Menuju konten utama

Belajar dari Malaysia dan Thailand Cegah Kebocoran Devisa

Saat posisi "genting", pemerintah kembali merayu pengusaha untuk membawa pulang devisa hasil ekspor. Harapannya, gejolak nilai tukar rupiah bisa diredam.

Belajar dari Malaysia dan Thailand Cegah Kebocoran Devisa
Petugas jasa penukaran uang asing Valuta Artha Mas menghitung pecahan 100 dolar AS di ITC Kuningan, Jakarta, Rabu (28/2/2018). ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari

tirto.id - “Ini untuk menciptakan sinergi dalam menghadapi ketidakpastian global.”

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani yang mendampingi Presiden Jokowi pada jamuan makan malam di Istana Bogor, akhir Juli lalu, mencoba merayu para pengusaha untuk membawa devisa hasil ekspor kegiatan bisnisnya kembali ke Indonesia. Malam itu ada 40 pengusaha "kakap" diundang demi sebuah upaya menyelamatkan apa yang sering disebut sebagai devisa hasil ekspor (DHE). DHE ini erat kaitannya dengan upaya pemerintah meredam gejolak nilai tukar rupiah terhadap dolar yang mendekati Rp15.000.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution sempat berujar DHE yang masuk ke dalam negeri hanya sebesar 80-81 persen dari total devisa ekspor, sisanya tersimpan di luar negeri. “Kalau devisa tidak masuk, tidak bisa jadi tenaga untuk pertumbuhan ekonomi Indonesia. Dalam teknis ekonomi, bocor dia,” ujar Darmin.

DHE yang kembali masuk ke dalam negeri sangat dibutuhkan untuk mempertebal cadangan devisa Indonesia yang kini trennya terus menyusut sejak Januari 2018. Pada Januari 2018 posisi cadangan devisa mencapai $131,98 miliar, per Juni 2018 hanya tersisa $119,8 miliar. Penyusutan ini salah satunya untuk intervensi pasar valuta asing (valas) oleh bank sentral demi meredam gejolak kurs.

Kondisi demikian tak terlepas dari sistem devisa bebas yang dianut Indonesia, yang tidak mengatur dengan ketat mengenai DHE. Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar (PDF) menyebutkan, setiap penduduk dapat dengan bebas memiliki dan menggunakan devisa. Selain itu, tidak ada aturan yang menyebutkan bahwa DHE wajib dikonversi ke dalam denominasi rupiah.

Rezim devisa bebas ini, seperti diungkapkan oleh Tim Ekonom Bank Mandiri dalam risetnya berjudul EconMark Mandiri Group Research May-June 2018 (PDF) membuat bank sentral Indonesia tidak dapat memantau berapa lama DHE benar-benar tinggal atau mengendap di bank devisa lokal serta tidak dapat mengetahui berapa jumlah DHE yang dikonversi menjadi rupiah. Padahal, informasi mengenai lama DHE mengendap dan jumlah yang dikonversi, merupakan hal yang penting dalam mengelola valuta asing yang beredar di Indonesia.

Para eksportir saat menempatkan DHE valas cenderung mencampurnya dengan dana investasi maupun pinjaman denominasi valas di akun reguler bank devisa. Kondisi ini, menurut tim ekonom Bank Mandiri, menyulitkan Bank Indonesia untuk memonitor kegiatan valas yang khusus bersumber dari DHE.

“Karena tidak adanya peraturan mengenai berapa lama DHE diharuskan disimpan di bank devisa, ada kemungkinan bahwa eksportir hanya mengendapkan DHE selama satu hari di akun bank devisa domestik, demi mengikuti peraturan bank sentral dan kemudian mentransfer dana tersebut ke bank di luar negeri untuk selanjutnya melakukan transaksi dan motif lainnya,” jelas paparan Tim Ekonom Bank Mandiri.

Salah satu cara untuk memantau arus DHE, menurut Tim Ekonom Bank Mandiri, adalah dengan mewajibkan para eksportir untuk menempatkan DHE di rekening khusus di bank devisa. Keuntungan pemisahan rekening khusus DHE, adalah bank sentral dapat secara langsung memantau aktivitas valas yang dihasilkan dari pendapatan ekspor, berapa lama dana tersebut disimpan di bank domestik, di mana eksportir melakukan transfer devisa, serta tujuannya.

Menurut Tim Ekonom Bank Mandiri, perlu ada insentif khusus diberikan kepada rekening khusus DHE yang dikonversi ke dalam rupiah dengan cara memberikan tingkat suku bunga yang istimewa. Alternatif insentif yang bisa diberikan berupa jaminan tidak adanya biaya tambahan yang dikenakan saat eksportir perlu mengonversi ulang devisa dari rupiah ke valuta asing. Persoalan DHE tak hanya dialami oleh Indonesia saja. Negara-negara tetangga di ASEAN menghadapi persoalan serupa, beberapa di antara negara ASEAN menerapkan kebijakan khusus soal DHE yang tak dimiliki oleh Indonesia.

