Menuju konten utama

Benarkah Intoleransi Mulai Merambah ke Sekolah-Sekolah?

Di Indonesia bagian Timur, para murid diwajibkan membaca Al-Kitab. Di bagian Barat, murid diharuskan membaca Alquran sebelum belajar.

Benarkah Intoleransi Mulai Merambah ke Sekolah-Sekolah?
Ilustrasi siswi SMA. FOTO/Istimewa

tirto.id - “Enggak ada kewajiban seperti itu (berjilbab) di Jakarta. Untuk seragam kami sudah atur sejak lama dan ada di surat edaran.”

Pernyataan itu disampaikan Wakil Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta Bowo Irianto kepada Tirto, Senin (3/7). Dia memastikan Dinas Pendidikan DKI Jakarta tidak menerapkan peraturan yang melarang maupun mewajibkan siswi berjilbab di sekolah. Sebab mengenakan jilbab merupakan hak dalam menjalankan keyakinan beragama.

Peraturan mengenai pakaian seragam murid sekolah negeri telah diatur dan disosialisasikan Dinas Pendidikan DKI Jakarta melalui Surat Edaran Nomor 83/SE/2015 tentang Pakaian Dinas Bagi Pendidik, Tenaga Pendidik dan Pakaian Seragam Sekolah dan Olahraga bagi Peserta Didik.

Dalam surat edaran tersebut dinyatakan pakaian seragam nasional adalah pakaian yang dikenakan pada hari Senin dan Selasa oleh peserta didik yang jenis, model, dan warnanya sama berlaku secara nasional. Selanjutnya pada hari Rabu murid harus mengenakan seragam Pramuka. Sedangkan hari Kamis seragam murid adalah pakaian bermotif Batik Nusantara. Terakhir pada hari Jumat murid diharuskan mengenakan pakaian daerah bernuansa Betawi (koko/baju kurung).

Mengacu aturan tersebut, Bowo mengatakan akan ada sanksi bagi sekolah-sekolah yang memaksa murid mengenakan atau melepas jilbab di sekolah. “Mana coba tunjukan (kalau ada)? Kalau ada sekolah seperti itu, laporkan pada kami,” katanya.

Bowo mengatakan aturan memakai jilbab di sejumlah sekolah di daerah tidak bisa disamakan dengan di Jakarta. Sebab, menurutnya, setiap sekolah di daerah memiliki pertimbangan sosiologisnya sendiri.

“Jangan disamakan dengan di daerah. Coba cek di sekolah-sekolah kita, kan, beda siswa-siswinya. Di Jakarta tidak bisa seperti itu,” ujarnya.

Kewajiban Memakai Jilbab Pada Siswi Sebagai Pembiasaan

Di SMAN 70 Jakarta, Tirto mendapati aturan yang mewajibkan murid muslim mengenakan pakaian islami, termasuk jilbab. Aturan itu diterapkan setiap hari Jumat dalam kegiatan tadarus akbar, yakni kegiatan membaca Alquran bersama-sama oleh para murid muslim.

“Hanya hari Jumat saja. Ada kegiatan tadarus akbar di hari itu. Sehingga siswa dan siswi yang beragama Islam wajib memakai pakaian yang islami. Laki-laki pakai baju kokoh putih, wanita memakai jilbab warna putih dan baju kokoh lengan panjang,” kata Wakil Kepala Sekolah SMAN 70 Sukardi di bilangan Bulungan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan kepada Tirto.

Meski begitu, Sukardi membantah ada sanksi keras bagi siswi yang ketahuan melepas jilbab selama kegiatan tadarus akbar berlangsung. Pihak sekolah, menurutnya, hanya memberikan sanksi berupa teguran.

“Ya, pastinya ada yang suka dilepas-lepas. Jilbabnya dikalungkan di leher saja. Kalau begitu, paling ditegur saja. Diingatkan supaya dipakai dengan benar," katanya.

Sukardi mengakui berjilbab tidak bisa dipaksakan kepada siswi. Ia berdalih aturan yang diterapkan bertujuan untuk membiasakan para siswi mengamalkan ajaran agama.

“Kami sadar untuk itu [berjilbab] butuh hidayah. Makanya kami hanya berusaha membiasakan. Kalau memang nanti para siswi terketuk hatinya, ya, Alhamdulillah. Kalau belum, setidaknya mereka sudah belajar membiasakan diri berjilbab," katanya.

Menurut Sukardi, peraturan memakai jilbab di hari Jumat bukan hanya berlaku di sekolahnya. Di sekolah lain di Jakarta aturan yang sama juga diterapkan. Peraturan ini pun menurutnya hanya dikhususkan kepada peserta didik yang beragama Islam saja.

“Semua sekolah di Jakarta juga umumnya sama kalau hari Jumat, ada peraturan berbusana islami,” katanya.

Untuk yang beragama lain mempunyai kegiatan keagamaan tersendiri sesuai dengan agamanya. Sukardi menerangkan saat para murid muslim mengaji bersama di hari Jumat, para murid Kristen mendapat bimbingan keagamaan.

“Kalau Jumat, selama yang lain tadarus akbar, mereka kebaktian Jumat," jelasnya.

