Menuju konten utama

Beda Tradisi Malam Satu Suro di Keraton Yogyakarta dan Solo

Apa beda tradisi malam satu Suro di Yogyakarta dan Solo?

Beda Tradisi Malam Satu Suro di Keraton Yogyakarta dan Solo
Sejumlah warga menyiapkan sesaji untuk Tradisi Malam 1 Suro di lereng Gunung Merapi, Selo, Boyolali, Jawa Tengah, Rabu (19/8/2020). ANTARA FOTO/Aloysius Jarot Nugroho/foc.

tirto.id - Satu Suro adalah hari pertama dalam kalender Jawa di bulan Sura atau Suro. Penanggalan Jawa dihitung berdasarkan penggabungan kalender lunar (Islam), kalender matahari (masehi) dan Hindu.

Berdasarkan atas pertimbangan pragmatis, politik dan sosial, penanggalan Jawa memiliki dua sistem perhitungan yaitu mingguan (7 harian) dan pasaran (5 harian).

Latar belakang dijadikannya 1 Muharam sebagai awal penanggalan Islam oleh Khalifah Umar bin Khathab. Awal dari afiliasi ini, konon untuk memperkenalkan kalender Islam di kalangan masyarakat Jawa.

Maka tahun 931 H atau 1443 tahun Jawa baru, yaitu pada jaman pemerintahan kerajaan Demak, Sunan Giri II telah membuat penyesuaian antara sistem kalender Hirjiyah dengan sistem kalender Jawa pada waktu itu.

Sultan Agung menginginkan persatuan rakyatnya untuk menggempur Belanda di Batavia, termasuk ingin menyatukan Pulau Jawa. Oleh karena itu, dia ingin rakyatnya tidak terbelah, apalagi disebabkan keyakinan agama.

Sultan Agung Hanyokrokusumo ingin menyatukan kelompok santri dan abangan. Pada setiap hari Jumat legi, dilakukan laporan pemerintahan sambil pengajian yang dilakukan oleh para penghulu kabupaten.

Akibatnya, 1 Muharram (1 Suro Jawa) yang dimulai pada hari Jumat legi ikut-ikut dikeramatkan pula, bahkan dianggap sial kalau ada orang yang memanfaatkan hari tersebut diluar kepentingan mengaji, ziarah, dan haul.

Penanggalan Jawa memiliki siklus windu (sewindu:8 tahun), konsekuensi dari siklus ini adalah pada urutan tahun jawa ke 8 (jimawal) jatuhnya tanggal 1 Suro berselisih satu hari lebih lambat dengan 1 Muharram.

Beda Tradisi Satu Suro di Yogyakarta dan Solo

Malam satu Suro yang sangat lekat dengan budaya Jawa. Untuk memperingati malam ini, biasanya terdapat ritual tradisi iring-iringan rombongan masyarakat atau kirab.

Di Solo, misalnya perayaan malam satu Suro terdapat hewan khas yang disebut kebo (kerbau) bule. Kebo bule menjadi salah satu daya tarik bagi warga dan konon dianggap keramat oleh masyarakat setempat.

Kebo Bule Kyai Slamet bukan sembarang kerbau. Hewan ini termasuk pusaka penting milik keraton. Dalam buku Babad Solo karya Raden Mas (RM) Said, leluhur kebo bule adalah hewan klangenan atau kesayangan Paku Buwono II, sejak istananya masih di Kartasura, sekitar 10 kilometer arah barat keraton yang sekarang.

Menurut seorang pujangga kenamaan Keraton Kasunanan Surakarta, Yosodipuro, leluhur kerbau dengan warna kulit yang khas, yaitu bule (putih agak kemerah-merahan) itu, merupakan hadiah dari Kyai Hasan Beshari Tegalsari Ponorogo kepada Paku Buwono II.

Hadiah itu adalah cucuk lampah (pengawal) dari sebuah pusaka keraton yang bernama Kyai Slamet saat ia pulang dari mengungsi di Pondok Tegalsari ketika terjadi pemberontakan pecinan yang membakar Istana Kartasura.

Berbeda dengan perayaan di Solo, di Yogyakarta perayaan malam satu Suro biasanya selalu identik dengan membawa keris dan benda pusaka sebagai bagian dari iring-iringan kirab.

Para abdi dalem keraton, beberapa hasil kekayaan alam berupa gunungan tumpeng serta benda pusaka menjadi sajian khas dalam iring-iringan kirab yang biasa dilakukan dalam tradisi Malam Satu Suro.

Perayaan tradisi peringatan malam satu Suro menitikberatkan pada ketentraman batin dan keselamatan. Karenanya, pada malam satu Suro biasanya selalu diselingi dengan ritual pembacaan doa dari semua umat yang hadir merayakannya. Hal ini bertujuan untuk mendapatkan berkah dan menangkal datangnya marabahaya.

Selain itu, masyarakat Jawa pada umumnya selalu berusaha untuk mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa dan melakukan hal kebaikan sepanjang bulan satu Suro.

Tradisi saat malam satu suro bermacam-macam tergantung dari daerah mana memandang hal ini, sebagai contoh Tapa Bisu, atau mengunci mulut yaitu tidak mengeluarkan kata-kata selama ritual ini.

Baca juga artikel terkait 1 SURO atau tulisan lainnya dari Dipna Videlia Putsanra

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Dipna Videlia Putsanra
Editor: Addi M Idhom