Menuju konten utama
Iklan Rokok

Belanja Iklan Rokok yang Tak Surut Meski Makin Dibatasi

Pemerintah membatasi iklan rokok di internet dan media sosial.

Belanja Iklan Rokok yang Tak Surut Meski Makin Dibatasi
Gambar salah satu iklan acara yang disponsori rokok yang diterima YLKI di salah satu gerbong KRL. FOTO/Dok. YLKI

tirto.id - Media sosial memang sudah tidak lagi sekadar untuk membangun relasi pertemanan di dunia maya. Bagi pelaku usaha, media sosial adalah alat yang kuat dalam memasarkan barang atau jasa ke masyarakat luas.

Namun bagi Kementerian Kesehatan, media sosial justru menjadi sebuah ancaman. Pasalnya, industri rokok juga ikut merambah media sosial sebagai sarana promosi produknya.

Kemenkes jelas bereaksi. Mereka meminta agar iklan rokok di media sosial segera diblokir. Alasannya, iklan rokok menjadi biang keladi meningkatnya jumlah perokok, terutama anak dan remaja.

Menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, terjadi peningkatan prevalensi perokok anak dan remaja usia 10-18 tahun dari 7,2 persen di tahun 2013 menjadi 9,1 persen di tahun 2018.

“Saya harap Menkominfo segera melakukannya. Mereka [anak-anak] merokok bukan karena melihat orangtua atau seniornya, tetapi dari iklan, dari media sosial yang begitu canggih,” kata Menteri Kesehatan Nila Moeloek sebagaimana dilaporkan Tirto.

Permintaan Kemenkes untuk memblokir iklan rokok di media sosial dinilai sebagai hal yang positif oleh Abdillah Ahsan, Wakil Kepala Pusat Ekonomi dan Bisnis Syariah Universitas Indonesia (UI). Menurutnya, pelarangan ini bisa efektif mengingat sebagian besar masyarakat banyak menghabiskan waktunya dengan internet.

“Bagus sekali, surat Kemenkes yang meminta iklan rokok di media internet dan medsos dilarang. Hal ini akan melindungi jutaan anak Indonesia, [agar tidak] terpapar dan terjerat rokok,” kata Abdillah yang juga sebagai aktivis Koalisi Warga untuk Jakarta Bebas Asap Rokok kepada Tirto.

Regulasi Iklan Rokok di Media Sosial Mendesak

Dengan populasi hingga puluhan juta orang, media sosial memang menjadi saluran yang potensial untuk menjadi tempat beriklan produk rokok. Berdasarkan hasil riset Hootsuite yang dirilis Januari 2019 lalu, pengguna media sosial aktif di Indonesia mencapai 150 juta orang sepanjang 2018, atau naik 15 persen dari hasil survei yang dilakukan pada tahun lalu.

Dari jumlah tersebut, sekitar 15 persen atau 22,5 juta pengguna media sosial berumur 13-17 tahun, dan sebanyak 33 persen atau 49,5 juta pengguna berumur 18-24 tahun. Mereka inilah yang berpotensi terpapar iklan dan promosi rokok.

Melihat penetrasi media sosial itu, kekhawatiran Kemenkes tidaklah salah. Apalagi, industri rokok juga gencar mempromosikan produknya. Belanja iklannya secara tren terus meningkat. Di Amerika Serikat misalnya, belanja iklan rokok di internet dan sosial media saja terus naik berkali-kali lipat dalam satu dekade terakhir ini. Berdasarkan data dari Federal Trade Commission (FTC) AS, belanja iklan pada 2007 hanya di kisaran US$5 juta. Namun, selang 10 tahun kemudian, belanja iklan itu sudah berada di kisaran US$35 juta.

Bukan tanpa sebab, belanja iklan semakin besar di internet dan media sosial. Selain banyak pengguna internet dan media sosial, regulasi yang mengatur iklan rokok di internet dan media sosial ini juga belum diatur, tak terkecuali di Indonesia.

Dalam penelusuran Tirto, iklan rokok atau tembakau diatur di dalam Peraturan Pemerintah No. 109/2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan.

Dalam beleid tersebut, pengendalian iklan tembakau dilakukan pada media penyiaran, media teknologi informasi, media cetak, dan/atau media luar ruang. Sayangnya, iklan rokok di media sosial tidak diatur di dalam beleid itu.

Adapun, beleid yang mengatur iklan rokok di media sosial hanya dari Surat Menteri Kesehatan No. Tm.04.01/Menkes/314/2019 Tahun 2019 Tentang Pemblokiran Iklan Rokok Di Internet.