Nabila (20), alumni SMAN 70, membenarkan peraturan berjilbab pada hari Jumat. Namun ia tidak merasa terbebani. “Kalau Jumat memang begitu. Tapi kalau hari-hari biasa enggak wajib, kok. Habis tadarus juga boleh dicopot. Jadi biasa aja,” kata Nabila.

Nabila pun mengaku tidak ada hukuman bagi siswi yang ketahuan tidak berjilbab saat tadarus akbar. "Enggak dihukum, kok. Paling diingetin. Aku, sih, sehari-hari memang enggak berjilbab. Tadarus, kan, lama, kalau gerah aku copot," katanya.

Kuswandari (44), salah seorang calon wali murid di SMAN 70, justru menganggap peraturan semacam itu baik.

"Enggak masalah. Malah baik. Berarti meskipun sekolah negeri, enggak kalah dengan sekolah agama. Baguslah," kata Kuswandari di sela kegiatan mendaftarkan anaknya sebagai siswa SMAN 70.

Menguatnya Materi Agama Pasca Reformasi

Sekjen Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Retno Listyaristi mengatakan sejak era reformasi terjadi penambahan jam penghayatan agama di sekolah. Sayangnya, kata Retno, keharusan menghayati agama cenderung dikhususkan untuk agama mayoritas yang ada di sekolah. Tidak disesuaikan dengan kepercayaan masing-masing siswa.

“Sejak reformasi pengajaran nilai-nilai agama di sekolah memang semakin meningkat. Tapi nilai agama ini lebih kepada mayoritas,” katanya.

Retno mencontohkan di Indonesia bagian Timur, para murid diwajibkan membaca Al-Kitab sebelum jam belajar dimulai, sementara di Indonesia Barat, doa memulai pelajaran dilakukan dengan melafalkan salah satu surat dalam Al-Quran. Padahal, tak ada peraturan yang mewajibkan hal tersebut baik dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.

Contoh lain, menurutnya, adalah pakaian seragam siswa-siswi di sekolah. Ia mengatakan, beberapa sekolah negeri secara terang-terangan mewajibkan peserta didik memakai pakaian muslim dan muslimah pada hari Jumat. Bahkan, Retno menuturkan, ada pula sekolah yang mewajibkan siswinya berkerudung dari Senin hingga Jumat.

"Hari Jumat, misalnya, siswa siswi diwajibkan pakai baju koko. Yang perempuan diminta pakai kerudung walaupun hari-hari biasa mereka enggak berkerudung. Kalau di Kemendikbud aturannya, kan, jelas, tidak melarang dan tidak mewajibkan. Di beberapa sekolah, seperti di Padang, bahkan ada yang wajib dari Senin sampai Jumat," ungkapnya.

Peraturan tersebut menurut Retno, terjadi lantaran guru agama di sekolah kurang menghayati arti toleransi.

“Guru agama seharunya lebih mengerti tentang toleransi dan bagaimana hidup berbangsa sebagai orang beragama. Jadi kuncinya ada di guru,” katanya.

Pengamat Pendidikan Universitas Paramadina Muhammad Abduhzen menilai pemakaian jilbab atau kerudung tak seharusnya dipaksakan di sekolah-sekolah di Indonesia, kecuali yang berbasiskan pendidikan agama sepeti madrasah dan pesantren.

"Kalau sekolahnya itu sekolah negeri, ya, tidak boleh dong. Kalau sekolah swasta yang didirikan oleh lembaga keagamaan tertentu, dan dia menuntut sebagai persyaratan dan nilai, pasti di sekolah itu (ber)jilbab, ya itu boleh," katanya.

Namun, kata Abduhzen, jika ada guru di sekolah negeri mengimbau siswinya untuk memakai jilbab, hal itu tak boleh disimpulkan sebagai pemaksaan. Sebab menurutnya, hal itu adalah bagian dari penanaman nilai religiusitas dan keagamaan.

“Jadi jangan dianggap, misalnya di sekolah negeri perempuan berjilbab semua, adalah paksaan. Itu ada karena diminta, tapi tidak boleh ada peraturan yang memaksa,” ujarnya.

Abduhzen tidak sepenuhnya percaya dengan anggapan bahwa sekola-sekolah negeri di Indonesia sudah disusupi pemahaman intoleran. Apalagi jika standar yang digunakan hanya soal imbauan menggunakan jilbab.

“Saya tidak percaya kalau di sekolah negeri gurunya mewajibkan. Apalagi bukan sekolah muslim,” tuturnya.

Untuk mencegah paham radikal di kalangan pelajar, Abduhzen berpandangan pelajaran agama lebih diarahkan pada pendidikan mencintai kebangsaan dan kewarganegaraan. Dengan begitu, nilai-nilai toleransi dan kebhinekaan tumbuh seiring dengan semangat ketakwaan.

“Mengarah kepada pendidikan kebangsaan dalam artian mengenalkan bahwa kita memiliki keanekaragaman budaya. Jadi setiap anak harus dibangkitkan kesadarannya untuk persoalan keberagaman itu,” katanya.

Baca juga artikel terkait INTOLERANSI atau tulisan lainnya dari Jay Akbar

tirto.id - Pendidikan
Reporter: Hendra Friana & M. Ahsan Ridhoi
Penulis: Jay Akbar
Editor: Jay Akbar