Menuju konten utama

Beda Polisi Tangani Kasus Narkoba Nia & Ardi dengan Pesohor Lain

Erasmus sebut semestinya polisi memperlakukan tersangka narkoba lain sama seperti Nia Ramadhani dan Ardi: tidak dipajang saat konferensi pers.

Beda Polisi Tangani Kasus Narkoba Nia & Ardi dengan Pesohor Lain
Tersangka kasus penyalahgunaan narkoba Nia Ramadhani (tengah) dan Ardi Bakrie (kiri) menyampaikan permohonan maaf saat konferensi pers di Polres Jakarta Pusat, Sabtu (10/7/2021). ANTARA FOTO/Kilauan Dinanti/RIV/hp.

tirto.id - Sabu 0,78 gram dalam sebuah plastik klip dan bong jadi barang bukti perkara penyalahgunaan narkoba oleh pasangan suami-istri Nia Ramadhani dan Ardi Bakrie serta ZN, sopir mereka. Polisi pun menggelar konferensi pers kasus tersebut di Mapolres Metro Jakarta Pusat, Kamis (8/7/2021). Namun, ketiga tersangka tak dihadirkan.

“Lagi cek [tes] rambut,” ucap Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Yusri Yunus, ketika ditanya alasan polisi tak mengekspose para tersangka. Ketiganya dijerat Pasal 127 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

Ketidakhadiran Nia Ramadhani dan Ardi Bakrie saat konferensi pers penetapan tersangka ini mengundang pertanyaan publik. Salah satunya pengacara yang juga pesohor Ruhut Sitompul. Ia mengkritik lewat akun Twitter miliknya.

Ia menulis “NR-AB pasangan Istri-Suami dlm Kasus Narkoba ditangkap Polisi Jajaran Polda Metro Jaya, ‘Pak Polisi semua sama di depan hukum.’ Kenapa dlm Konfrensi Presnya tdk dihadapkan Kepada Wartawan agar bisa diliput ditonton Masyarakat seperti Kasus2 Publik Figur lainnya MERDEKA.”

Warganet pun turut berkomentar, mereka cenderung mempertanyakan keberadaan anak dan menantu politikus senior Partai Golkar Aburizal Bakrie itu.

Pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies Bambang Rukminto berujar, yang dilakukan polisi membuktikan memang penegakan hukum di Indonesia masih tidak bisa lepas dari pengaruh di luar hukum.

“Di situlah salah satu tantangan profesionalisme Polri. Memang, untuk menghadirkan atau tidak itu diskresi kepolisian, tapi yang pasti akal sehat publik tidak bisa menerima alasan seperti itu. Prinsip persamaan di hadapan hukumnya di mana?” kata dia ketika dihubungi reporter Tirto, Jumat (9/7/2021).

Menurut Bambang, kasus-kasus yang melibatkan pemegang kekuasaan, pemilik modal seringkali tidak berlanjut atau tidak dikembangkan. Maka, semua kembali pada iktikad kepolisian. Apakah polisi berkomitmen dan konsisten sesuai jargon ‘Presisi’ yang diusung Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo?

Masalah lainnya bukanlah ketiga tersangka ini ditahan atau direhabilitasi, kata Bambang. “Ini bisa dilihat, apakah kasus ini cukup berhenti pada pengenakan pasal pemakai yang ujungnya adalah rehabilitasi? Atau dikembangkan lebih jauh, siapa pemasok dan jaringan di balik kasus ini,” kata dia.

Memajang Korban Narkotika

Para artis yang tertangkap mengonsumsi narkoba biasanya akan ‘dipajang’ oleh polisi saat menggelar konferensi pers. Namun hal serupa tidak dilakukan bila yang ketangkap adalah anggota polisi sendiri atau figur publik yang berpengaruh. Beberapa pihak menilai hal tersebut keliru.

