Menuju konten utama
22 Juni 1527

Sejarah HUT Jakarta & Benarkah Fatahillah Membantai Rakyat Betawi?

Ridwan Saidi menyebut pasukan gabungan Demak-Cirebon pimpinan Fatahillah telah membantai rakyat Betawi pada 22 Juni 1527 yang kini diperingati sebagai hari lahir Jakarta.

Sejarah HUT Jakarta & Benarkah Fatahillah Membantai Rakyat Betawi?
Fatahillah. tirto.id/Deadnauval

tirto.id - Selama ini, tanggal 22 Juni diyakini dan selalu diperingati sebagai hari ulang tahun Kota Jakarta. Tanggal tersebut merujuk pada hari ketika pasukan gabungan Demak-Cirebon yang dipimpin oleh Fatahillah berhasil mengusir Portugis dari Sunda Kelapa, 22 Juni 1527, tepat hari ini 492 tahun lalu. Sejak saat itu, nama Sunda Kelapa diganti menjadi Jayakarta.

Namun, setelah berabad-abad berlalu, ternyata ada yang tidak sepakat dengan penetapan tanggal 22 Juni sebagai hari jadi Jakarta tersebut. Salah satu orang yang menentang keras hal itu adalah Ridwan Saidi yang dikenal sebagai tokoh sekaligus budayawan Betawi.

Menggugat Hari Jadi Jakarta

Menurut Ridwan Saidi, pada tanggal itu pasukan gabungan Kesultanan Demak dan Cirebon tidak hanya memerangi bangsa Portugis, tetapi juga membantai penduduk asli Sunda Kelapa, yakni orang-orang Betawi. Dari situlah, ia tidak rela kalau tanggal 22 Juni 1527 ditetapkan sebagai hari lahir Jakarta. "Masa sih ketika orang Betawi dibantai malah diperingati dengan meriah?" tukas Ridwan Saidi.

Selain itu, dalam diskusi “Kontroversi HUT Jakarta” pada 22 Juni 2011, Ridwan Saidi juga menyebut bahwa pasukan Fatahillah telah membumihanguskan Sunda Kelapa dan mengusir penduduk Betawi asli yang sudah sejak lama menetap di situ. "Mereka membakar rumah kami, mengusir kami sehingga kami harus menyingkir ke balik-balik bukit, kok malah dijadikan hari jadi kota?" geramnya.

Penulis buku Profil Orang Betawi: Asal-Muasal, Kebudayaan, dan Adat-Istiadatnya yang diterbitkan tahun 1997 ini juga menentang klaim Fatahillah yang selama ini dipercaya sebagai orang yang mencetuskan nama Jayakarta untuk menggantikan Sunda Kelapa.

"Nama Jayakarta sudah ada sejak lama. Ada desa di Karawang yang namanya Jayakerta yang merupakan wilayah budaya Betawi. Itu sudah ada sejak zaman Siliwangi," tandas Ridwan Saidi.

Jayakerta, tambahnya, merupakan tempat pengasingan salah satu istri Prabu Siliwangi atau Sri Baduga Maharaja, penguasa Kerajaan Sunda Galuh yang bertakhta pada 1482-1521. Selir sang raja yang sedang mengandung itu kemudian melahirkan bayi laki-laki. Sayang, bayi tersebut meninggal dunia tak lama setelah dilahirkan.

Untuk mengenang dan memperingati kematian sang jabang bayi, sang selir menyebut lokasi itu dengan istilah Jayakerta yang berarti “kemenangan yang jaya”. Sedangkan Muhadjir (2000: 41) dalam buku Bahasa Betawi: Sejarah dan Perkembangannya menafsirkan Jayakerta dengan arti “kemenangan besar”.

Ridwan Saidi sangat yakin, bukan Fatahillah yang merumuskan nama Jayakarta atau Jayakerta untuk menyebut bekas wilayah Sunda Kelapa itu. Jadi, nama Jayakerta bukan diberikan oleh Fatahillah. Itu nama yang sudah ada sebagai sebutan lain Sunda Kalapa (Kelapa)," tegasnya.

Bahwa Fatahillah diragukan sebagai orang yang mencetuskan nama Jayakarta juga pernah dikemukakan oleh peneliti asal Jerman bernama Adolf Heyken. Alwi Shahab (2004: 138) dalam buku Saudagar Baghdad dari Betawi menyebut bahwa Heyken pernah tinggal di Jakarta pada era 1960-an.

Heyken menyebut bahwa Fatahillah adalah orang Arab dan sangat tidak mungkin ia memberi nama sesuatu—apalagi sesuatu yang sangat berharga sekaligus prestisius seperti Sunda Kelapa yang berhasil ditaklukannya—dengan nama dari istilah Sanskerta.

Lantas, siapa sebenarnya Fatahillah? Apakah benar ia dan pasukan muslimnya telah membantai rakyat Betawi saat mengambilalih Sunda Kelapa dari tangan Portugis?

Misteri Jatidiri Fatahillah

Identitas dan asal-usul Fatahillah sendiri sebenarnya masih menjadi misteri. Ahmad-Noor A. Noor dalam buku From Majapahit to Putrajaya: Searching for Another Malaysia (2005: 103) menyebut bahwa Fatahillah atau Faletehan adalah seorang muslim keturunan Arab yang berasal dari Gujarat (India) yang kemudian diangkat menantu oleh penguasa Demak, Sultan Trenggono (1505-1518).

