Menuju konten utama
Periksa Fakta

Benarkah Hagia Sophia Dijual kepada Sultan Mehmet II?

Sejumlah kontroversi timbul setelah Presiden Turki Erdogan secara resmi menjadikan Hagia Sophia kembali menjadi masjid. Salah satunya terkait penjualan bangunan itu kepada Sultan Mehmet.

Benarkah Hagia Sophia Dijual kepada Sultan Mehmet II?
Header Periksa Fakta. tirto.id/Quita

tirto.id - Hagia Sophia, bangunan bersejarah dan salah satu komponen dari situs warisan dunia UNESCO yang sempat menjadi gereja, masjid, dan museum akan kembali difungsikan menjadi masjid setelah keluarnya keputusan pengadilan di Turki yang mencabut keputusan presiden pertama Turki, Mustafa Kemal Ataturk, pada 1934.

Banyak informasi berseliweran terkait perubahan status museum Hagia Sophia yang dilakukan Presiden Recep Tayyip Erdogan ini. Pemimpin Katolik Roma Paus Fransiskus, misalnya, mengungkapkan "kekecewaan" terkait kebijakan tersebut.

Di sisi lain, ada pula sejumlah pihak yang mendukung keputusan tersebut karena mereka memang berharap Hagia Sophia kembali diperuntukkan sebagai tempat ibadah bagi umat Muslim. Ada pula yang berkomentar terkait asal usul bangunan penting dunia tersebut.

Terkait informasi mengenai asal usul, salah satu klaim datang dari akun Facebook Suwondo Solo (arsip). Unggahan pada 11 Juli 2020 tersebut juga dilengkapi dengan beberapa gambar Hagia Sophia. Dalam unggahannya, akun tersebut mengklaim bahwa umat Kristen telah menjual Hagia Sophia kepada Sultan Muhammad II Al Fatih. Berikut bunyi unggahan akun tersebut:

"Umat ​​Kristen menjual monumen hagia sophia kepada Sultan Muhammad II Al Fatih setelah penaklukan Konstantinopel. Sultan membelinya dengan uang pribadinya sehingga menjadikannya milik pribadi Sultan. Sultan kemudian mengubah hagia sophia menjadi masjid. Hagia sophia bahkan bukan milik pemerintah Turki, oleh karena itu mengubahnya menjadi museum adalah sepenuhnya tindakan ilegal. Karena Hagia Sophia diwakafkan sebagai masjid oleh Sultan Muhammad Al Fatih.

Orang-orang Kristen tidak memiliki klaim atas monumen yang telah mereka jual kepada sultan dan mereka telah menerima uangnya. Hagia sophia tidak diambil dengan cara paksa saat itu."

Penelusuran Fakta

Hagia Sophia, yang dalam Bahasa Turki disebut Ayasofya, merupakan saksi bisu sejarah berlangsungnya transisi rezim yang menguasai Konstantinopel (saat ini Instanbul), mulai dari pagan, Katolik Ortodoks, hingga kekaisaran Islam.

Menurut ensiklopedia Britannica, bangunan ini pertama kali didirikan oleh Kaisar Konstantinus I pada 325 Masehi, di atas pondasi atau tempat kuil pagan. Gereja ini menjadi tempat para penguasa dimahkotai dan menjadi katedral paling besar yang beroperasi sepanjang periode Kekaisaran Bizantium.

Gereja ini sempat diperbaiki beberapa kali pada masa Kekaisaran Bizantium, yakni saat kerusuhan pada 404 M yang disebabkan oleh perseteruan istri Kaisar Arkadios yang bernama Eudoksia dengan Uskup Agung Konstantinopel Ioannes Chrysostomos yang diasingkan. Kaisar Theodosios II pada tahun 415 kemudian membangun ulang sebuah gereja basilika di tempat yang sama.

Kerusakan kedua terjadi pada 532 M, saat kerusuhan Nika menyerang Konstantinopel. Kerusuhan itu terjadi pada tahun kelima Justinian I menduduki jabatan kaisar. Kerusuhan inilah yang kemudian menyebabkan gereja itu mengalami kehancuran. Pasca kejadian itu, Justinian memerintahkan arsitek terkenal pada masa itu, Isidoros (Milet) dan Anthemios (Tralles), untuk mendirikan ulang gereja.