Namun demikian, surat edaran itu masih sebatas pada iklan yang memeragakan langsung wujud rokok, bukan iklan promosi rokok pada umumnya. Bisa dibilang, aturan iklan rokok di media sosial masih belum menyeluruh.

"Wilayah iklan di internet belum diatur dengan tegas dan rinci, sehingga mereka [perusahaan rokok] membombardirnya [dengan iklan]," ujar Abdillah.

Infografik belanja iklan rokok

Infografik belanja iklan rokok. tirto.id/Nauval

Guyuran Duit Triliunan Untuk Iklan Rokok

Iklan, promosi dan sponsorship merupakan cara yang efektif bagi industri rokok memasarkan produknya. Tak seperti negara lain, Indonesia menjadi negara memperbolehkan hampir semua teknik pemasaran produk rokok.

Namun memasuki 1999, teknik pemasaran produk rokok mulai diatur dan dibatasi. Kala itu, pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden B.J. Habibie hanya mengatur iklan rokok di media cetak dan media di luar ruangan.

Seiring dengan perkembangan teknologi, pembatasan iklan rokok mengalami penyesuaian. Saluran untuk iklan rokok semakin bertambah, seperti media online, media penyiaran seperti TV atau radio, media elektronik dan lainnya. Semua diatur dan dibatasi.

Pemblokiran iklan rokok di medsos juga ternyata tidak menjadi kekhawatiran bagi industri rokok. Pasalnya, iklan rokok yang diblokir di media sosial hanyalah memeragakan secara langsung wujud rokok.

“Itu justru kami apresiasi karena itu meluruskan iklan di media sosial, kalau memang enggak boleh memeragakan wujud rokok seperti dalam Peraturan Pemerintah No. 109/2012,” kata Ketua Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia Muhaimim Moeftie kepada Tirto.

Namun demikian, ia berharap agar isu iklan rokok ini tidak lantas meluas ke jenis iklan rokok lainnya. Bagaimanapun, industri juga berhak mempromosikan produknya. “Mudah-mudahan tidak melarang iklan rokok seluruhnya,” jelas Moeftie.

Untuk diketahui, aturan dan batasan iklan rokok yang ada selama ini tidak membuat belanja iklan rokok menurun. Sebaliknya, nilai belanja yang dikeluarkan perusahaan-perusahaan rokok untuk iklan semakin besar, bisa sampai triliunan rupiah.

Lihat saja, perusahaan rokok PT Bentoel Internasional Investama Tbk. Perusahaan dengan kode emiten RMBA ini mengalokasikan belanja iklan sebanyak Rp1,1 triliun sepanjang 2018 naik 31 persen dari tahun sebelumnya sebesar Rp840 miliar.

Perusahaan yang mayoritas sahamnya dimiliki British American Tobacco ini terbilang berani mempromosikan produknya. Padahal, kinerja perusahaan masih merugi. Tahun lalu, Bentoel membukukan rugi bersih senilai Rp608 miliar.

Selain Bentoel, perusahaan rokok lainnya yang gencar beriklan dan mempromosikan produk rokoknya adalah PT Wismilak Inti Makmur Tbk. Sepanjang 2018, Wismilak mengalokasikan belanja iklan sebesar Rp83 miliar, naik 20 persen dari tahun sebelumnya.

Perusahaan rokok lainnya yang juga menghabiskan triliunan rupiah untuk iklan yakni PT HM Sampoerna Tbk dan PT Gudang Garam Tbk. Kedua perusahaan itu mengalokasikan belanja iklan masing-masing sebesar Rp2,49 triliun dan Rp2,46 triliun.

Jika ditotal, belanja iklan rokok dari empat emiten tersebut mencapai Rp6,14 triliun sepanjang 2018, naik 4 persen dari tahun sebelumnya sebesar Rp5,9 triliun. Angka itu juga berpotensi lebih besar mengingat belanja itu belum termasuk belanja iklan dari Djarum.

Internet kini sudah menjadi arena baru antara industri rokok dengan publik. Di satu sisi, perusahaan rokok bakal terus mencari cara yang paling baik dalam mempromosikan produknya di media sosial dan internet.

Di sisi lain, orang tua, lembaga kontrol tembakau dan pemerintah harus semakin waspada terhadap konten yang berseliweran di media sosial dan internet guna meminimalisir terpaparnya anak dan remaja terhadap iklan rokok.

Baca juga artikel terkait IKLAN ROKOK atau tulisan lainnya dari Ringkang Gumiwang

tirto.id - Bisnis
Penulis: Ringkang Gumiwang
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti