Menuju konten utama

Benarkah Bubble Tea Berbahaya?

Yang harus Anda waspadai adalah jumlah kalorinya.

Benarkah Bubble Tea Berbahaya?
Ilustrasi Bubble Tea. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Kisah penciptaan bubble tea diyakini bermula dari seorang pemilik kedai teh di Taiwan yang sedang bosan dan ‘kurang kerjaan’ mencampur puding tapioka ke dalam es teh miliknya. Tak disangka, ia justru menemukan cita rasa unik ketika menyandingkan kenyalnya puding tapioka bersama dengan seruputan teh. Ia kemudian menambahkan racikan itu ke dalam menu baru di kedainya. Cerita itu dinukil ahli diet Sally Kuzemchak dalam tulisannya di WebMD.

Singkat cerita, menu es teh tapioka yang terwujud dari keisengan pemilik kedai laris manis terjual. Racikan puding tapioka yang dicampur teh dengan cepat menjadi tren di Taiwan dan, kemudian, seluruh dunia. Kini, puding tapioka lebih banyak ditemui dengan rasa sedikit manis dan dibentuk bulat coklat kehitaman, dikenal sebagai bubble pearl atau tapioca pearl.

Perpaduan tekstur kenyal dan rasa yang sedikit manis membuat bubble pearl digemari banyak lidah. Kiwari, ia tak cuma disajikan dengan teh saja, tapi banyak dipadukan dengan beragam minuman manis seperti susu, kopi, sirup rasa, ragam es campur, hingga minuman bersantan.

Saking menjadi primadona di kalangan minuman ringan, banyak orang jadi berlebihan mengonsumsi bubble pearl, salah satunya adalah seorang gadis remaja berusia 14 tahun di Cina. Ia diberitakan harus menerima tindakan medis lantaran tumpukan bubble tea di dalam perut begitu banyak dan tak bisa dicerna.

Dokter mencurigai gadis yang tinggal di Provinsi Zhejiang itu tak cuma sekali-dua kali mengonsumsi bubble pearl. Dokter menangkap citra butiran bola-bola dalam hasil pindaian tomografi terkomputerisasi (CT) di perut. Untungnya, si gadis hanya perlu meminum obat pencahar untuk mengatasi masalah tersebut.

Masalah bermula dari sakit perut yang dialami si gadis selama lima hari, ia tak bisa makan dan mengalami sembelit. Saat dibawa ke rumah sakit pada 28 Mei, dokter sempat kesulitan menemukan penyebab penyakitnya karena si gadis tidak jujur ketika dokter melakukan anamnesis. Ia mengaku hanya meminum secangkir bubble tea sesaat sebelum kejadian.

Apa yang ada dalam bubble pearl?

Minuman ini terbuat dari tepung kanji atau tapioka, dicampur sedikit gula. Beberapa produk ada yang ditambahkan tepung terigu. Untuk membentuk bola-bola tapioka, semua bahan dicampur dengan air, diuleni, dibentuk bulat, kemudian direbus. Tapioka merupakan pati yang diekstrak dari akar singkong, komposisi gizinya terdiri dari karbohidrat murni dan sedikit protein.

“Tapioka mengandung pati resisten yang tidak dapat dicerna tubuh,” demikian laman Healthline mengungkapkan.

Selain sulit dicerna, pati juga memberi efek kenyang. Sifat tapioka ini yang mungkin menjadi akar masalah pada pencernaan si gadis asal Cina ketika terlalu banyak mengonsumsi bubble. Tapioka yang menjadi bahan dasar bubble terlalu banyak menumpuk dan jadi sulit dicerna usus.

Jika dikonsumsi secara wajar, pati resisten pada tapioka bisa membawa manfaat kesehatan bagi usus. Pati menjadi makanan bakteri baik yang memproduksi lapisan lendir pada usus untuk memecah makanan.

Dirumorkan Membikin Kanker

Sebuah laporan dari Jerman pada 2012 lalu sempat membikin heboh para pecinta bubble tea. Studi tersebut mengungkapkan bahwa bubble dapat memicu kanker. Media kemudian ramai-ramai mengangkat penelitian tersebut sebagai laporan utama. Termasuk media di Taiwan, karena sampel penelitian diambil dari pasar Taiwan.

