Menuju konten utama

Benarkah Minuman Keras Membantu dalam Menulis?

Penulis kerap dianggap punya gaya hidup seenaknya dan doyan mabuk-mabukan. Tapi jikapun mereka suka mabuk-mabukan, kebanyakan mereka tak mabuk saat sedang berkarya.

Benarkah Minuman Keras Membantu dalam Menulis?
Ilustrasi Penulis dan gaya hidupnya [Foto/Shutterstock]

tirto.id - “Saya bukan penulis yang punya masalah minum-minum, saya peminum yang punya masalah menulis.”

Antimetabol jenaka itu berasal dari Dorothy Parker, seorang penyair, kritikus teater, pengarang cerita pendek, dan, tentu saja, peminum kelas berat. Parker dikenal terutama karena tiga hal. Yang utama adalah lelucon keringnya—kepada temannya yang hendak meng-eutanasia seekor kucing tua, ia menyarankan “pakailah rasa penasaran” (mengacu kepada pepatah 'curiosity killed the cat', tentu). Juga karena kritik pedas—ulasannya yang diterbitkan Vanity Fair membuat tiga pertunjukan teater besar tutup sebelum waktunya—dan kecintaannya terhadap minuman keras.

Yang belakangan itu membuat namanya diabadikan dalam resep-resep minuman di seluruh dunia, mulai dari di Hotel Algonquin, New York, hingga diskotek “Club Dorothy Parker” di Rio de Janeiro, Brasil. Pabrik minuman keras The New York Distilling Company bahkan meminjam judul buku penulis yang meninggal di usia 73 tahun itu untuk gin yang mereka produksi: The Portable Dorothy Parker.

Parker tentu bukan satu-satunya penulis yang mempunyai hubungan istimewa dengan minuman keras. Scott Fitzgerald, penulis The Great Gatsby, mengaku bahwa anggur lah yang membuatnya sanggup mendengarkan ocehan istrinya tentang balet. John Cheever, pemenang Hadiah Pulitzer untuk Fiksi tahun 1979, mengada-ada soal radang imajinasi yang hanya dapat disembuhkan dengan kemabukan. Dan Ernest Hemingway, dengan lagak heroiknya yang khas, menyatakan bahwa alkohol ialah satu-satunya “pertolongan mekanis” bagi manusia yang disengsarakan “penindasan mekanis” kehidupan modern.

Penulis Irlandia Brendan Behan, di sisi lain, tidak merasa perlu mengarang alasan buat menenggak minuman keras. “Saya hanya minum dalam dua kesempatan,” ujarnya. “Ketika saya haus dan tidak haus.”

Namun, berbeda dari anggapan khalayak, hanya sedikit pengarang besar yang keranjingan minuman keras itu menulis dalam keadaan mabuk. Umumnya, sebagaimana dicatat Mason Currey dalam Daily Rituals: How Artists Work (2013), mereka memisahkan jam kerja dan jam teler.

“Mereka paham bahwa kemabukan membikin penilaian jadi kendur, sementara kesadaran dan kendali penuh atas diri ialah syarat mutlak dalam kerja artistik,” tulis Currey.

Hemingway menciptakan sebuah sistem: minum di malam hari, tidur, lalu mulai bekerja sejak subuh. Sejak muda, sebagaimana ia nyatakan dalam The Moveable Feast, ia telah membiasakan diri untuk tidak minum minuman keras setelah makan malam + sebelum dan saat menulis.

Gregory Hemingway mengingat ayahnya tak pernah kelihatan tersiksa oleh hangover alias pengar sisa kemabukan, “ia selalu tampak segar, seakan-akan habis bangun dari tidur bayi di ruangan kedap suara dengan mata yang terlindungi kain hitam.”

Tapi cara kerja itu tak sepenuhnya lepas dari masalah. Hemingway dan penulis-penulis lain yang menggunakan sistem tersebut hanya dapat bekerja selama beberapa jam dalam sehari; kemudian, untuk menghindari pikiran-pikiran tentang pekerjaan, mereka berlindung pada pengaruh alkohol.

“Setelah bekerja keras seharian menggunakan kepalamu dan kau tahu besok kau harus mengulanginya, apa lagi yang bisa membantumu mengalihkan pikiran dan membuatnya terbang ke tempat lain kalau bukan wiski?” tulisnya.