Salah satu artis yang ditangkap dan “dipajang” adalah mantan artis cilik Iyut Bing Slamet. Ia dibekuk karena kedapatan mengonsumsi sabu-sabu di kediamannya di kawasan Kramat Sentiong, Jakarta Pusat, pada 3 Desember 2020. Dua hari kemudian dia ‘diperkenalkan’ kepada wartawan di Polres Jakarta Selatan.

Ketika itu, Iyut menggunakan pakaian dan penutup rambut hitam. Dia tidak bicara apa-apa. Kemudian Lucinta Luna. Ia dan tiga rekannya ditangkap oleh jajaran Polres Jakarta Barat di Thamrin City, Jakarta Pusat, pada 11 Februari 2020. Polisi menyita obat penenang berjenis tramadol dan riklona --yang masuk dalam kategori psikotropika-- serta tiga pil ekstasi di keranjang sampah ruangan tersebut.

Lucinta dibawa serta saat polisi menggelar konferensi pers pada 13 Februari 2020. Di hadapan para polisi dan jurnalis, Lucinta berujar, “Saya meminta maaf kepada semua masyarakat. Saya melakukan kesalahan yang sangat fatal yang bisa merugikan diri saya sendiri.” Total, sepanjang tahun lalu, setidaknya ada 18 publik figur yang terjerat perkara narkotika.

Pada 16 Juni 2021, musisi Erdian Aji Prihartanto alias Anji telah ditetapkan menjadi tersangka atas kasus penyalahgunaan ganja. Polisi menghadirkan Anji dalam konferensi pers di Mapolres Metro Jakarta Barat.

Berbeda dengan kasus Nia Ramadhani dan Ardi Bakrie. Pasutri ini tidak ‘dipajang’ di depan wartawan saat polisi mengumumkan status tersangka. Di kasus lain, polisi juga tidak ‘memajang’ Kapolsek Astanaanyar Kompol Yuni Purwanti Kusuma Dewi yang terbukti mengonsumsi sabu pada Februari 2021.

Sementara Nia dan Ardi baru muncul ke publik pada Sabtu (10/7), dua hari setelah resmi tersangka. Nia secara terbuka minta maaf dan mengakui perbuatannya mengonsumsi narkotika jenis sabu.

“Saya berharap melalui pernyataan saya ini, saya bisa dibukakan pintu maaf yang sebesar-besarnya dari semua pihak, terutama sekali lagi yang saya kasihi, orang tua saya dan seluruh keluarga besar," kata Nia di Polres Metro Jakarta Pusat, Kemayoran, Sabtu (10/7/2021).

Bolehkah Memajang Tersangka?

Kriminolog dari Universitas Indonesia Leopold Sudaryono mengatakan, dalam KUHAP tidak ada kewajiban bagi penyidik untuk menghadirkan tersangka dalam konferensi pers. Bahkan untuk menghormati prinsip presumption of innocence dan mencegah trial by public, identitas tersangka dilindungi.

Namun, kata Leopold, kelemahan aturan acara pidana dan praktik yang selama ini dilaksanakan menyebabkan penyidik memparadekan tersangka sebagai bentuk ‘laporan publik’ mengenai capaian kerja.

Hal ini mungkin memunculkan pertanyaan di masyarakat “mengapa ada perlakuan yang berbeda pada pasangan kasus ini?” kata dia saat dihubungi reporter Tirto, Jumat (9/7/2021). Meski begitu, berdasarkan aturan, kata Leopold, ketidakmunculan tersangka tidak dapat dikatakan melanggar manajemen penyidikan yang diatur dalam KUHAP ataupun Peraturan Kapolri.

“Prinsip ini bertujuan melindungi warga negara agar mendapatkan hak yang sama. Justru hak presumption of innocence Nia dan pasangannya tidak dilanggar. Yang dirugikan adalah calon-calon tersangka di kemudian hari yang ditampilkan kepada publik. Harusnya mereka tidak ditampilkan, sama seperti Nia dan pasangannya,” kata Leopold.

