Menuju konten utama

Benarkah Nahdlatul Ulama Semakin ke Kanan?

Nahdlatul Ulama (NU) kerap diniliai sebagai organisasi pelopor toleransi. Ironisnya, di beberapa daerah sejumlah kiai NU menyatroni kelompok minoritas seperti Ahmadiyah atau Syiah.

Benarkah Nahdlatul Ulama Semakin ke Kanan?
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Said Aqil Siradj (kedua kanan) didampingi Wakil Bupati Tasikmalaya Ade Sugianto (kedua kiri) berbincang dengan para kiai pada silaturahmi dan halaqoh ulama se-Priangan Timur di Pondok Pesantren Miftahul Ulum, Jamanis, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, Sabtu (24/3/2018).

tirto.id - Rais Aam Syuriah Nahdlatul Ulama (NU) sekaligus Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Ma'ruf Amin kerap dipanggil kiai atau yai Ma'ruf. Sebutan itu lazimnya dinisbatkan kepada orang yang dianggap menguasai dan mengajarkan ilmu agama Islam, dan biasanya memimpin pondok pesantren. Sebelum menjadi Ketua MUI, Ma'ruf menjabat Ketua Komisi Fatwa MUI (2001-2007). Komisi itu berperan penting dalam menggolkan fatwa-fatwa yang merugikan kelompok minoritas di Indonesia.

Pada 2005, MUI mengeluarkan fatwa bahwa Ahmadiyah "sesat dan menyesatkan". Fatwa ini kemudian didukung pemerintah dengan terbitnya Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri—menteri agama, menteri dalam negeri, dan jaksa agung—yang memerintahkan kepada penganut Ahmadiyah untuk menghentikan “penyebaran penafsiran dan kegiatan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama Islam.”

Pada tahun yang sama, juga melalui fatwanya, MUI mengharamkan perkawinan beda agama. Fatwa MUI juga yang menentukan haram dan halalnya makanan, obat, vaksin, hingga pakaian di Indonesia.

Ma'ruf boleh jadi kiai paling sohor saat ini sejak Jokowi menggandengnya sebagai calon wakil presiden. Ada yang menganggap bahwa menggaet Ma'ruf adalah cara Jokowi meraup suara pemilih Muslim, sementara ia mengabaikan sikap intoleransi yang tersemat dalam diri sang kiai. Tetapi, Ma'ruf bukan satu-satunya kiai yang berpengaruh di NU. Sebagian para kiai, terutama yang tergolong sepuh atau memiliki jabatan tinggi di NU, kerap berbeda sikap dengan Ma'ruf. Mereka cenderung toleran bahkan menjadi pembela kelompok minoritas dan pegiat Hak Asasi Manusia (HAM).

Sekitar dua pekan sebelum SKB anti-Ahmadiyah diteken pada 9 Juni 2008, Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKBB) pasang iklan satu halaman penuh di sejumlah surat kabar di Jakarta. Iklan itu menegaskan, "Indonesia adalah negara yang menjamin tiap warga bebas beragama [dan itu merupakan] hak asasi manusia yang dijamin Konstitusi." Abdurrahman Wahid (Gus Dur), kiai yang sempat menjadi Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), adalah bagian dari AKBB.

Gus Dur mendukung gagasan inklusif yang dikandung Pancasila. Menurutnya, gagasan itu merupakan mekanisme terbaik utuk melindungi dan menjamin kebebasan beragama masyarakat Indonesia. Di bawah pimpinan Gus Dur, NU menjelma sebagai organisasi yang mengedepankan moderasi Islam serta dialog sebagai jembatan menyikapi perbedaan.

Sikap NU tersebut dilanjutkan Said Aqil Siradj, kiai yang sekarang menjadi Ketua Umum PBNU. Said mengecam penyerangan terhadap kelompok Islam minoritas semacam Syiah atau Ahmadiyah. Dia memang memandang ajaran Ahmadiyah sebagai Islam yang menyimpang, namun mereka juga warga negara Indonesia yang mesti dihormati haknya. Sedangkan menurut kiai pengasuh pondok pesantren Al-Tsaqafah Ciganjur, Jakarta itu, Syiah tidak menyimpang dari Islam.

