Menuju konten utama

Belajar di Rumah karena Corona COVID-19, Efektifkah?

Belajar di rumah memang baik menghindari penyebaran Corona, tapi soal efektivitas, patut dipertanyakan.

Belajar di Rumah karena Corona COVID-19, Efektifkah?
Ilustrasi Bimbel online

tirto.id - Aulia semestinya memulai semester baru hari ini (16/3/2020) di sekolahnya yang terletak di Bandung Jawa Barat. Namun semua batal karena sekolah, lewat surat edaran, memutuskan para siswa belajar dari rumah.

Surat edaran tersebut berdasarkan keputusan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil yang disampaikan Minggu. Instruksi belajar di rumah berlaku selama 15 hari, atau hingga 30 Maret 2020.

Langkah tersebut dilakukan untuk menekan angka pasien yang terpapar Corona atau COVID-19. Per Senin, ada 10 orang dinyatakan positif Corona di Jawa Barat.

Orangtua Aulia, Ahmad, mengatakan kebijakan ini membuatnya tenang. "Bisa lihat anak di rumah. Kan, orangtua mah tahunya cuma nganter sampai gerbang. Di kelas tahu-tahu ada yang batuk, kemudian sakit, gimana? Takutnya itu," kata Ahmad kepada reporter Tirto, Senin.

Ahmad sempat ketar-ketir karena di Bandung sulit mencari masker dan cairan pembersih tangan sejak awal Maret. Dua benda tersebut ia cari-cari dari lama untuk mencegah Aulia terdampak Corona seandainya tetap bersekolah.

"Saya pikir si anak enggak bisa izin, jadi sempat cari masker sama hand sanitizer. Alhamdulilah akhirnya diliburkan dulu," katanya bersyukur.

Meski meminimalisasi potensi penyebaran, belajar di rumah juga ada dampak negatifnya. Bagi Aulia, belajar di rumah--dengan memaksimalkan teknologi--tidak begitu efektif. Guru memberikan tugas secara online. Komunikasi juga jadi hanya satu arah, katanya.

Aulia bercerita kalau para guru sudah memberikan tugas berupa esai. Tugas tersebut dikirimkan dalam bentuk file Microsoft Word lewat WhatsApp. "Hari ini guru biologi kasih soal, apa arti virus, ciri-ciri virus. Nanti kalau sudah dijawab, tinggal dikirim. Ada juga soal di Google Class gitu (website) berupa tanya jawab," terang siswi kelas 1 SMA tersebut.

Setiap hari akan ada dua tugas dari dua mata belajaran. "Enggak tahu jadwal pelajarannya apa, tapi harus siap aja kalau dikasih soal."

Saban kesulitan mengisi jawaban, Aulia akan memanfaatkan Google untuk mencari informasi, yang tentu saja sulit diverifikasi guru apakah sumber yang ia pakai kredibel atau tidak.

Jawa Barat bukan satu-satunya provinsi yang menerapkan sistem belajar di rumah. Imbauan belajar di rumah juga diterapkan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Otomatis, semua sekolah mulai dari TK/TPA, SD, SMP, SMA di DKI kosong.

Saya menyambangi dua TK di kawasan Grogol, Jakarta Barat, yang biasanya ramai dari pagi hingga sore, dari pukul setengah 8 pagi sampai 4 sore: TK Melati dan TPA Nurul Falah.

Salah satu pedagang minuman di TK itu, Wono, mengatakan sudah tahu sekolah diliburkan. Maka dari itu ia tidak berjualan.

Yang Perlu Diperhatikan

Strategi belajar di rumah, menurut, Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Heru Purnomo, sudah tepat, setidaknya dari sisi kesehatan. Namun untuk efektivitas pembelajaran, ia menilai perlu ada yang dipersiapkan sekolah dan guru guru.

Menurutnya guru harus proaktif dan kreatif agar bisa menggelar kegiatan belajar-mengajar sama efektifnya dengan tatap muka.

"Strateginya harus dipetakan oleh bapak dan ibu guru. Maka itulah yang kemudian diserahkan dalam bentuk soal saja, dari hasil pengamatan itu artinya untuk mengejar target kurikulum. Ini adalah home learning yang selama ini ada di dalam kelas reguler karena kondisi darurat," terang dia.

Hal senada juga dikatakan Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji. Selain guru, ia menjelaskan orangtua pun harus ikut memantau si anak belajar di rumah.

"Belajar di rumah itu bukan libur, bukan berarti enggak ada aktivitas literasi. Ini yang perlu dipahami. Tetap belajar dengan target yang sudah ada di kurikulum," terang dia.

Tantangan lebih besar akan muncul jika kebijakan ini diterapkan di daerah dengan infrastruktur internet dan teknologi yang kurang memadai seperti di desa-desa.

"Sekolah-sekolah yang tidak memiliki fasilitas pembelajaran online ini akan mengalami kesulitan dalam mengejar ketertinggalan materi pembelajaran," kata peneliti dari Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Nadia Fairuza Azzahra lewat keterangan tertulis.

Hal serupa berlaku bagi peserta didik yang kurang memiliki akses terhadap teknologi dan internet. Satu-satunya yang dapat dilakukan adalah memberikan pekerjaan rumah banyak kepada peserta didik, meskipun metode ini tidak semaksimal online learning, dan disetor saat kelas tatap muka kembali digelar.

Selain itu, masalah lain yang perlu diperhatikan adalah, "para siswa juga akan mengalami kesulitan untuk melakukan konsultasi dengan guru terutama untuk pelajaran yang dianggap membutuhkan penjelasan dan pemahaman yang lebih mendalam, misalnya matematika."

Baca juga artikel terkait WABAH CORONA atau tulisan lainnya dari Selfie Miftahul Jannah

tirto.id - Pendidikan
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Rio Apinino