Menuju konten utama

Beijing Luncurkan Yuan Digital: Bagaimana Cara Kerjanya?

Cina merilis uang yuan digital. Apa bedanya dengan dompet digital?

Beijing Luncurkan Yuan Digital: Bagaimana Cara Kerjanya?
Ilustrasi uang Cina. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Di tengah usaha banyak negara di dunia menghalau Bitcoin dan teknologi di belakangnya yang bernama Blockchain, Cina berpikir berbeda. Presiden Cina Xi Jinping, dalam konferensi tentang perkembangan teknologi yang diadakan Partai Komunis Cina pada November 2019 silam, berujar bahwa sudah semestinya Cina "mempercepat pengembangan teknologi ini".

Xi, yang juga bertindak sebagai Sekretaris Jenderal Partai Komunis Cina, menyebut bahwa blockchain "dapat digunakan untuk mengeksplorasi inovasi ekonomi digital".

Apa yang diucapkan Xi tersebut merupakan bagian dari usaha Pemerintah Cina menciptakan uang digital atau yuan versi digit binari atau dalam bahasa formal, Digital Currency Electronic Payment (DCEP). Usaha tersebut dimulai pada 2014 tatkala Bank Rakyat Cina membentuk tim peneliti uang kripto, dan dilanjutkan oleh keputusan Gubernur Bank Sentral Cina, Zhou Xiochuan, yang merilis koin digital pada 2016. Kzoin digital ala Bank Sentral Cina ini dicabut peredarannya gara-gara nilai tukar Bitcoin yang menggelembung.

Usaha Cina menciptakan yuan versi digital dipicu oleh kesuksesan Alibaba dan Tencent melalui Alipay dan WeChat Pay, dompet digital yang memproses transaksi senilai $49 triliun per tahun--alias empat dari lima transaksi keuangan yang dilakukan penduduk Cina. Tak cuma itu, semenjak Alipay dan WeChat Pay menjadi bagian penting dalam kehidupan keuangan masyarakat Cina, telah tercipta 500 proyek blockchain di negeri Tirai Bambu.

Dalam laporannya untuk Quartz, Jane Li menyebut pemerintah Cina tak hendak bersaing dengan Alibaba ataupun Tencent meskipun keinginan menciptakan uang digital dipicu oleh kesuksesan Alipay dan WeChat Pay. Bagi Cina, DCEP merupakan "uang" yang sama kedudukannya dengan yuan versi kertas, sementara Alipay dan WeChat Pay merupakan dompet digital, yang dapat dipakai untuk transaksi setelah di-top-up oleh pengguna--bayangkan saja rupiah versi digital vs GoPay atau Ovo. Tak hanya itu, jika Alipay dan WeChat Pay hanya dapat digunakan hanya ketika online, uang kertas DCEP dapat digunakan pula tatkala pemiliknya tengah offline.

Mu Changchun, kepala penelitian uang digital Bank Rakyat Cina, menyatakan fungsi pembayaran offline ala DCEP sebagai "elemen kunci dari apa yang disebut sebagai uang."

Meskipun berbeda dengan Alipay dan WeChat Pay, cara kerja yuan versi digital sama belaka. Untuk menggunakan yuan digital, masyarakat Cina membutuhkan ponsel dan aplikasi khusus yang disiapkan oleh Bank Rakyat Cina. Aplikasi lantas dihubungkan dengan rekening bank agar dapat digunakan untuk transaksi. Jika Anda pengguna BCAmobile dan pernah melakukan transaksi via QR Code, yuan digital tak sukar dibayangkan.

Hampir setahun selepas Presiden Xi menyebut blockchain sebagai teknologi penting, Cina melangkah maju. Pada Oktober silam, tepatnya di kotan Shenzen, Cina melakukan uji coba uang digital dengan membagi-bagikan yuan versi digital senilai $10 juta pada masyarakat. Desember ini, negeri panda kembali membagi-bagikan yuan digital senilai $3 juta pada masyarakat di kota Suzhou. Uji coba juga direncanakan dilanjutkan di kota Xiongan dan Chengdu, lalu dalam versi besar-besaran ketika Tirai Bambu mengadakan Olimpiade Musim Dingin pada 2022 kelak.

Sebagaimana yuan versi kertas, yuan digital yang dibagi-bagikan tersebut dapat digunakan untuk transaksi apapun, entah online atau offline. Di ranah online sendiri, JD.com menjadi perusahaan besar pertama yang menerima pembayaran melalui DCEP.