Mustofa Bisri, Rais Aam PBNU sebelum Ma'ruf Amin, juga mengecam penyerangan terhadap penganut Ahmadiyah dan Syiah. Menurut laki-laki yang akrab disapa Gus Mus itu, jalan yang mesti diambil NU terhadap ajaran "sesat" ialah melalui dialog.

Gus Mus sempat mengutarakan kepada NU Online mengenai pentingnya warga NU menjaga khittah nahdliyyah, yang salah satunya mengajarkan sikap toleran (tasamuh) dan menghargai perbedaan keyakinan, dan tidak mudah diseret dalam konflik karena perbedaan keyakinan. Pernyataan Gus Mus ini dilontarkan tak lama setelah adanya seruan pengusiran terhadap penganut Ahmadiyah di Sampang, Madura, pada Juni 2013.

NU Tidak Monolitik

Namun, lagi-lagi, NU memang tidak pernah monolitik. Meski para kiai sepuh atau petinggi NU menunjukkan sikap toleran, para kiai di daerah bisa saja bersikap lain.

Pada 2007, Pimpinan Cabang (PC) NU di Kuningan, Jawa Barat terlibat dalam serangan terhadap penganut Ahmadiyah. Empat tahun kemudian, Pikiran Rakyat melaporkan PCNU se-wilayah Cirebon dan sekitarnya menyepakati kelompok Ahmadiyah di Kuningan atau di manapun harus dibubarkan. Kesepakatan itu ditandatangani para kiai petinggi PCNU Kuningan, Majalengka, Indramayu, Kabupaten dan Kota Cirebon.

Lalu, pada 29 Desember 2011, 500 orang yang mengklaim sebagai kelompok Sunni menyerang dan membakar pesantren beraliran Syiah Misbahul Huda di Sampang, Jawa Timur. Kejadian itu membuat sebanyak 360 warga Syiah mengungsi di GOR Sampang.

Robins Bush dan Budhy Munawar-Rachman dalam "NU dan Muhammadiyah, Majorities Views on Religious Minorities in Indonesia" (2014) mencatat, setelah peristiwa itu, hasil pertemuan MUI Sampang dan NU Sampang menyatakan penyerangan terjadi karena penistaan agama yang dilakukan pemimpin Syiah, Ustaz Tajul Muluk. MUI Sampang dan Jawa Timur mencap Syiah sebagai ajaran sesat, meskipun MUI pusat yang dipimpin Ma'ruf Amin menyatakan Syiah "berbeda dengan Sunni dan perlu diwaspadai".

Ketegangan antara PBNU dan PCNU amat ketara menyikapi penyerangan Syiah di Sampang. Kiai Muhaimin Abdul Bari, Ketua PCNU Sampang, mengklaim Syiah sesat. Klaim ini tentu berlawanan dengan sikap PBNU dan Said Aqil. Karena Said konsisten membela Syiah, Rais Syuriah PCNU Jawa Timur Habib Achmad Zain Alkaf bahkan menyebutnya sebagai Syiah.

Momen termutakhir yang juga memperlihatkan perbedaan sikap kiai-kiai NU ialah fatwa MUI yang menyatakan ucapan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)—seorang Tionghoa yang tengah menjabat Gubernur DKI Jakarta—soal surah Al-Maidah ayat 51 dikategorikan menghina Alquran.

Fatwa itu dikawal Gerakan Nasional Pengawal Fatwa MUI (GNPF-MUI). Selama November dan Desember 2016, GNPF-MUI, Front Pembela Islam, dan organisasi umat Islam lainnya melancarkan aksi-aksi protes. Jelang penyelenggaraan Aksi Bela Islam 12 Desember 2016, pimpinan aksi ingin menyelenggarakan salat Jumat di jalan (bukan di masjid seperti lazimnya).

Gus Mus menyatakan salat Jumat di jalan merupakan bidah. "Kalau benar [akan ada salat Jumat di jalan], wah dalam sejarah Islam sejak zaman Rasulullah SAW baru kali ini ada bid'ah sedemikian besar. Dunia Islam pasti heran," cuitnya.

