Menuju konten utama
22 September 1917

Belanda Butuh Alat Propaganda, Lahirlah Balai Pustaka

Bius gejolak
lewat sastra. Dibuai 
tenang bahasa.

Belanda Butuh Alat Propaganda, Lahirlah Balai Pustaka
Ilustrasi kios buku Balai Poestaka (ca. 1930). tirto.id/Sabit

tirto.id - Pada mula abad ke-20, ide-ide politik etis mulai memengaruhi kebijakan kolonial Hindia Belanda. Banyak peraturan pemerintah kolonial yang diisi semangat “mendidik” dan “membimbing” bumiputra. Sejak paruh kedua abad ke-19 sekolah-sekolah telah didirikan. Maka, tahap selanjutnya adalah menyediakan akses pengetahuan dan keterampilan melalui bacaan.

Kala itu media massa dan penerbitan buku cetak berkembang cukup pesat. Selain pemerintah kolonial, penerbit atau percetakan milik Cina dan Eropa peranakan ikut pula ambil bagian. Tumbuhlah selapis masyarakat pembaca di Hindia Belanda.

Kolonialisme seakan-akan melunak, namun sebenarnya sedang merasuk lebih dalam. Seperti yang dinasihatkan oleh orientalis tersohor Snouck Hurgronje, pemerintah kolonial kini mulai melakukan “aneksasi spiritual” melalui bacaan. Karenanya, pemerintah kolonial merasa perlu membikin suatu badan untuk mengatur bacaan rakyat.

Itulah mula ide pendirian Commissie voor de Inlandsche School en Volkslectuur alias Komisi untuk Bacaan Sekolah Pribumi dan Bacaan Rakyat pada 14 September 1908. G.A.J. Hazeu, penasihat pemerintah untuk urusan pribumi, kemudian ditunjuk untuk memimpin komisi ini. Hazeu membawahi enam orang penasihat yang bertugas memberi rekomendasi kepada Direktur Pendidikan kolonial perkara memilih bacaan untuk rakyat.

Menurut Hilmar Farid, kerja Komisi Bacaan Rakyat kian penting manakala bumiputra mulai ikut bermain di ranah penerbitan partikelir. Sebutlah Tirto Adhi Soerjo sebagai pelopornya. Diungkapkan Hilmar Farid, banyak tokoh penerbit bumiputra yang melek politik menggunakan bacaan sebagai sarana melawan kolonialisme. Ini membuat khawatir D.A. Rinkes, sekretaris Komisi Bacaan Rakyat.

“Sebagai seseorang yang kemudian akan menjadi Penasehat Urusan Bumiputra dan dekat dengan orang pergerakan Agus Salim dan Tjokroaminoto, ia tahu persis bagaimana surat kabar, novel, buku, dan pamflet-pamflet dari kalangan pergerakan menimbulkan “schedelijke invloeden”—pengaruh berbahaya,” tulis lelaki yang kini menjabat Dirjen Kebudayaan Kemdikbud itu dalam risetnya yang berjudul Politik, Bacaan, dan Bahasa pada Masa Pergerakan: Suatu Studi Awal (2007: 92).

Akhirnya tugas Komisi Bacaan Rakyat diperluas. Tak sebatas rekomendasi, komisi ini juga ditugaskan menerbitkan buku bacaan rakyat. Karenanya, mulai 22 September 1917, tepat hari ini 101 tahun lalu, tugas komisi diambilalih lembaga baru bernama Kantoor voor de Volkslectuur atau Kantor Bacaan Rakyat. Orang kini mengenalnya sebagai Balai Pustaka.

Tanggal tersebut kemudian ditetapkan sebagai hari lahir Balai Pustaka.

Penerbit Buku Baik

Direktur pertama Balai Pustaka tak lain adalah Rinkes, yang memahami benar bagaimana lembaga baru ini mesti berperan. Orang inilah yang merumuskan kategori bacaan yang baik untuk rakyat. Sejumlah tema yang dianggap baik itu di antaranya adalah pelajaran keterampilan, pertanian dan ilmu alam, juga budi pekerti yang bersifat sekuler.

Tak ketinggalan, Balai Pustaka juga menerbitkan naskah-naskah dari berbagai bahasa daerah. “Tema yang paling sering muncul adalah karya-karya seperti cerita panji, hikayat dan cerita rakyat lainnya, yang harus ditulis ulang sejurus dengan pikiran dan kepentingan kolonial,” tulis Hilmar Farid (hlm. 92).

Sementara itu, Pamusuk Eneste dalam Ikhtisar Kesusastraan Indonesia Modern (1988: 6) menyebut bahwa ada tiga lini produk Balai Pustaka. Pertama, buku untuk anak-anak. Kedua, buku hiburan dan referensi dalam bahasa daerah. Ketiga, buku hiburan dan referensi dalam bahasa Melayu. Bacaan tentang politik dan dunia internasional tentu tidak termasuk kategori bacaan baik menurut Balai Pustaka.

Produk Balai Pustaka lainnya adalah majalah. Sebutlah yang terkenal semisal Pandji Poestaka dan Kedjawen yang berbahasa Jawa, atau majalah anak-anak Taman Kanak-Kanak yang berbahasa Melayu.

Oleh karena statusnya sebagai lembaga pelat merah, Balai Pustaka mendapat sokongan finansial yang besar dari pemerintah kolonial. Dalam artikel “Dari Alat Kolonial ke Persero” yang tayang di harian Kompas (19/7/2003) disebut bahwa Balai Pustaka bisa memiliki mesin cetak sendiri setelah empat tahun berdiri.

Pada masanya, kaum pergerakan tahu belaka bahwa Balai Pustaka berdiri untuk membendung gerakan politik mereka melalui bacaan. Hal itu diakui Sutan Takdir Alisjahbana yang pernah menjadi redaktur penerbit tersebut. Namun, menurutnya, Balai Pustaka juga berjasa memberi penerangan kepada rakyat di desa-desa yang pelosok sekali pun.

“Balai Pustaka mempunyai nama yang cukup baik, karena ia adalah salah satu badan penerbit yang teratur, [...] yang lambat laun mengadakan perpustakaan di sekolah-sekolah Indonesia dengan buku-bukunya yang bersahaja, tapi diperlukan oleh rakyat banyak,” tuturnya dalam Bunga Rampai Kenangan pada Balai Pustaka (1992: 20).

Jaringan perpustakaan itu, yang dinamai Taman Pustaka, adalah ujung tombak distribusi bacaan Balai Pustaka. Untuk memperluas akses masyarakat terhadap produknya, Balai Pustaka mempunyai agen penjualan yang hadir hingga pelosok desa.

Bidan Sastra Indonesia Modern

Jasa lain Balai Pustaka menurut Sutan Takdir Alisjahbana adalah memberi kesempatan bagi penulis-penulis bumiputra menerbitkan karya mereka. Balai Pustaka-lah yang menerbitkan novel dan puisi baru berbahasa Melayu tinggi yang kemudian menjadi dasar bahasa Indonesia. Perannya sebagai perintis sastra modern Indonesia tak bisa ditampik.

Tengara lahirnya sastra Indonesia modern, kendati masih terdapat perdebatan, adalah terbitnya novel Azab dan Sengsara karya Merari Siregar pada 1920.

“Lepas dari apakah isi novel ini bersifat nasional atau tidak, yang jelas inilah karya sastra yang pertama kali terbit di Indonesia dalam bahasa Indonesia. Bentuknya sudah berbeda dengan karya sastra lama sebelumnya. Dengan kata lain, bentuknya sudah ‘modern’ dan tidak ‘lama’ lagi,” tulis Pamusuk Eneste dalam Bunga Rampai Kenangan pada Balai Pustaka (hlm. 4).

Balai Pustaka juga dianggap berjasa dalam perkembangan bahasa Melayu tinggi. Staf redaksi Balai Pustaka amat ketat dalam penggunaan bahasa ini dan menerapkan standar ejaan van Ophuijzen dalam setiap terbitannya. Percampuran bahasa dan dialek sebagaimana terlihat dalam bahasa Melayu Tionghoa atau Melayu pasar tidak diperkenankan di sini.

Dalam Bunga Rampai Kenangan pada Balai Pustaka, H.B. Jassin mengungkapkan bahwa untuk urusan penyuntingan itu ada Nur Sutan Iskandar dan Datuk Majoindo. Keduanya sangat dominan di redaksi sehingga gaya bahasa terbitan Balai Pustaka menjadi “keminangkabauan” (hlm. 44-45).

Sebagian orang menganggap penyeragaman ini sebagai suatu yang menguntungkan bagi perkembangan bahasa Indonesia. Tetapi di sisi lain, terang Hilmar Farid, penyeragaman ini juga mematikan ungkapan-ungkapan politik pergerakan. Bagaimanapun juga Balai Pustaka adalah kepanjangan tangan kolonial. Pedoman mereka adalah tata kolonial yang “aman dan tertib”.