Raymond Zhong, dalam laporannya untuk The New York Times, menyebut bahwa dengan yuan digital, "Pemerintah Cina dapat jauh, jauh, jauh lebih tahu tentang rakyatnya dan transaksi yang dilakukan". Kuasa negara atas informasi memang dapat digunakan pemerintah untuk mencegah kejahatan, misalnya mencegah transaksi ilegal atau praktek pencucian uang. Namun, dengan uang digital ini pemerintah dapat juga menciptakan "credit score" pada tiap penduduk Cina. Mereka dapat memetakan siapa, apa, dan bagaimana profil tiap penduduk Cina secara presisi.

Flex Yang, pendiri Babel Finance, penyedia jasa uang kripto asal Hong Kong, menyatakan bahwa "uang wajib netral". Sebagaimana disampaikannya pada Zhong, nilai uang tidak dapat diukur dari bagaimana pemiliknya menggunakan uang, apakah ia membelanjakan uang untuk membeli roti atau rokok. Tegas, Flex menyebut, "tanpa anonimitas, yuan versi digital tidak dapat disebut sebagai mata uang". Yuan digital, dengan kata lain, bisa menjadi perangkat Beijing untuk mendulang data warganya.

Tak cuma itu, pemerintah Cina memang tidak menyebut secara jelas teknologi apa yang digunakan di balik yuan digital. Namun, dengan merujuk ucapan Presiden Xi tentang blockchain dan kerja tim riset dari Bank Rakyat Cina, yuan versi digital dapat disebut sebagai mata uang kripto alias cryptocurrency, seperti Bitcoin. Masalahnya, jika menelaah sedikit lebih dalam tentang yuan digital, mata uang ini benar-benar merusak pondasi utama Bitcoin, yakni desentralisasi.

Bitcoin, Alat Perlawanan terhadap Negara

Entah di lokasi mana di dunia, seseorang yang mengaku bernama Satoshi Nakamoto (diduga nama samaran dan tidak diketahui apakah satu sosok atau kelompok) berinisiatif menciptakan mata uang bernama Bitcoin.

Bitcoin, merujuk white paper berjudul “Bitcoin: A Peer-to-Peer Electronic Cash System” (2008) yang ditulis Satoshi Nakamoto, merupakan uang elektronik yang digunakan untuk bertransaksi online secara langsung dari satu pihak ke pihak lain tanpa melalui institusi keuangan, alias peer-to-peer, alias segala transaksi yang dilakukan dengan Bitcoin otomatis terdesentralisasi. Inisiatornya adalah Satoshi Nakamoto--yang diduga nama samaran dan tidak diketahui apakah merujuk pada satu individu atau kelompok.

Karena menihilkan satu institusi suci yang merekam segala transaksi, Bitcoin memanfaatkan teknologi baru bernama Blockchain. Melalui Blockchain, segala transaksi Bitcoin disebarkan, didesentralisasi, ke seluruh pengguna Bitcoin untuk dicatat. Tak hanya itu, untuk menyatakan bahwa suatu transaksi Bitcoin benar dan nyata terjadi, Blockchain pun mendelegasikan verifikasi pada setiap transaksi yang dilakukan pada para pengguna Bitcoin. Dan karena transaksi Bitcoin dilindungi enkripsi, siapapun pengguna Bitcoin yang sanggup memverifikasi enkripsi transaksi tersebut akan memperoleh bagian. Istilah "menambang Bitcoin" lahir berkat kerja-kerja ini.

Bitcoin sendiri lahir pada November 2008, tahun ketika dunia diguncang krisis ekonomi global. Krisis itu sendiri adalah alasan mengapa Bitcoin muncul.

“Outlook Ekonomi Indonesia 2009-2014: Krisis Finansial Global dan Dampaknya Terhadap Perekonomian Indonesia” (2009) sebuah publikasi yang dikeluarkan Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter Bank Indonesia, menyebut bahwa krisis ekonomi global diawali oleh sebuah kejadian pada 9 Agustus 2007. Kala itu, BNP Paribas, bank yang berkantor pusat di Perancis, menyatakan ketidaksanggupan untuk mencairkan sekuritas subprime mortgage asal Amerika Serikat. Subprime mortgage merujuk pada kredit yang diberikan pada orang-orang yang memiliki rekam jejak kredit yang buruk (dan dalam hal ini terkait kredit rumah). Kredit ini dianggap sangat berisiko. Dan benar saja, banyak pihak yang diberikan kredit rumah mengalami gagal bayar. Sialnya, karena pada 2002 subprime mortgage di AS telah menguras uang senilai USD 200 miliar dan meningkat menjadi USD 500 miliar pada 2005, ekonomi AS pun runtuh. Sebagai negara yang terikat dengan negara-negara lain di dunia, dunia global pun ikut-ikutan runtuh.