Infografik Porsi Sumber Devisa RI

Cegah Kebocoran Devisa ala Malaysia dan Thailand

Pada paparan Tim Ekonom Bank Mandiri dijabarkan bahwa Malaysia sejak 2016 telah menetapkan aturan yang mensyaratkan mengubah 75 persen DHE menjadi denominasi ringgit dan eksportir bisa mendapatkan tingkat bunga yang istimewa saat dananya diparkir di bank-bank domestik dengan rekening khusus DHE.

“Kami meminta agar para eksportir mengubah 75 persen dari DHE mereka menjadi denominasi ringgit setelah membawa masuk devisa dari luar negeri ke Malaysia,” kata Adnan Zaylani, yang saat itu menjabat sebagai Asisten Gubernur Bank Negara Malaysia seperti dikutip dari The Star.

Sebagai insentif, Bank Sentral Malaysia menerapkan DHE yang ditempatkan di bank lokal Malaysia akan mendapat suku bunga deposito khusus sebesar 3,25 persen per tahun. Adnan memperkirakan, pada 2016 lalu jumlah DHE denominasi valas yang dimiliki eksportir senilai RM90 miliar. Sebelumnya, kata Adnan masih melansir The Star, antara tahun 2006-2010, hanya sekitar 28 persen dari DHE yang dikonversi menjadi ringgit.

Pada 2011-2015 hanya satu persen dari DHE yang dikonversi menjadi ringgit. “Dengan konversi ini, diharapkan dapat menambah cadangan devisa Malaysia senilai $18 miliar,” ucap Adnan.

Dua bulan pertama 2017 pasca penetapan kebijakan tersebut, bank sentral Malaysia yaitu Bank Negara Malaysia (BNM) mengumumkan sekitar $2 miliar DHE telah dikonversi menjadi ringgit. Catatan BNM menyebutkan, cadangan devisa akhir Desember 2017 sebesar $102,4 miliar dan terus bertambah pada Januari dan Februari masing-masing menjadi $103,7 miliar. Per Juli 2018, cadangan devisa Malaysia mencapai $104,6 miliar.

Hasil konversi DHE juga turut mengurangi dampak volatilitas nilai tukar ringgit terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Dengan demikian, BNM juga mempertimbangkan untuk memperpanjang jangka waktu dalam transaksi lindung nilai atau hedging agar paparan volatilitas dolar AS terhadap ringgit bisa ditekan.

Thailand juga menetapkan kebijakan ketat DHE sehingga negara tersebut mampu pulih dari krisis keuangan. Pemerintah Thailand dengan ketat mengatur kontrol pertukaran valuta asing di negeri Gajah Putih tersebut, dengan dasar hukum Exchange Control Act, yang bertujuan untuk menyalurkan valas untuk kepentingan publik, memantau arus modal keluar, memusatkan kepemilikan valas negara serta stabilisasi nilai tukar bath.

Sejak 19 Desember 2006, bank sentral Thailand atau Bank of Thailand (BoT) mensyaratkan sebesar 30 persen dari valas senilai minimal $20 ribu atau lebih yang dikonversi menjadi bath, harus ditahan sebagai jaminan atau deposit. Aturan ini dikecualikan untuk transaksi yang dibebaskan dari syarat transaksi berjaminan. Jaminan tersebut, menurut BoT akan dikembalikan sepenuhnya jika dana yang dikonversi ke dalam denominasi bath tersebut tetap tinggal atau mengendap di Thailand setidaknya selama satu tahun.

“Jika tidak, maka hanya dua pertiga dari dana jaminan atau deposit tersebut yang dikembalikan,” tulis BoT dalam laman resminya.

Dana jaminan tersebut tidak mendapatkan imbal hasil atau bunga. Selain itu, jika dana jaminan tidak dicairkan dalam kurun waktu dua tahun setelah konversi di lakukan, maka dianggap hangus dan diambil alih oleh negara. Bahkan, nominal rekening valas bagi individu maupun perusahaan asing di Thailand pun dibatasi masing-masing tidak boleh melebihi $1 juta dan $100 juta.

DHE yang dibawa ke Thailand wajib diendapkan selama 120 hari dan memerlukan persetujuan dari bank komersial domestik untuk ditransaksikan. Selanjutnya DHE juga mengendap selama 360 hari di bank komersial domestik, dalam rangka menunggu persetujuan dari Bank of Thailand untuk ditransaksikan kembali.

Baca juga artikel terkait DEVISA atau tulisan lainnya dari Dea Chadiza Syafina

tirto.id - Ekonomi
Penulis: Dea Chadiza Syafina
Editor: Suhendra