Pada 1453, era Kekaisaran Bizantium berakhir karena ditaklukkan oleh Sultan Mehmet/Mehmed II dari Kekaisaran Ottoman. Di bawah kepemimpinan Mehmet, Hagia Sophia dialihfungsikan dari gereja menjadi masjid. Seperti yang dicatat oleh Marc David Baer dalam buku berjudul Honored by the Glory of Islam: Conversion and Conquest in Ottoman Europe, beberapa gereja diubah menjadi masjid di bawah Sultan Mehmet II, termasuk Saints Paul dan Mesa Dominico.

Hal serupa juga dicatat oleh Erik Ringmar dalam History of International Relations: A Non-European Perspective. Di bawah penaklukan Sultan Mehmet II pada 1453, Hagia Sophia diubah fungsi menjadi masjid. Demikian pula dengan Konstantinopel yang berubah nama menjadi Istanbul.

Baik Marc David Baer maupun Erik Ringmar tidak menyebutkan bahwa umat Kristen menjual Hagia Sophia kepada sang Sultan.

Pada masa kepemimpinan Mehmet, seperti ditulis Elisabeth Piltz dalam serial buku British Archaeological Reports tahun 2005, Hagia Sophia berada dalam kondisi yang sangat buruk. Namun, bangunan Hagia Sophia kemudian diperkuat strukturnya dan dilindungi dengan baik pada masa Ottoman. Pada abad ke-16 dan ke-17, sejumlah bagian ditambahkan, di antaranya empat menara di luar bangunan yang digunakan untuk melakukan panggilan salat, sebuah tempat lilin besar, mihrab, dan mimbar (mimbar).

Mengutip dari Islam: A Worldwide Encyclopedia [4 volumes], Mehmet II juga membentuk yayasan amal (wakaf) kepada siapapun untuk mengembangkan Ayasofya. Menurut Boyar & Fleet (2010), sejak 1478, sebanyak 2.360 toko, 1.360 rumah, 4 karavanserai, 30 toko boza, dan 23 toko domba menyumbangkan penghasilan mereka untuk yayasan tersebut.

Pada 1739, seperti ditulis Müller-Wiener (1977: 93), diketahui bahwa Sultan Mahmud I menambahkan madrasah, imaret atau dapur umum, dan perpustakaan pada Ayasofya. Pada tahun 1740, pondok sultan (sultan mahfili) dan mihrab baru ditambahkan di dalam bangunan.

Pada 2005, sebuah kelompok mengajukan petisi kepada Dewan Negara Turki, pengadilan tinggi negara tersebut, mengklaim bahwa bangunan bersejarah itu adalah milik yayasan yang didirikan Sultan Mehmet II.

Pada Juli 2020, Dewan Negara Turki setuju dengan para pembuat petisi dan menyimpulkan bahwa akta asli di bawah Mehmed II menetapkan bangunan itu sebagai masjid, dan penggunaan di luar itu dianggap ilegal. Menyusul keputusan itu, presiden Turki Recep Tayyip Erdogan segera mengalihkan pengawasan gedung dari Kementerian Kebudayaan Turki ke Kepresidenan Urusan Agama.

Sebagai catatan, dalam salah satu gambar yang diunggah oleh akun Suwondo, terdapat gambar dokumen dengan tulisan "Tapu Senedi." Dalam bahasa Inggris, arti harafiah dari kata-kata tersebut adalah "title deed" atau "land register." Dokumen tersebut merupakan dokumen yang menunjukkan hak kepemilikan, utamanya kepemilikan terhadap suatu tanah atau properti. Dokumen ini bukan merupakan dokumen jual beli.

Penelusuran kami lebih lanjut terkait dokumen "Tapu Senedi" tersebut melalui plaform Yandex menemukan nama "ebulfetih sultan mehmet vakfı" sebagai pemilik dari properti/tanah tersebut. Catatan singkat, kata "vakfi" berarti "foundation" atau yayasan.

Kesimpulan

Berdasarkan penelusuran yang telah dilakukan, kami tidak menemukan adanya informasi atau dokumen yang menunjukkan bukti terkait penjualan Hagia Sophia oleh umat Kristen kepada Sultan Mehmet II.

Baca juga artikel terkait PERIKSA FAKTA atau tulisan lainnya dari Irma Garnesia

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Irma Garnesia
Editor: Ign. L. Adhi Bhaskara