Masalah berikutnya ialah daya tahan. Tidak setiap penulis sanggup menenggak bergelas-gelas minuman keras dan tetap tegak. Scott Fitzgerald, misalnya, menurut Hemingway, pernah mabuk sampai mempermalukan dirinya sendiri hanya karena menenggak segelas anggur setelah makan.

Dan Fitzgerald, sekalipun telah menyediakan waktu khusus setiap harinya untuk menulis Tender is the Night dalam keadaan sadar, suatu saat mengaku kepada Max Perkins, editornya, bahwa novel itu telah dikacaukan oleh alkohol.

“Semakin lama semakin jelas bagiku,” kata Fitzgerald. “Penyusunan buku yang panjang atau persepsi dan penilaian terbaik saat menyunting naskah tidak cocok dengan minuman keras.”

Penulis Suka Mabuk

Menulis dalam Keadaan Mabuk

Ada sebuah kutipan terkenal yang kerap dialamatkan kepada Hemingway: “write drunk, edit sober.” Menulislah dalam keadaan mabuk, suntinglah tulisanmu dalam keadaan sadar. Tapi, kemungkinan besar, Hemingway tidak pernah menulis atau berkata demikian. Selain tidak sesuai dengan kebiasaannya, kutipan itu tak pernah disertai catatan dari buku mana ia berasal.

Teks yang paling dekat dengan kutipan itu adalah novel Reuben, Reuben karya Peter De Vries yang terbit pada 1964. Pada halaman 242, karakter novel tersebut berkata: “kadang-kadang aku menulis dalam keadaan mabuk dan menyunting dalam keadaan sadar, sesekali aku menulis dalam keadaan sadar dan menyunting sambil mabuk. Tapi kau memang harus mempunyai kedua elemen itu—Apollonian dan Dionysian—dalam penciptaan, atau spontanitas dan kontrol, emosi dan disiplin.”

Namun, meski tahu nasehat itu datang dari seorang tokoh novel, seorang penulis perempuan di New York yang bernama Crissy Van Meter memutuskan untuk menjajal metode tersebut selama empat hari. Pada Juni 2015, ia melaporkan hasilnya di Bustle.

Hari pertama: saat efek mai tai yang ia minum mulai terasa, Van Meter mulai menulis. Ia menulis dengan cepat, menyalakan musik kencang-kencang, sesekali bangkit dari kursi dan berjoget dan senam, dan berakhir menulis tentang roti apit keju panggang yang sedang dimasak pacarnya.

Ia berhasil menulis sekitar 3 ribu kata. Namun, esoknya, saat menyunting naskah dalam keadaan sadar (dan pening karena hangover), ia mendapati bahwa hanya ada sekitar 500 kata yang bisa ia gunakan.

Hari kedua, Van Meter memilih bir dan lagu-lagu Jackson Browne. Ia menulis cerita melodramatik sebanyak 1,2 ribu kata, membaca manuskrip puisi temannya sambil menangis, dan membikin catatan-catatan terpisah yang ia anggap penting. Besoknya, hanya beberapa kalimat yang tidak ia coret. “Tak banyak yang bisa disunting, jadi, aku main Twitter dan Facebook saja...” tulisnya.

Hari ketiga, Van Meter minum tequila dan menulis tanpa iringan musik. Ia menghabiskan banyak waktu untuk menggambar tokoh-tokoh novelnya, membuat sejumlah catatan, dan akhirnya tertidur. Tapi, menurut dia, itu adalah hari terbaik sepanjang eksperimennya berlangsung, dengan hasil yang, setelah disunting secara ketat, paling banyak bisa ia masukkan ke dalam novelnya.

Pada hari keempat, ia sudah kehilangan minat dan hanya menghasilkan 1,4 ribu kata yang hampir seluruhnya sia-sia. Kesimpulan Van Meter: “Mood apa pun yang diakibatkan minuman keras akan muncul di halaman... dan itu tidak berguna, terutama jika kau membutuhkan kejernihan sebuah novel. Dan menyunting dalam keadan hangover? Rasanya seperti ikut ujian yang kau tidak ingin mengikutinya. Aku melewatkan banyak kekeliruan gramatik dan tak sanggup menjaga kesinambungan cerita karena tidak berada dalam kondisi prima.”

Baca juga artikel terkait MINUMAN KERAS atau tulisan lainnya dari Dea Anugrah

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Dea Anugrah
Penulis: Dea Anugrah
Editor: Maulida Sri Handayani