Menuju konten utama
13 Februari 1755

Belanda Membelah Jawa dengan Perjanjian Giyanti

Berebut takhta.
Sengketa istana yang
membelah Jawa.

Belanda Membelah Jawa dengan Perjanjian Giyanti
Ilustrasi Pakubuwana III. tirto.id/Gery

tirto.id - Pada 13 Februari 1755, tepat hari ini 263 tahun silam, Jawa terbelah. Wilayah kekuasaan Dinasti Mataram yang semula dimiliki Kasunanan Surakarta harus diberikan setengahnya kepada Pangeran Mangkubumi, dan lahirlah Kasultanan Yogyakarta. Pembelahan ini membawa kegetiran tersendiri bagi orang Jawa.

Sementara bagi Belanda, Perjanjian Giyanti memberikan seabrek keuntungan. Kekuasaan Belanda pun semakin kuat mencengkeram tanah Jawa. Boleh dibilang, setelah perjanjian itu ditanda tangani, Jawa sepenuhnya berada di bawah pengaruh VOC—sesuatu yang berlangsung hampir selama dua abad kemudian.

Berebut Kekuasaan Mataram

Kisah perpecahan Jawa bermula dari pertikaian antar-anggota keluarga istana Kasunanan Surakarta, pewaris kekuasaan wangsa Mataram. Ada tiga tokoh utama yang terlibat dalam perang saudara ini, yaitu Susuhunan Pakubuwana II, Pangeran Mangkubumi, dan Raden Mas Said alias Pangeran Sambernyawa.

Pakubuwana II—raja pendiri Kasunanan Surakarta—dan Pangeran Mangkubumi adalah kakak-beradik, sama-sama putra dari Amangkurat IV, penguasa Mataram periode 1719-1726. Adapun Raden Mas Said merupakan salah satu cucu Amangkurat IV, atau keponakan Pakubuwana II dan Pangeran Mangkubumi.

Raden Said mengklaim bahwa ia berhak atas takhta Mataram yang diduduki pamannya, Pakubuwana II. Ini lantaran ayah Raden Mas Said, Pangeran Arya Mangkunegara, adalah putra sulung Amangkurat IV.

Arya Mangkunegara seharusnya menjadi raja Mataram sebagai penerus Amangkurat IV. Namun, lantaran kerap menentang kebijakan VOC, ia diasingkan ke Srilanka hingga meninggal dunia (Sartono Kartodirdjo, Sejak Indische sampai Indonesia, 2005: 19).

VOC lantas menaikkan putra Amangkurat IV lainnya, yakni Pangeran Prabasuyasa, sebagai penguasa Mataram selanjutnya. Prabasuyasa inilah yang kemudian bergelar Pakubuwana II (1745-1749) dan memindahkan istana dari Kartasura ke Surakarta. Maka, berdirilah Kasunanan Surakarta sebagai bentuk paling baru kerajaan turunan Mataram.

Atas dasar inilah Raden Said mengobarkan perlawanan terhadap VOC untuk menuntaskan dendam ayahnya. Ia juga menuntut haknya sebagai pewaris kuasa Mataram yang telah diberikan kepada Pakubuwana II oleh Belanda.

Namun, bukan hanya Raden Mas Said yang merasa berhak atas takhta. Saudara kandung Pakubuwana II, Pangeran Mangkubumi, juga berhasrat serupa. Ia sempat menemui pejabat VOC di Semarang pada 1746 dan meminta dirinya diangkat menjadi raja, akan tetapi ditolak.

Penolakan itu membuat Pangeran Mangkubumi kesal. Namun, tidak mungkin baginya pulang ke istana. Maka, ia memutuskan bergabung dengan Raden Mas Said untuk bersama-sama melawan Pakubuwana II dan VOC (Joko Darmawan, Mengenal Budaya Nasional Trah Raja-raja Mataram di Tanah Jawa, 2017: 67).

Sebagai bukti komitmen dan perekat bersatunya dua kekuatan ini, Pangeran Mangkubumi menikahkan putrinya, Raden Ayu Inten, dengan Raden Mas Said. Mereka kemudian menyingkir ke tengah hutan yang berada di sebelah barat Surakarta. Wilayah inilah yang nantinya bernama Yogyakarta. Dari situ, mereka mengobarkan perlawanan dengan cara gerilya.

Pasukan gabungan itu ternyata membuat Kasunanan Surakarta kewalahan, bahkan mengakibatkan Pakubuwana II sakit parah. Kabar ini dimanfaatkan betul oleh Mangkubumi. Pada 11 Desember 1749, Pangeran Mangkubumi ditetapkan sebagai raja Mataram oleh para pengikutnya. Ia bertakhta dengan gelar Pakubuwana III.

Permainan Politik ala VOC

Hingga akhirnya, Pakubuwana II meninggal dunia pada 20 Desember 1749. Sebelum ajalnya tiba, Pakubuwana II dipaksa meneken perjanjian untuk memberikan kewenangan kepada VOC dalam pengangkatan raja baru penggantinya nanti (Moertjipto & ‎Tirun Marwito, Upacara Tradisional Jumenengan, 1989: 12).

VOC tidak mengakui Pangeran Mangkubumi yang telah mengklaim diri sebagai penguasa Mataram. Orang yang dinaikkan sebagai raja baru dan berhak menyandang gelar Pakubuwana III adalah putra mendiang Pakubuwana II, yakni Raden Mas Soerjadi.

Dengan demikian, sempat ada dua sosok yang memakai gelar Pakubuwana III, yakni Pangeran Mangkubumi di Yogyakarta yang didampingi oleh Raden Mas Said, dan Raden Mas Soerjadi sebagai penerus takhta Mataram yang diakui VOC.

Sepeninggal Pakubuwana II, perlawanan terhadap VOC dan Surakarta semakin menghebat. Pangeran Mangkubumi memimpin pasukannya dari sebelah timur Surakarta, sementara angkatan perang pimpinan Raden Mas Said menyerang dari utara.

Dari arah barat, merangsek pula pasukan khusus yang dipimpin panglima perang kepercayaan Pangeran Mangkubumi, yakni Pangeran Hadiwijaya. Dengan demikian, seperti dikutip dari buku Sejarah Keraton Yogyakarta yang ditulis Sabdacarakatama (2009), ibukota Mataram atau Surakarta telah dikepung dari tiga penjuru dan kian terdesak (hlm. 13).

Kondisi ini membuat Raden Mas Soerjadi yang belum lama naik takhta sebagai Pakubuwana III bingung dan panik. Saat itu, sang raja masih sangat muda, baru berusia 17 tahun. VOC dengan jeli memanfaatkan situasi rumit tersebut dan diterapkanlah siasat andalannya: devide et impera (politik pecah belah).

VOC mengupah seorang kerabat keraton bernama Tumenggung Sujanapura untuk memengaruhi Raden Mas Said. Sujanapura mengatakan kepada Raden Mas Said bahwa Pangeran Mangkubumi sebenarnya khawatir apabila dirinya bakal berkhianat. Hasutan ini membuat Raden Mas Said bimbang dan memutuskan pisah jalan dengan Pangeran Mangkubumi (hlm. 93).