Ia melanjutkan, “mengapa terhadap tersangka-tersangka lainnya dihadapkan kepada publik? Padahal secara hukum mereka belum dinyatakan bersalah?” Perihal rehabilitasi –mekanisme yang kerap ditawarkan polisi kepada publik figur--, menurut Leopold tidak masalah. Sebab jika pasangan itu dijerat Pasal 127 UU Narkotika, dengan ancaman hukuman 1 tahun, maka tidak ada kewajiban bagi penyidik untuk menahan dan bisa memproses untuk rehabilitasi.

Erasmus Napitupulu, Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), berujar semestinya polisi memperlakukan para tersangka narkotika lain sama seperti Nia dan Ardi: tidak dipajang saat konferensi pers. Artinya selama ini polisi salah karena ‘memajang’ tersangka, apalagi jika tersangka adalah korban penggunaan narkotika.

“Tujuan ditampilkan, apa? Bikin malu? Itu melanggar prinsip hak asasi manusia,” kata Erasmus kepada reporter Tirto, Jumat (9/7/2021).

Erasmus merujuk kepada keinginan Presiden Joko Widodo. Pada 16 Agustus 2018, Jokowi menyampaikan pidato kenegaraan, salah satunya gamblang menyebutkan bahwa pemerintahannya akan fokus pada ketegasan ‘dalam pemberantasan narkoba dengan dasar untuk menyelamatkan nyawa belasan ribu putra-putri bangsa’.

Berdasar analisis ICJR, presiden lupa menyebutkan komitmen menyelamatkan nyawa putra-putri bangsa, termasuk mereka yang merupakan korban narkotika yaitu para pengguna dan pecandu. Bukannya dilindungi mereka malah dipenjara. Selain berisiko terkait hak atas kesehatan, pecandu dan pengguna narkotika juga merupakan populasi kunci yang rentan terkena HIV/AIDS sehingga membutuhkan perhatian lebih dan tidak seharusnya dipenjara.

“Jadi seharusnya semua pengguna tak perlu diproses hukum, termasuk Nia dan Ardi. Diskriminasi muncul karena dari awal perlakuan aparat penegak hukum ke pengguna narkotika itu salah. Ini (termasuk asas) praduga tak bersalah juga, apalagi untuk pengguna narkotika yang harusnya dilindungi,” kata Erasmus.

Kalau mau lihat diskriminasi dalam kasus pasutri ini, ‘kacamata publik’ harus dibalik. Erasmus menegaskan, kepolisian dari awal memang sudah salah tangkap dan mempertontonkan pengguna narkotika.

“Secara prinsip, praduga tak bersalah itu konteksnya sebisa mungkin orang tidak diberi beban bersalah sebelum putusan, termasuk dipermalukan dengan mengumumkan nama dan lainnya. Maka harus selalu disebut ‘tersangka’, dan orang tak bisa asal ‘dipajang’,” ucap dia.

Perbedaan perlakuan ini dipertanyakan publik, lumrah jika masyarakat berasumsi ‘orang kaya dan publik figur dapat pembedaan.’ Ini yang menyebabkan masyarakat tidak puas dengan penegakan hukum di negara ini, kata Ketua Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Muhammad Isnur.

“Itu juga yang menyebabkan indeks demokrasi Indonesia semakin mundur,” kata Isnur kepada reporter Tirto.

Isnur menyatakan semestinya para pengguna narkotika direhabilitasi karena mereka merupakan korban. Ia juga mengingatkan agar polisi tak mempertontonkan tersangka. “Dalam hukum pidana ada konsep asas praduga tak bersalah. Harusnya mereka ‘dipajang’ di persidangan, bukan ‘dipajang’ di kantor polisi dan seolah-olah mereka telah bersalah.”

Baca juga artikel terkait KASUS NARKOBA atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Hukum
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Abdul Aziz