Ada juga yang meyakini Fatahillah adalah seorang pedagang sekaligus guru agama dari Aceh. Ia meninggalkan Samudera Pasai ketika kerajaan Islam pertama di Nusantara itu dikuasai oleh Portugis pada 1521 dan merantau sampai ke Demak. Disebutkan pula, Fatahillah pernah bermukim di Mekkah untuk memperdalam ajaran Islam (Ibrahim Alfian, Dari Samudera Pasai ke Yogyakarta, 2002: 314).

Masih terdapat beberapa versi lainnya terkait sosok Fatahillah, termasuk yang menyatakan bahwa ia adalah pangeran dari Arab, atau putra pembesar Mesir keturunan Bani Hasyim dari Palestina, atau orang asli Samarkand (Uzbekistan) yang sempat belajar ke Baghdad (Irak), lalu mengabdikan dirinya ke Kesultanan Turki sebelum bergabung dengan Kerajaan Demak di Jawa.

Bahkan, ada sumber yang menyebut Fatahillah adalah orang yang sama dengan Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati), seperti dalam buku Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara karya Slamet Muljana (2005: 230). Bahkan, Muljana meyakini bahwa Fatahillah pernah menjadi penguasa Banten dan Cirebon.

Infografik Mozaik Sejarah Jakarta

Infografik Mozaik Sejarah Jakarta. tirto.id/Nauval

Mitos Kelahiran Jakarta

Terlepas dari kesimpang-siuran terkait jatidiri Fatahillah, catatan sejarah yang lebih jelas menyebutkan bahwa orang ini adalah panglima perang Kerajaan Demak yang diutus Sultan Trenggono untuk merebut Sunda Kelapa dari Portugis pada 1527.

Demak yang sebagai kekuatan utama Islam di Jawa merasa terancam jika Portugis dan Kerajaan Pajajaran bekerjasama menguasai Sunda Kelapa yang merupakan salah satu bandar dagang terbesar dan teramai di Nusantara kala itu.

Pasukan Fatahillah kemudian bergabung dengan orang-orang Cirebon yang memang mengincar Sunda Kelapa. Selain itu, Fatahillah juga didukung oleh masyarakat muslim Melayu dan Jawa yang telah menetap di Sunda Kelapa dan wilayah Kerajaan Pajajaran lainnya (Yasmine Yaki Shahab, dkk., Betawi dalam Perspektif Kontemporer, 1997: 105).

Lantas, apakah memang benar bahwa penaklukkan Sunda Kelapa pada 1527 itu juga menjadi ajang pembantaian yang dilakukan pasukan Fatahillah terhadap orang-orang Betawi? Ridwan Saidi menyebut pertempuran ini dengan istilah Perang Betawi.

Belum ditemukan referensi yang kuat terkait itu. Yahya Andi Saputra dalam buku Upacara Daur Hidup Adat Betawi menyertakan pengakuan Ridwan Saidi yang meyakini bahwa cukup banyak jiwa yang menjadi korban serangan Fatahillah ke Sunda Kelapa—atau Nusa Kalapa menurut istilah Ridwan Saidi—itu.

Namun, Ridwan Saidi menyimpulkan kemungkinan tersebut berdasarkan folklor atau cerita rakyat yang disebutnya masih hidup dan berkembang di kalangan penduduk Bogor asli (Saputra, 2008: 147). Bogor pada masa itu adalah pusat pemerintahan Kerajaan (Pakuan) Pajajaran yang menguasai Sunda Kelapa sebelum direbut Fatahillah.

Setelah Sunda Kelapa diambilalih oleh Fatahillah dan menjadi wilayah taklukan Demak, syiar Islam berlangsung masif di kawasan strategis ini. Di sisi lain, peperangan antara kubu Islam (Demak, Cirebon, dan Banten) melawan Pajajaran yang mayoritas rakyatnya menganut Hindu, Buddha, atau kepercayaan lokal, terus berlangsung pada masa itu.

Rumusan ditetapkannya tanggal 22 Juni 1527 sebagai hari lahir Jakarta sendiri digagas oleh Wali Kota Jakarta 1953-1958, Sudiro, berdasarkan hasil penelitian 3 orang ahli, yakni Mohammad Yamin, Dr. Sukanto, dan Sudarjo Tjokrosiswoyo, yang mewujud dalam naskah berjudul “Dari Jayakarta ke Jakarta”.

Sudiro merasa perlu merumuskan hari jadi Jakarta versi Indonesia karena selama masa kolonial Hindia Belanda, peringatan itu dilakukan setiap tanggal akhir Mei berdasarkan penaklukan Jayakarta oleh Jan Pieterszoon Coen pada 30 Mei 1619. Di bawah penguasaan Belanda, nama Jayakarta dihilangkan dan diganti dengan Batavia.

Silang-sengkarut terkait hari lahir Jakarta belum tuntas hingga saat ini. Tidak sedikit peneliti yang akhirnya menyerah karena selalu kesulitan dalam upaya menemukan kapan sebenarnya milad ibu kota RI itu patut dirayakan.

Barangkali saking frustasinya, Adolf Heyken pernah berucap: "Hari jadi Jakarta hanyalah sebuah dongeng khayalan."

==========

Artikel ini pertama kali ditayangkan pada 22 Juni 2017 dengan judul "Benarkah Fatahillah Membantai Rakyat Betawi?" Kami melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk rubrik Mozaik.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Iswara N Raditya

tirto.id - Humaniora
Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Ivan Aulia Ahsan