Menuju konten utama

Benarkah Makan Daging Anjing Bisa Bikin Rabies?

Para pengolah atau juru masaknyalah yang berisiko.

Benarkah Makan Daging Anjing Bisa Bikin Rabies?
Petugas menyuntikkan vaksin anti rabies pada anjing dalam kegiatan vaksinasi di Denpasar, Bali, Senin (1/4/2019). ANTARA FOTO/Nyoman Hendra Wibowo/nym/wsj.

tirto.id - Pemerintah Kabupaten Karanganyar adalah satu dari sekian daerah yang berani dengan tegas melarang santapan kuliner daging anjing. Dengan alasan kesehatan dan perlindungan satwa, aturan ini mulai berlaku sejak 28 Juni 2016.

Meski belum diakomodasi dalam peraturan daerah, tetapi Bupati Karanganyar Juliatmono tampak serius menerapkan larangan. Ia sudah menyiapkan pendampingan dari pemerintah kabupaten, Baznas, dan dinas terkait selama enam bulan agar para pedagang daging anjing beralih profesi. Selama itu petugas akan mengecek kebutuhan harian pedagang termasuk beras, biaya pendidikan anak, dan uang modal usaha sebesar Rp5 juta per orang.

“Warung mereka tidak higienis karena menjual yang tidak lazim, tidak berizin juga. Prinsipnya kami menjaga kebersihan untuk generasi depan,” ungkap Juliatmono, seperti dilansir Antara.

Pendampingan tersebut akan dilakukan selama masa transisi, hingga para pedagang mandiri dan bisa memulai usaha baru tanpa harus menjual daging anjing. Sejauh ini, ada sekitar 37 pedagang yang sudah diakomodasi dalam kebijakan pemerintah Karanganyar. Kabupaten ini berbatasan dengan Solo, Jawa Tengah, kota dengan konsumsi daging anjing tertinggi di Jawa Tengah.

Pada 2017, Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Jawa Tengah mencatat, ada 400 anjing dipotong setiap hari di Solo. Jumlah ini meningkat lebih dari 6 kali lipat dari tahun 2015, sebesar 63 ekor anjing dipotong setiap hari. Guna menertibkan pedagang, Juliatmono tak segan mengusir mereka keluar dari wilayahnya, apabila masih bandel menjajakan kuliner daging anjing.

Potensi Rabies Akibat Daging Anjing

Alasan Juliatmono menutup perdagangan daging anjing karena alasan kesehatan bukan omong kosong. Tirto sebelumnya pernah mengulas bermacam bahaya dari mengonsumsi daging anjing. Tingginya kandungan natrium pada daging tersebut bisa memicu hipertensi. Ia juga berisiko meningkatkan infeksi pencernaan karena cacing pita atau bakteri kolera, dan infeksi parasit seperti E. Coli dan Salmonella.

Namun, ketakutan paling umum adalah soal penyebaran rabies. Penyakit ini merupakan golongan zoonosis, penyakit yang ditularkan dari hewan ke manusia, begitu juga sebaliknya. Virus rabies menyerang sistem syaraf mamalia, utamanya ditularkan dari air liur hewan rabies dengan menggigit atau mencakar. Laporan WHO untuk Asia Tenggara menyebutkan 96 persen kasus rabies di wilayah tersebut disebabkan oleh anjing.

“Sisanya rabies pada manusia tertular melalui gigitan kucing, musang, jackal, rubah, serigala dan hewan karnivora lainnya,” demikian tertulis pada laporan tersebut.

Rabies berkembang di tubuh manusia dari lapis jaringan dalam di kulit manusia (jaringan subkutan), atau dari otot, menuju jaringan syaraf tubuh yang ada di luar otak atau saraf tulang belakang (syaraf perifer). Virus bergerak dalam tubuh dengan kecepatan kira-kira 12–24 mm per hari.

Lalu, apakah rabies juga menular dari konsumsi daging hewan terinfeksi?

Laporan WHO menyebut belum ada kasus manusia tertular rabies akibat mengonsumsi daging yang telah dimasak. Potensi penularan rabies justru tinggi pada kelompok pekerja yang menangani atau menyembelih hewan terinfeksi rabies atau menangani otak serta materi lain yang terinfeksi virus rabies, seperti para penjagal atau pedagang daging anjing.

“Makan daging anjing olahan tidak ada risiko terinfeksi rabies karena patogen pada anjing mati saat dimasak,” ujar Wahid Fakhri Husein dari NTA Zoonosis and EIDS Control FAO.

Sementara itu, penularan rabies dari manusia ke manusia dapat terjadi melalui transplantasi kornea atau organ lainnya. Kasus seperti ini pernah terjadi pada penerima transplantasi kornea, organ padat (solid), dan jaringan pembuluh darah. Para perawat pasien rabies juga harus berhati-hati dan menghindari kontak dengan air liur pasien.

Upaya Penanganan Zoonosis Lintas Sektoral

Indonesia termasuk negara yang belum bebas rabies, padahal negara ini telah menargetkan wacana tersebut terealisasi tahun depan. Pada September 2012, Indonesia bersama sembilan negara lainnya berkomitmen dan mendeklarasikan ASEAN Bebas Rabies 2020 di Laos. Selama itu, belum ada sinergi dari pemerintah saat melakukan penanganan rabies pada hewan dan manusia.

“Saat manusia tergigit anjing, ya Kementerian Kesehatan yang bergerak, Kementerian Pertanian tidak dikabari,” ungkap Yunita Widayati, Dokter Hewan dari Direktorat Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian.

Infografik Rabies

Infografik Rabies. tirto.id/Sabit

Selanjutnya, pasien yang tergigit anjing akan langsung divaksin rabies tanpa observasi pada anjing yang menggigit. Padahal, jika orang itu tergigit oleh anjing yang sudah divaksin, ia tak akan kena rabies.

Tata laksana semacam ini membikin anggaran boros karena belum tentu anjing tersebut terinfeksi rabies. Idealnya, ketika kejadian gigitan anjing pada manusia, fasilitas kesehatan setempat berkoordinasi terlebih dulu dengan dinas pertanian sebelum memberikan vaksin pada pasien.

Ketika anjing teridentifikasi telah menerima vaksin anti rabies dan bebas rabies, vaksinasi anti rabies tak perlu diberikan pada pasien. Apalagi masa inkubasi virus pun tergolong cukup lama, mulai dari hitungan hari, bulanan, bahkan bisa mencapai 1 tahun, sehingga masih ada jeda waktu untuk memeriksa status bebas rabies pada anjing yang menggigit.

“Jika manusia punya pusat kesehatan masyarakat Puskesmas, maka kami punya pusat kesehatan hewan (puskeswan),” ujar Yunita.

Menimbang efisiensi penanganan rabies dengan sinergi lintas sektor, akhirnya sistem One Health mulai diterapkan di Indonesia. One Health merupakan upaya kerjasama berbagai disiplin ilmu untuk menciptakan standar kesehatan optimal bagi manusia, hewan, dan lingkungan.

Dalam kasus ini, Kementerian Pertanian bekerja sama lintas sektoral dengan Kementerian Kesehatan dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLKH). Tujuan utamanya memangkas penyakit infeksi berulang dan memangkas anggaran kesehatan, apalagi, mengingat vaksin dibeli dengan harga tinggi dan impor.

Baca juga artikel terkait DAGING ANJING atau tulisan lainnya dari Aditya Widya Putri

tirto.id - Kesehatan
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Maulida Sri Handayani