Menuju konten utama

Belanja Memang Asyik, tapi Jangan Sampai Berujung Sesal

Belanja saat harbolnas? Jangan hanya siapkan uang dan kartu kredit, tapi juga akal sehat.

Belanja Memang Asyik, tapi Jangan Sampai Berujung Sesal
Ilustrasi belanja online. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Perayaan Hari Belanja Online Nasional (Harbolnas) yang setiap 12 Desember dinanti oleh para penggila belanja. Kegiatan besar ini diikuti oleh ratusan situs e-commerce.

Ajang ini bisa menjadi penggila belanja seperti Marlina (24), yang di sela rutinitas kerjanya kerap berselancar di berbagai e-commmerce. Tawaran harga murah dan banyak diskon seperti banyak ditawarkan event Harbolnas menjadi motivasinya.

Marlina bisa melakukan aktivitas itu sebulan tiga kali. Padahal, barang yang ia beli pun biasanya bukan barang yang ia butuhkan. “Aku sukanya belanja pakaian, make up. Yang paling sering ya belanja sepatu,” ungkap Marlina.

Meski tak jarang kecewa karena barang yang dibeli tak sesuai dengan harapannya, hasrat itu tidak bisa ia tahan.

Bikin Hati Senang?

Berbelanja memang bisa menjadi media melepas melepas stres. Menurut penelitian berjudul “Retail Therapy: A Strategic Effort to Improve Mood” yang dilakukan oleh A. Selin Atalay dan Margaret G. Meloy (PDF) menunjukkan bahwa retail therapy dapat digunakan untuk memperbaiki suasana hati yang sedang buruk. Orang dalam suasana hati buruk lebih mungkin bersikap konsumtif.

Menurut artikel yang ditulis oleh Peter Noel Murray dalam Psychology Today, emosi bisa mempengaruhi keputusan diri kita, termasuk dalam berbelanja. Citra dari functional Magnetic Resonance Imaging (fMRI) menunjukkan konsumen lebih menggunakan emosi (perasaan dan pengalaman pribadi) ketika melakukan evaluasi merek, dibandingkan informasi (merek, fitur, dan fakta).

Cara mengambil keputusan konsumen itulah ditangkap para retailer. Untuk meningkatkan hasrat belanja konsumen, seperti ditulis The Economist, penjual akan menggunakan data emosi dari pembeli untuk membentuk pengemasan, tampilan, musik atau konten iklan, serta waktu penjualan.

Pedagang juga tahu bahwa gairah belanja pembeli akan meningkat jika ada diskon. Penjual tahu ketika konsumen tergoda beragam tawaran yang diberikan, mereka akan membuat alasan yang terdengar masuk akal.

Adanya pilihan berbelanja secara online juga berpengaruh. Monika Kukar-Kinney dan dua rekannya menyelisik preferensi konsumen untuk berbelanja di internet. Menurut studi mereka “The Relationship Between Consumers’ Tendencies to Buy Compulsively and Their Motivations to Shop and Buy on the Internet” (PDF), konsumen lebih suka untuk berbelanja online dibandingkan mendatangi toko konvensional.

Memang, rangsangan yang diberikan oleh toko konvensional lebih menggoda ketimbang toko online, tapi konsumen memilih berbelanja secara online untuk menghindari interaksi sosial. Pembeli bisa melakukan transaksi secara diam-diam.

Selain itu, belanja online juga sangat memudahkan. Cukup duduk di satu tempat dan memegang gajet, kita bisa memilih yang akan kita beli dengan melihat pilihan berbagai produk dan harga. Peluang untuk kehabisan barang yang kita incar pun sangat kecil jika kita berbelanja online.

Banyak Belanja Berujung Depresi

Dengan segala kemudahan dan penawaran yang ditawarkan pada ajang seperti Harbolnas, konsumen juga harus berhati-hati. Jangan sampai asyik berbelanja membuat kecanduan, bahkan gangguan perilaku.

Artikel Emily Steel “Does Shopping Stress You Out Too Much” yang dipublikasikan The Wall Street Journal mengungkapkan bahwa aktivitas belanja online saat pesta diskon juga tak seindah yang dibayangkan. Steel menulis bahwa transaksi online saat Black Friday, yang memberi diskon besar-besaran, bisa membuat stres lantaran jumlah barang yang tersedia terbatas dan konsumen sulit menjelajahi situs dengan cepat.

Menurut Ben Summerskill pada The Guardian, alih-alih menjadi pelepas stres, "terapi belanja" malah bisa membuat hidup kita menjadi lebih buruk. Dalam artikelnya, Summerskill menulis bahwa 55 persen orang merasa tidak bahagia bahkan depresi karena menyesali aktivitas belanja itu.

Pendapat serupa juga dikemukakan oleh Astrid Mueller dan enam orang kawannya dalam riset berjudul “Depression, Materialsm, and Excessive Internet Use in Relation to Compulsive Buying” (PDF). Dalam penelitian itu, Mueller, dkk melakukan survei online terhadap 387 konsumen dan ternyata individu yang memiliki kecenderungan compulsive buying (CB) cenderung lebih depresi.

Ada dua kelompok pembeli kompulsif. Yang pertama adalah kelompok yang didorong oleh materialisme dan keinginan terhadap barang yang hendak dibeli, sedangkan kelompok kedua adalah orang yang membeli suatu barang karena harga diri dan merasa punya kuasa atau kendali. Menurut Mueller, dkk, kelompok kedua lebih mudah mengalami depresi.

Infografik Kenapa belanja Online

Infografik Kenapa belanja Online

Marlynn Wei di artikel berjudul “10 Signs You’re Addicted to Online Shopping” yang dipublikasikan di Psychology Today menyebutkan beberapa tanda compulsive online shopping. Salah satunya adalah keinginan untuk berbelanja setiap saat. Bahkan, keinginan berbelanja itu tidak bisa dihentikan sehingga membuat pasangan, keluarga, dan teman konsentrasi terhadap aktivitas belanja online kita.

Akibatnya, kita kerap berdebat dengan orang sekitar tentang aktivitas itu hingga akhirnya merusak hubungan dengan mereka, mengacaukan pekerjaan, dan keuangan.

Jika tak bisa berbelanja, pembelanja kompulsif akan merasa kesal dan marah-marah, sebab bagi mereka online shopping bisa membuat perasaan relaks dan lebih baik. Padahal, kesenangan itu hanya berlangsung sesaat. Perasaan bersalahlah yang kemudian datang.

Oleh karena itu, pembelanja kompulsif kerap menyembunyikan aktivitas yang mereka lakukan karena khawatir orang lain akan berpikir bahwa dirinya hanya buang-buang uang saja. Di manakah sarana yang tepat untuk "berbelanja dalam sembunyi"? Tentu saja toko di online.

Baca juga artikel terkait HARBOLNAS atau tulisan lainnya dari Widia Primastika

tirto.id - Gaya hidup
Penulis: Widia Primastika
Editor: Maulida Sri Handayani