Krisis 2008 menyebabkan penurunan pertumbuhan ekonomi, dari 2,7 persen di 2007 menjadi 1 persen. Padahal, masih merujuk publikasi Bank Indonesia, IMF memproyeksikan pertumbuhan ada di angka 1,3 persen. Krisis menyebabkan perlambatan pertumbuhan perdagangan. Lima tahun sebelum 2007, angka pertumbuhan perdagangan dunia rata-rata mencapai 8,1 persen. Setelah 2007, angkanya langsung anjlok menjadi 4,1 persen. Krisis ekonomi juga menyebabkan turunnya harga berbagai komoditas, tak terkecuali minyak. Pada Juli 2008 harga minyak per barel dipatok di angka $147 per barel, lalu turun menjadi $47 per barel pada Desember 2008. Kesukaran ekonomi ini membuat dunia ekonomi lesu. The Federal Reserve, bank sentral AS, bahkan harus menurunkan suku bunga kredit ke level 0,25 persen pada akhir 2008 agar publik mau kembali mengambil kredit.

Dalam analisisnya untuk Coindesk, Jason Leibowitz, mantan ekonom Wall Street yang kini bekerja untuk Credit Suisse, menyatakan lahirnya Bitcoin sebagai respons atas kekhawatiran bahwa "bank gagal terlalu beresiko bagi masyarakat". Bank yang gagal, akan menjadi sebab kehancuran ekonomi secara sistemik. Bitcoin, menurutnya, lahir sebagai jawaban atas pertanyaan: "Di mana seseorang dapat menyimpan harta jika sistem keuangan ala negara gagal?"

Perlu pula dicatat bahwa dalam sistem ekonomi saat ini, "kepercayaan" adalah pondasi utama selembar uang Rp10.000 bernilai Rp10.000. Nilai uang hanya berpatokan pada kepercayaan masyarakat pada pemerintah. Ada sosok bernama negara yang menjamin rakyatnya bahwa nilai uang memang benar-benar sesuai dengan angka yang tercetak. Rupiah disokong pemerintah Indonesia. Dolar disokong Pemerintah AS. Yuan disokong Pemerintah Cina.

Bagi Nakamoto, hal tersebut berbahaya. Dalam white paper Bitcoin itu, ia menulis bahwa “yang dibutuhkan adalah sistem pembayaran berdasarkan bukti, bukan kepercayaan”. Dalam Bitcoin, bukti itu adalah verifikasi kriptografi, bukan sandaran kepercayaan pada institusi negara.

Infografik lahirnya bitcoin

Infografik lahirnya bitcoin

Maria Bustilos, dalam laporannya untuk The New Yorker, menyebut bahwa Nakamoto memang terang-terangnya termotivasi menciptakan Bitcoin akibat jatuhnya ekonomi dunia. Ketika Bitcoin pertama kali meluncur, lima puluh Bitcoin pertama (atau disebut dengan istilah blok genesis) memuat teks dari artikel The Times edisi 3 Januari 2009 yang memberitakan kemungkinan bailout pada bank-bank yang terdampak krisis.

Bythe Masters, Chief Executive Officer firma investasi aset digital Digital Asset Holdings, mengatakan bahwa Bitcoin memang merupakan jawaban untuk krisis ekonomi yang menimpa dunia saat itu.

"Bitcoin merupakan respons aktivis (atas kondisi ekonomi). Dunia akan lebih efisien jika masyarakat dapat langsung melakukan transaksi secara individual (tanpa dijembatani institusi bernama bank atau negara). Saat ini, ketika Anda mentransfer uang, Anda membutuhkan institusi terpercaya yang tersentralisasi dan juga akuntabel," kata Masters dalam wawancara dengan The Wall Street Journal. Masalahnya, bagaimana jika bank atau negara asal-asalan dalam bertindak? Bagaimana jika mereka memberikan kredit pada pihak yang tidak jelas?

Bitcoin lahir untuk menghapus bank atau negara dalam bertransaksi. Bitcoin mendelegasikan pencatatan dan verifikasi pada setiap orang yang mau terlibat, pada komunitas. Bitcoin, sebagai perangkat lunak, didistribusikan dengan konsep open source yang dapat diunduh di Github dengan kode yang dapat ditengok siapapun. Semua orang yang paham pengkodean bisa ikut memperbaiki, meningkatkan, hingga menjaga Bitcoin.

Yuan digital melanggar pondasi ini. Kembali merujuk laporan Raymond Zhong, yuan digital "dikendalikan, diatur, ditentukan, dicatat hanya dan hanya oleh pemerintah".

Baca juga artikel terkait UANG YUAN CINA atau tulisan lainnya dari Ahmad Zaenudin

tirto.id - Teknologi
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Windu Jusuf