juga beberapa benda atau artefak lain yang berhubungan dengan temuan perahu tersebut, seperti tembikar, keramik, dan alat kayu. Sayangnya, lagi-lagi, sejumlah artefak itu justru raib setelah ditemukan.

“Tembikar yang ditemukan berupa fragmen tungku, tetapi sekarang telah hilang dan penduduk tidak ada yang menyimpan lagi,” sesal Nurhadi.

Minimnya bukti yang ditemukan, juga kesalahan penerjemahan prasasti oleh Coedes, inilah yang membuat Ridwan Saidi sangat yakin dengan argumennya, bahwa Kerajaan Sriwijaya adalah fiktif belaka.

Tak pelak, paparan Ridwan Saidi yang mengejutkan itu menuai reaksi dari sejumlah pihak, bahkan ada yang sampai melaporkannya ke pihak berwajib.

Salah satu bantahan datang dari Retno Purwati, arkeolog Balai Arkeologi Sumatera Selatan, yang menegaskan bahwa Sriwijaya memiliki banyak bukti peninggalan, termasuk 22 prasasti di Palembang.

"Sriwijaya adalah kerajaan maritim terbesar yang berpindah-pindah, bukan berbentuk sebuah negara seperti yang banyak orang bayangkan dan sering membuat orang 'ngawur' saat mengatakan Sriwijaya itu tidak ada," tandas Retno, dikutip dari Antara, Senin (26/8/2019).

Sementara menurut Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI ) Sumatera Selatan, Farida Wargadalem, Ridwan Saidi seharusnya mengajukan penemuan atau argumennya itu untuk diuji oleh forum-forum keilmuan yang berkompeten.

“Jelas ngawur, sebuah temuan harus diuji oleh forum ilmuan sebidang agar ada pengakuan, tidak bisa asal berpendapat,” tukas Farida yang juga akademsi sejarah Universitas Sriwijaya (Unsri) Palembang ini.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Iswara N Raditya

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Abdul Aziz