Para peneliti dari Rumah Sakit Universitas Aachen menguji bola-bola tapioka itu dan menemukan stirena, asetofenon, serta zat tertentu yang melekat pada unsur bromin. Peneliti utama studi ini mengidentifikasi zat-zat tersebut sebagai bagian dari senyawa bifenil poliklorinasi (PCB), mikro-polutan yang beracun. U.S. Environmental Protection Agency juga menyatakan bahwa paparan PCB bisa membikin kanker pada hewan.

Para peneliti juga bertumpu pada studi lain yang menyebut hubungan antara paparan PCB pada pekerja dengan kanker hati dan melanoma ganas. Sesaat setelah membuat gempar dunia dengan temuannya, The Consumer Protection Committee Taiwan langsung melakukan uji tandingan. Lembaga ini mengumpulkan 22 sampel bubble dari tujuh pabrik dan tidak menemukan stirena. Namun, mereka menemukan unsur bifenil dan asetofenon brominasi, tapi jumlahnya terlalu kecil untuk menimbulkan masalah kesehatan.

“Asetofenon dan stirena adalah senyawa aromatik, ia tak serta merta bersifat toksikologis [beracun] ketika berdiri sendiri,” ungkap Noah Bartolucci, juru bicara The U.S. Food and Drug Administration (FDA), seperti dipacak laman Universitas California Berkeley.

Asetofenon dan stirena tidak masuk golongan PCB karena tidak diklorinasi atau bifenil. Dengan kata lain, para peneliti dari Jerman itu keliru mengidentifikasi zat yang tidak berbahaya menjadi kelas senyawa berpotensi bahaya. Bahkan, FDA mengatur dan mengizinkan asetofenon dan stirena ditambahkan ke makanan sebagai penyedap sintetis.

Laporan peneliti Jerman itu juga tak menyebutkan nama zat yang dianggap mengandung bromin, beserta jumlahnya. Padahal, takaran dosis menjadi kunci apakah suatu zat dapat digolongkan beracun atau tidak. Yang terakhir dan paling penting, studi tersebut tidak diterbitkan dalam jurnal peer-reviewed, sehingga tidak dievaluasi oleh pakar ilmiah lain guna memastikan keakuratannya.

Infografik Bubble Tea

Infografik Bubble Tea. tirto.id/Nadya

Bubble Lebih Mungkin Membikin Obesitas

Bahan dasar bubble yang terdiri dari tepung-tepungan banyak mengandung karbohidrat. Laman Universitas California Berkeley merangkum jumlah kalori secangkir bubble bisa mencapai angka 540. Jika menambahkan seperempat bubble pada segelas minuman, artinya ada 135 kalori tambahan masuk ke dalam tubuh, setara kalori dalam sepiring nasi.

“Terlalu sering mengonsumsi bubble tea dapat merusak pola makan sehat,” tulis Keng Lam, seorang dokter sekaligus dosen di Fakultas Kesehatan di universitas tersebut.

Banyak variasi minuman diracik bersama bubble pearl. Komposisi paling umum terdiri dari setengah gelas bubble, seperempat gelas gula, seperdelapan susu kental manis, dan sisanya teh. Meski teh tak mengandung kalori, bahan-bahan lainnya memiliki total kalori mencapai 453 hingga 500-an kalori. Jadi, mengonsumsi bubble tea secara berlebihan akan meningkatkan risiko obesitas, layaknya minuman manis lain seperti cola atau sirup.

Namun, bagi Anda yang begitu menggemari minuman bergelembung sehingga hampir selalu menambahkan penganan ini sebagai isi minuman, Sally Kuzemchak, seorang konsultan diet dari Columbus, Ohio punya solusinya.

Untuk menentukan tingkat kemanisan pada minuman Anda, pilihlah kadar gula paling rendah, atau jika memungkinkan, tanpa pemanis. Gunakan susu biasa, bukan krim atau susu kental manis, dan yang terpenting tetap hitung kalori yang masuk.

“Pilih ukuran minuman paling kecil untuk membatasi jumlah kalori,” katanya.

Baca juga artikel terkait OBESITAS atau tulisan lainnya dari Aditya Widya Putri

tirto.id - Kesehatan
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Maulida Sri Handayani