Sikap serupa juga disampaikan Salahuddin Wahid (Gus Sholah), kiai pengasuh Pesantren Tebuireng di Jombang. Dia tidak membolehkan salat Jumat di jalan. Menurutnya, itu boleh dilakukan apabila masjid tidak bisa menampung para jemaah.

PBNU pun secara resmi mengeluarkan fatwa yang menyatakan salat Jumat di jalan tidak sah, Kamis (24/11/2016), sepekan sebelum Aksi 212 berlangsung.

"Madzhab Maliki dan Syafi'i itu kalau imamnya di masjid, makmumnya keluar-keluar di jalan enggak apa-apa, tetapi kalau sengaja keluar rumah mau shalat Jumat di jalanan, shalatnya enggak sah," ujar Said Aqil, seperti dilansir NU Online.

Namun Lembaga Bathsul Masail NU (LBMNU) Jember, Jawa Timur menyatakan fatwa PBNU itu tidak tepat. Ma'ruf Amin pun menyempal. Dia justru getol ingin melegitimasi salat Jumat di jalan melalui fatwa MUI. Dan, pada akhirnya, MUI mengeluarkan fatwa bahwa salat Jumat di jalan tetap sah meskipun tidak dilaksanakan di masjid.

Infografik Nahdlatul Ulama PBNU vs PCNU

Bawah Ngegas, Atas Kalem

Dalam laporan penelitian bertajuk "Practicing What It Preaches?: Understanding the Contradictions between Pluralist Theology and Religious Intolerance within Indonesia’s Nahdlatul Ulama" (2017), Alexander R. Arifianto menyatakan, para kiai yang menjabat posisi tinggi (rais syuriah atau ketua tanfidziah) PBNU dan PCNU tidak selalu memiliki pesantren, universitas, klinik, dan lembaga sosial yang berafiliasi dengan NU.

Lembaga sosial tersebut sebenarnya dimiliki kiai secara individu. Kiai itulah yang mendirikan, merekrut para santri dan pegawai, dan mendanai lembaga tersebut. Dari situ, para kiai mendapat otonomi dan wibawa dari masyarakat sekitar pesantren yang mereka bangun.

Otonomi itu memusat di sekitar kiai dan tidak disalurkan ke PBNU dan PCNU. Meskipun NU mengklaim punya pengikut 60 juta orang, sebenarnya orang yang diklaim itu mengikuti para kiai yang berafiliasi dengan NU.

"Karena jemaat sebenarnya mengikuti kiai, menjadi tidak mungkin bagi pimpinan NU mengendalikan mereka," sebut Alexander.

Alexander menambahkan, NU hanya punya otoritas atas kiai yang menjabat posisi pimpinan di PBNU atau PCNU. Tetapi, PCNU bisa mengeluarkan fatwa sendiri yang bertentangan dengan PBNU. Individu kiai pun bisa menolak gagasan kiai lain yang punya posisi tinggi di PBNU atau PCNU. Bagi Alexander, NU merupakan contoh organisasi masyarakat sipil atau gerakan sosial bertipe desentralistis.

Sifat desentralistis NU, menurut telaah Alexander, menguntungkan Gus Dur dan Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKiS) menyebarkan gagasan demokrasi dan toleransi beragama selama Orde Baru. Desain organisasi NU membuat keduanya leluasa bergerak. Mereka juga bisa menghindar dari tindakan balas dendam yang dilancarkan pemerintah Orde Baru atau kiai konservatif NU.

Namun, setelah Soeharto tumbang, struktur desentralistis NU bikin sulit pimpinan NU mengawasi secara tegas perbedaan interpretasi individu kiai terhadap urusan keagamaan, termasuk sikap kiai terhadap kelompok minoritas semacam Ahmadiyah atau Syiah. Sesepuh dan pimpinan NU seperti Gus Dur, Gus Mus, atau Said Aqil Siradj berusaha betul memelopori toleransi beragama. Tetapi, di daerah, sebagian kiai NU justru menyatroni Ahmadiyah dan Syiah.

Baca juga artikel terkait NAHDLATUL ULAMA atau tulisan lainnya dari Husein Abdulsalam

tirto.id - Mild report
Penulis: Husein Abdulsalam
Editor: Ivan Aulia Ahsan