“Dalam dunia ini tidak ada ‘demonstratie’ karena sudah ada Volksraad, tidak ada ‘pergerakan ra’jat’ tapi ‘gerakan ekstrim’, tidak ada ‘kapitalist jang mengisep darah’ tapi ‘Pengoesaha’ atau ‘saudagar’,” tutur Hilmar Farid dalam risetnya (hlm. 95).

Infografik Mozaik Balai Pustaka

Jatuh Bangun

Sejak terbitnya Azab dan Sengsara pada 1920, Balai Pustaka tak pernah absen menerbitkan karya sastra. Berturut-turut Balai Pustaka menerbitkan karya sastra yang populer di masanya dan kini dianggap klasik. Ia melahirkan angkatan sastrawan yang kini disebut Angkatan Balai Pustaka. Mulai dari Merari Siregar, Marah Rusli, Abdul Muis, Nur Sutan Iskandar, Aman Datuk Majoindo, hingga Muhammad Yamin.

Selama Perang Dunia II hingga Revolusi Indonesia, Balai Pustaka mengalami kemunduran. Menurut Pamusuk Eneste (hlm. 8), pada 1948 Balai Pustaka bangkit lagi. Bahkan selama dekade 1950-an mengalami masa jaya dengan mendominasi penerbitan buku-buku sastra. Pada masa inilah Balai Pustaka diisi sejumlah raksasa sastra Indonesia seperti H.B. Jassin, Idrus, M. Taslim Ali, Utuy T. Sontani, hingga Pramoedya Ananta Toer.

Sejak 1950-an hingga akhir 1980-an Balai Pustaka berada di bawah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Selain menerbitkan buku sastra, Balai Pustaka kini memperoleh hak penerbitan buku pelajaran dari pemerintah. Namun, sejak 1980-an sudah banyak penerbit swasta yang juga menerbitkan buku sastra, sehingga pamor Balai Pustaka meredup.

Seiring dengan itu, Balai Pustaka pada awal 1990-an mulai dilanda masalah keuangan dan salah urus. Balai Pustaka kian terseok-seok kala statusnya sebagai perusahaan negara diubah jadi persero pada 1996. Otomatis Balai Pustaka tak bisa lagi mengandalkan kucuran dana dan order dari pemerintah.

“Ketika berubah jadi perseroan pada 1996, kami harus cari pemasukan sendiri. Jadinya perkembangan melambat. Sempat tidak ada produksi. Ketika masih jadi perusahaan negara, pekerjaan berdasarkan penugasan pemerintah. Ketika jadi perseroan, sudah tidak bisa seperti itu,” ujar Razif, anggota komisaris PT Balai Pustaka kepada Tirto, Kamis (13/9/2018).

Keadaan bertambah sulit kala terbit Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 5 Tahun 2005. Berdasarkan beleid itu hak penerbitan buku sekolah yang dipegang Balai Pustaka selama bertahun-tahun dicabut. Balai Pustaka kian jatuh. Bahkan, pada medio 2011 sempat ada wacana akan dilikuidasi atau diakuisisi.

Namun, asa mulai terbit kala Kementerian BUMN meluncurkan program sinergi BUMN pada 2017. Menurut Razif, sejak itu perlahan PT Balai Pustaka menata diri kembali.

“Sekarang ini kondisi perusahaan sudah lebih baik dari beberapa tahun lalu. Produksi kini lebih terencana. Ini juga karena adanya sinergi antar-BUMN. Direksi juga berani mengambil keputusan untuk merombak Balai Pustaka,” tutur Razif.

Sejumlah kebijakan penting pun dilakukan untuk menyelaraskan Balai Pustaka dengan pergerakan zaman. Mulai dari merenovasi kantor hingga mendigitalisasi karya sastra klasik yang jadi andalan Balai Pustaka.

Akan tetapi, kini Balai Pustaka tak hanya menumpukan bisnisnya pada penerbitan ulang naskah klasik. Balai Pustaka sekarang punya empat produk sebagai pilarnya, yaitu penerbitan buku, taman bacaan, alat peraga pendidikan berbasis multimedia, dan percetakan.

“Kami juga bersinergi dengan BUMN lain. Misalnya, untuk penerbitan buku pelajaran kurikulum 2013 kami kerja sama dengan PT Pos untuk pengiriman. Juga ada kerja sama dengan asuransi Jamkrindo untuk jaminan pembayaran,” pungkas Razif.

Baca juga artikel terkait SEJARAH SASTRA atau tulisan lainnya dari Fadrik Aziz Firdausi

tirto.id - Humaniora
Penulis: Fadrik Aziz Firdausi
Editor: Ivan Aulia Ahsan