Menuju konten utama

Benarkah Fasisme Bisa Diperangi dengan Jamur Tahi Sapi?

Kandungan senyawa aktif Psilocybin dalam "jamur ajaib" diklaim dapat membuat seseorang memilih pandangan politik terbuka.

Benarkah Fasisme Bisa Diperangi dengan Jamur Tahi Sapi?
Magic mushroom. FOTO/REUTERS

tirto.id - Apa yang bisa diharapkan dari seonggok jamur liar yang biasa tumbuh di tempat lembab hingga kotoran sapi? Bagaimana jika jamur semacam itu jadi amunisi untuk memukul meninju fasisme, ekstremisme agama, dan paham otoriter lainnya?

Dua ilmuwan Imperial College London, Taylor Lyons and Robin L. Carhart-Harris, berusaha mewujudkan kemungkinan tersebut. Lyons dan Carhart-Harris, yang bergabung di Psychedelic Research Group, melakukan sebuah studi kecil-kecilan yang melibatkan 14 orang.

Dari 14 orang tersebut, 7 peserta mengidap depresi diberi dua dosis psilocybin, senyawa aktif yang terkandung dalam jamur ajaib (magic mushroom). Psilocybin diberikan dalam dua sesi selama seminggu (10 mg dan 25 mg). Adapun tujuh peserta lainnya dalam keadaan sehat dan belum pernah menerima psilocybin.

Setelah itu, para peneliti mensurvei para peserta—baik yang belum maupun sudah diberi Psilocybin—tentang pandangan politik beserta hubungan mereka dengan sekitarnya. Pengukuran hasil perdana dikumpulkan seminggu setelah pemberian dosis pertama, dan pengukuran berlanjut ke 7-12 bulan pasca-pemberian dosis kedua.

Hasilnya, peserta depresi yang diberi dosis psilocybin menunjukkan peningkatan signifikan mengenai ketertarikannya dengan alam hingga mampu menekan pandangan otoriternya. Sementara pasien sehat yang tidak diberi psilocybin juga tidak ditemukan perbedaan pandangan.

Studi terbaru ini diterbitkan di jurnal Psychopharmacology pada 17 Januari 2018 lalu. Namun demikian, Lyons dan Carhart-Harris juga menggarisbawahi bahwa penelitian berskala kecil ini masih merupakan proyek rintisan.

Para peneliti menegaskan tidak ada potensi konflik kepentingan dari penelitian hingga publikasi. Riset ini didanai oleh Medical Research Council yang berkantor di Inggris.

Penelitian yang menghubungkan penggunaan psilocybin dalam obat-obatan psikedelik dengan orientasi politik sebetulnya tidak baru. Penelitian serupa pernah dilakukan sebelumnya oleh Matthew M. Nour dari King’s College dan rekan ilmuwan lainnya dari Imperial College dan diterbitkan di Journal of Psychoactive Drugs pada 26 April 2017.

Riset Matthew M. Nour memanfaatkan survei di internet dengan target anonim. Pesertanya dibatasi: berusia dewasa dan pernah menggunakan psikedelik. Dari sederet pertanyaan seputar kepribadian, terselip pertanyaan tentang pandangan politik.

Hasilnya? Dari hampir 900 peserta survei, mayoritas berada di spektrum politik libertarian. Dengan kata lain, ada keterbukaan politik yang lebih tinggi pada individu pemakai psikedelik.

Antara 1919 sampai 1945, fasisme merupakan ideologi politik dan gerakan massa yang dominan di banyak negara Eropa tengah, selatan dan timur. Ideologi ini merebak sampai ke Eropa barat, Amerika Serikat, Afrika Selatan, Jepang, Amerika latin dan Timur Tengah.

Partai dan gerakan fasis mungkin berbeda antara satu sama lain. Tapi mereka punya karakteristik yang sama untuk bisa dikategorikan sebagai fasis, misalnya nasionalisme militeristik yang ekstrem, kepercayaan pada hierarki sosial dan aturan elite, keinginan untuk menciptakan tatanan rakyat yang menundukkan kepentingan individu di bawah “kepentingan nasional”.

Otoritarianisme biasanya beriringan dengan fasisme. Pemimpin otoriter kerap menjalankan kekuasaan secara sewenang-wenang, memberangus kebebasan berekspresi, bahkan membunuh warganegara. Aliran-aliran politik selain yang resmi diakui negara dilarang karena dianggap sebagai pesaing.

Pendeknya, menurut riset Taylor Lyons and Robin L. Carhart-Harris, jamur ajaib yang mengandung psilocybin mampu menekan model pemikiran seseorang yang punya kecenderungan fasis maupun ideologi otoriter lainnya.

Infografik jamur Perdamaian

Khasiat dan Risiko Jamur Ajaib

Jamur ajaib memang dapat memberikan efek halusinasi yang tinggi kepada para penggunanya. Apa yang tengah dijajal oleh Lyons dan Carhart-Harris untuk mengobati para orang-orang fasis dan otoriter tampaknya berkorelasi dengan riwayat psilocybin yang secara medis memang mampu menekan kecenderungan agresif-depresif menjadi lebih kalem dan rileks.

Dilansir dari Live Science, ada pula orang-orang yang melaporkan tentang pengalaman spiritual yang luar biasa saat mengkonsumsi psilocybin. Beberapa peneliti bahkan menyebutkan bahwa dalam dosis tertentu, psilocybin dapat mengubah kepribadian orang, misalnya membuat mereka lebih membuka diri pada pengalaman baru, lebih menghargai seni, meningkatkan rasa ingin tahu dan kapasitas mengontrol emosi.

Psilocybin kerap ditemukan dalam kandungan obat-obatan psikedelik. Dalam penelitian yang diterbitkan oleh Journal of Royal Society Interface pada akhir Oktober 2014, fisikawan King’s College Paul Expert menyebutkan bahwa bahan aktif Psilocybin benar-benar bisa mengganggu jaringan komunikasi normal di otak. Ia dapat menghubungkan daerah otak yang biasanya tak saling terkoneksi.

"Semua jaringan otak akan aktif bersamaan," ujar Paul Expert dilansir dari Live Science.

Temuan Paul bisa membuka jalan bagi para ilmuwan lain yang meneliti obat-oabatan psikedelik sebagai solusi depresi. Namun, tak disebutkan dampak negatif terhadap organ tubuh pemakai. Pasalnya, kandungan yang sama juga menyebabkan penurunan aktivitas otak. Sebagai zat halusinogenik, konsumsi jangka panjang Psilocybin berdampak negatif pada penggunanya seperti lemah ingatan, kesulitan fokus, gangguan mental, delusi, dan banyak lagi.

Permasalahan lainnya adalah fakta bahwa fasisme merupakan fenomena sosial dan politik yang kemunculannya tak sepenuhnya bergantung pada faktor kejiwaan. Ketimpangan sosial, krisis ekonomi yang parah, dan situasi pasca-Perang Dunia I adalah faktor utama kemunculan fasisme di Italia dan Jerman.

Di Indonesia, jamur ajaib atau zat psilocybin sendiri dimasukkan dalam narkotika golongan I. Diatur dalam Undang-Undang Narkotika Nomor 35 Tahun 2009.

Baca juga artikel terkait SAINS atau tulisan lainnya dari Tony Firman

tirto.id - Humaniora
Reporter: Tony Firman
Penulis: Tony Firman
Editor: Windu Jusuf