Menuju konten utama

Belajar Bersikap Manusiawi Bersama Anak dengan Down Syndrome

Down syndrome atau sindrom Down bukan penyakit, sehingga tidak bisa disembuhkan. Tapi kemampuan orang dengan sindrom Down bisa dioptimalkan.

Belajar Bersikap Manusiawi Bersama Anak dengan Down Syndrome
Ilustrasi Down Syndrome. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Selasa, 9 Juli 2019, Nadhila Izzati Husna, 19 tahun, menumpahkan kekesalannya di akun Twitternya @petrikour. Perempuan asal Bekasi ini geram pada salah satu warganet yang menertawakan adiknya, Haris.

“Di video itu adalah adik saya. Adik saya itu down syndrome, ada masalah dengan Anda? Anda benci K-Pop, lalu juga benci keadaan adik saya karena menikmati lagunya? Bagaimana perasaan seorang kakak melihat adiknya dihina seperti ini? Terlebih melihat banyak reply menertawakan dan bilang jijik,” tulis Dhila.

Perempuan yang akrab dipanggil Dhila itu menangis melihat adiknya dihina dan melaporkan kejadian tersebut kepada bapak dan ibunya. Mereka memilih untuk memaafkan pelaku, meskipun sang penyebar video itu tak meminta maaf kepada keluarga Dhila.

Menerima anggota keluarga yang lahir dengan keterlambatan mental dan fisik memang tak mudah bagi sebagian orang. Begitu juga bagi Dhila dan keluarganya ketika Haris lahir.

Melalui sambungan telepon, Dhila berbagi dengan Tirto tentang perjalanan dirinya, beserta ayah, ibu, dan tiga orang kakaknya menyambut kelahiran Haris yang kini berusia 17 tahun. Dhila juga pernah membagikan cerita itu di akun Twitternya.

Sempat ada rasa tak terima

Haris lahir ketika Dhila masih berusia dua tahun. Di umurnya yang masih kecil kala itu, ia bisa dengan mudah menerima kehadiran adiknya. Namun, orangtua dan kakak-kakaknya sempat tak bisa menerima kenyataan bahwa salah satu anggota keluarga mereka terlahir dengan sindrom Down (Down syndrome) trisomi 21.

Menurut situs Healthline, sindrom Down adalah sebuah kondisi seseorang yang dilahirkan dengan salinan tambahan kromosom ke-21. Salinan tambahan kromosom inilah yang membuat orang dengan sindrom Down mengalami keterlambatan perkembangan fisik dan mental.

Psikolog klinis spesialis anak Feka Angge Pramita mengatakan bahwa keluarga dari anak dengan sindrom Down membutuhkan kesiapan untuk bisa menceritakan kondisi sang anak. Begitu pula dengan kondisi sang anak yang terlahir dengan gangguan perkembangan otak lainnya seperti autisme.

“Kalau itu di lingkungan terkecil, keluarga itu harus siap dengan kondisi, [mencari tahu] seperti apa, sih, autisme atau sindrom Down ini. Dengan kesiapan, kita juga bisa mengedukasi orang lain. Tapi butuh waktu yang sangat panjang untuk bisa menjelaskan kondisi anaknya [kepada lingkungan sosial],” ungkap Feka kepada Tirto pada Kamis (11/7/2019).

Dhila mengatakan bahwa kondisi Haris saat lahir sangat kecil dan tidak ada reaksi di tubuhnya. Namun, kala itu, sang Bapak tetap yakin jika kondisi adiknya normal atau seperti anak pada umumnya. Bahkan sang kakak pun sempat menyembunyikan kondisi sindrom Down adiknya.

Namun, keluarga pun akhirnya menerima kondisi Haris. Kehadiran Haris mengajarkan mereka kesabaran.

“Dia ini bikin hati kita jadi lebih lembut. Padahal dia cuma ketawa, cuma senyum, tapi bikin hati kita lebih tenang. Misalnya ada masalah di rumah, kalau misalnya dia lihat kita [anggota keluarga yang lain] lagi berantem, dia nangis. Jadi kita merasa, kita jangan kayak gini [jangan bertengkar]. Dia mengajarkan kita sabar,” kata Dhila kepada Tirto pada Kamis (11/7/2019).

Dalam studi berjudul “Having a Son or Daughter with Down Syndrome: Perspectives from Mothers and Fathers” (2011, PDF), Brian G. Skotko dan dua kawannya bertanya kepada 4.924 keluarga yang ada di enam organisasi nirlaba sindrom Down. Hasilnya, dari 2.044 responden yang menjawab, 99 persen dari mereka melaporkan bahwa mereka mencintai anak mereka yang memiliki sindrom Down.

Tak hanya itu, 97 persen responden dalam studi yang dilakukan Skotko, dkk. itu juga mengungkapkan bahwa mereka bangga dengan anak-anaknya, dan 79 persen di antaranya merasa memiliki pandangan hidup yang lebih positif.

Dari jumlah responden itu pula, Skotko, dkk. mengetahui bahwa 95 persen anak mereka yang memiliki sindrom Down berhubungan baik dengan saudara kandungnya yang lain.

Melatih orang dengan down syndrome

Kita tahu bahwa melatih orang dengan sindrom Down tidaklah mudah. Namun, Feka mengatakan bahwa keluarga tetap harus mempersiapkan anak yang menderita sindrom Down untuk bersosialisasi dengan orang lain.

“Sindrom Down dan autisme itu bukan penyakit. Memang biasanya sindrom Down disertai dengan penyakit, tapi dia tidak bisa disembuhkan secara total. Kita bisa bantu mencoba mengoptimalkan. Kalau autisme, kelihatannya tidak mempengaruhi kesehatan, tapi ada anak autis yang sensitif di area tertentu, misalnya alergi,” tutur Feka.

Kondisi kesehatan Haris memang lebih rentan ketimbang anak-anak lain seusianya. Paru-parunya lebih lemah sehingga Haris mudah lelah. Begitu pula dengan pencernaannya yang lemah dan kulitnya yang lebih sensitif.

Selain itu, Dhila dan keluarganya juga kerap kesulitan komunikasi kepada Haris.

"Misalnya ngajarin ngelus orang, itu susah. Dulu lama banget ngajarin dia buat ngelus orang, harus pelan-pelan karena adik aku mikirnya, kalau ngelus orang harus dipukul karena motorik halusnya suka enggak terkontrol,” ujar Dhila.

“Nah, karena dia udah bisa kayak gitu [ngelus orang], dia waktu ngelihat orang sedih atau ngelihat orang enggak enak hatinya, dia lakukan apa yang bisa dia lakukan, misalnya ngelus,” tuturnya lagi.

Kini, Haris tak hanya bisa mengelus anggota keluarga yang sedang sedih, tapi juga kerap memberikan pelukan. Jika mendengar musik yang disukai, Haris pun akan berjoget sebagai tanda ia menikmati lagu tersebut.

Psikolog klinis spesialis anak Feka Angge Pramita menyatakan bahwa anak dengan sindrom Down harus ditangani sedini mungkin, khususnya dalam mengajarkan komunikasi kepada lingkungan sosial mereka.

“Karena enggak jarang sih, kalau anak-anak autisme atau downsyndrome ini penanganannya enggak secara dini, pada saat umur 6-7 tahun, mereka enggak bisa ngomong,” tutur Feka.

Meski begitu, Feka menceritakan bahwa ada beberapa orang dengan sindrom Down yang tak bisa berbicara hingga usia delapan tahun, atau hanya bisa melafalkan sedikit kata, tapi kerap menunnjuk hal yang ia inginkan. “Itu karena ada beberapa anak autisme yang non-verbal, yang dalam kemampuan bicara itu enggak banyak, tapi mereka komunikatif,” ujarnya.

Dhila bercerita bahwa saat berusia lima tahun, Haris sempat menunjukkan banyak perkembangan. Ia bisa tepuk tangan, tertawa, dan mengeja beberapa kata. Namun, sejak adiknya kejang dan tak sadarkan diri lebih dari seminggu, semua kemampuan itu hilang.

Kini, Haris kerap menggunakan bahasa tubuh untuk berkomunikasi dengan anggota keluarga yang lainnya. Kata Dhila, masing-masing anggota keluarga memiliki bahasa komunikasi yang berbeda dengan Haris yang tidak boleh ditiru oleh anggota lainnya.

Mengatasi Anak Sindrom Down saat Marah

Di rumah, Haris pun suka meniru perilaku dari anggota keluarga lainnya. Ia, misalnya, gemar main masak-masakan karena kerap melihat sang ibu di dapur.

“Akhirnya dia ingin bawa rice cooker, panci ke kamar, sampai kita itu enggak bisa bawa semuanya. Akhirnya kita bilang, enggak bisa semuanya diturutin. Nanti dia ngambek, enggak mau di kamar, terus di luar kamar.

Kesulitan komunikasi mungkin kerap membikin orang dengan sindrom Down marah. Pendampingnya pun bisa kesal. Namun, menurut Feka, keluarga harus memahami kemarahan anak, sebab mereka tidak bisa mengendalikan emosi. Hal ini juga berlaku jika kita menemui orang dengan masalah mental di lingkungan sosial kita.

Selain itu, anak kecil harus diajarkan untuk menerima teman mereka yang memiliki sindrom Down.

“Kita bisa kasih tahu, 'eh, teman kamu itu butuh banyak perhatian, karena dia enggak mengerti'. […] Misalnya [dengan berkata], ‘teman kamu autisme, jadi dia enggak bisa bilang a, b, c. Jadi kita butuh teman-teman untuk bisa menunjang dia melakukan a, b, c, itu,’” kata Feka.

Infografik Down Syndrome

Infografik Down Syndrome. tirto.id/Quita

Tak patut memandang orang dengan sindrom Down sebelah mata. Tak sedikit dari mereka yang mampu mandiri, bahkan jadi tokoh publik. Pablo Pineda, misalnya.

Seperti diberitakan Latin Times, meski memiliki sindrom Down, Pineda mampu lulus dari perguruan tinggi. Ia adalah aktor dan penulis asal Spanyol yang sering menjadi pembicara di konferensi, serta diundang berpartisipasi dalam TED Talks, salah satu tayangan yang menghadirkan para pemikir dan tokoh populer dunia.

Dhila mengatakan bahwa sebenarnya orang dengan sindrom Down juga ingin dihargai oleh orang lain. Itu terlihat dari tingkah adiknya yang gemar menunjukkan kemampuannya kepada orang lain.

“Mencintai dia, tuh, kayak keajaiban. Kamu seperti menggali ladang emas. Kalau sayang sama dia, ikhlasnya itu yang jadi ladang emas, bukan tentang kondisinya. Tempatkan posisi kamu sama orang lain deh yang lagi kesulitan,” ujar Dhila dalam cuitannya di Twitter.

Baca juga artikel terkait DOWN SYNDROME atau tulisan lainnya dari Widia Primastika

tirto.id - Humaniora
Penulis: Widia Primastika
Editor: Windu Jusuf