Menuju konten utama

Beda Perlakuan Polri ke Artis & Anggota yang Terjerat Narkoba

Jika artis yang ditangkap, polisi cepat merilisnya ke publik. Hal berbeda terjadi jika yang berperkara adalah anggota sendiri.

Beda Perlakuan Polri ke Artis & Anggota yang Terjerat Narkoba
Lucinta Luna saat memberikan keterangan persnya di Mapolres Metro Jakarta Barat, Kamis (13/2/2020) (ANTARA/Devi Nindy)

tirto.id - Para artis yang tertangkap mengonsumsi narkoba biasanya akan ‘dipajang’ oleh polisi saat menggelar konferensi pers. Namun hal serupa tidak dilakukan jika yang ketangkap adalah anggota sendiri. Beberapa pihak menilai hal tersebut keliru.

Salah satu artis yang ditangkap dan diperlakukan demikian adalah mantan artis cilik Iyut Bing Slamet. Ia dibekuk karena kedapatan mengonsumsi sabu-sabu di kediamannya di kawasan Kramat Sentiong, Jakarta Pusat, pada 3 Desember 2020. Dua hari kemudian dia ‘diperkenalkan’ kepada wartawan di Polres Jakarta Selatan.

Ketika itu Iyut menggunakan pakaian dan penutup rambut hitam. Dia tidak bicara apa-apa.

Kemudian Lucinta Luna. Dia dan tiga rekannya ditangkap oleh jajaran Polres Jakarta Barat di Thamrin City, Jakarta Pusat, pada 11 Februari 2020. Polisi menyita obat penenang berjenis tramadol dan riklona--yang masuk dalam kategori psikotropika--serta tiga pil ekstasi di keranjang sampah ruangan tersebut.

Dia dibawa serta saat polisi menggelar konferensi pers pada 13 Februari. Di hadapan para polisi dan jurnalis, ia berujar, “Saya meminta maaf kepada semua masyarakat. Saya melakukan kesalahan yang sangat fatal yang bisa merugikan diri saya sendiri.”

Total, sepanjang tahun lalu, setidaknya ada 18 publik figur yang terjerat perkara ini.

Patra Gumala, seorang penyiar sekaligus pelawak, bertanya di Twitter mengapa jika polisi yang terjerat narkoba “enggak ada prescon (konferensi pers) kayak kalo artis ketangkep ya?” Cuitan itu diunggah pada 24 Februari 2021.

Polisi yang ia maksud adalah Kapolsek Astanaanyar Kompol Yuni Purwanti Kusuma Dewi, ditangkap Propam di Bandung pada Selasa 16 Februari 2021. Dia bersama 11 polisi lain terbukti mengonsumsi sabu-sabu. Berdasar penyelidikan sementara, mereka memiliki tujuh gram sabu-sabu dan telah disita.

Hingga naskah ini diedit, Jumat (26/2/2021) siang, kepolisian memang belum pernah ‘merilis’ Yuni Cs dalam konferensi pers. Meski begitu Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Pol Rusdi Hartono mengklaim polisi selalu terbuka. “Polri terbuka terkait dengan perilaku anggotanya, baik perilaku positif maupun yang negatif,” ucap dia kepada reporter Tirto, Kamis (25/2/2021).

Selain karena berstatus penegak hukum, penangkapan Yuni cukup ramai karena selama ini ia dikenal gigih memerangi narkotika. Sebelum tersemat lambang melati satu di pundak, ia menjabat Kasat Resnarkoba Polres Bogor periode 2014-2016 dan cukup sering tampil di layar kaca.

Kadiv Humas Polri Irjen Pol Argo Yuwono menyebut peran Yuni belum jelas. Penyelidik masih bekerja untuk menyimpulkan apakah dia pemakai lama, sekadar ikut memakai, atau bahkan pengedar narkoba. Jika bukti sudah ditemukan, Polri akan menjatuhkan sanksi, katanya.

Penyelidikan Yuni diawali dengan pencopotan jabatan dari kapolsek dan ‘dikandangkan’ di pelayanan markas Polda Jawa Barat. Kapolda Jawa Barat Irjen Pol Ahmad Dofiri yang meneken surat pencopotan sehari setelah penangkapan. Menurut dia, pencopotan itu sendiri merupakan sanksi tegas “supaya jadi pembelajaran bagi yang lain.” Selain itu dia membuka peluang untuk memecat hingga mempidanakan Yuni seperti pesan Kapolri Listyo Sigit Prabowo.

Kriminolog dari Universitas Indonesia Leopold Sudaryono berujar semestinya tidak ada diskriminasi saat merilis kasus narkotika. “Justru dengan mengeskpose kasus melalui jalur pidana seperti yang lain, Polri mendapat kesempatan untuk menunjukkan komitmen institusi menjadi kepolisian masa depan yang Presisi (Prediktif, Responsibilitas, Transparansi, Berkeadilan),” kata dia kepada reporter Tirto, Rabu (24/2/2021). Transparansi penanganan kasus yang melibatkan personel malah akan menaikkan kepercayaan masyarakat dan itu modal penting.

Kekhawatiran mencoreng nama korps, menurut Leopold, adalah penyebab polisi ‘enggan’ merilis personelnya yang terbukti bermain-main dengan narkoba.

Peneliti dari Institute for Security and Strategic Studies Bambang Rukminto juga mengatakan hal serupa, bahwa Polri tak mau ‘mempertontonkan’ anggotanya lantaran itu dianggap aib bagi korps. Padahal kesalahan personal tak bisa dianggap sebagai kesalahan institusi, dan dengan demikian harus dibedakan perilaku anggota dengan perilaku lembaga.

Menurutnya memperlakukan para polisi yang melanggar hukum seperti para artis yang ditangkap dapat memberikan efek jera bagi personel lain, agar mereka sadar bahwa “sebagai penegak hukum memang diberikan kewenangan, tetapi saat melanggar hukum, mereka sama dengan yang lain.” “Agar hal itu tak terulang, dan mengembalikan semangat korsa, oknum-oknum kepolisian yang melanggar harus diberi hukuman seberat-beratnya,” katanya.

Ketua Presidium Indonesia Police Watch Neta S Pane mengatakan pengusutan ke-12 polisi yang diduga berbarengan pesta sabu-sabu harus sampai tuntas untuk membuktikan mereka ini sekadar pemakai atau malah kaki tangan bandar narkoba di Jawa Barat. "Tantangan memberantas narkoba bukan hal main-main lagi karena sudah menggerogoti jantung kepolisian. Seorang kapolsek tega-teganya memimpin 11 anak buahnya untuk [memakai] narkoba bareng," tutur Neta.

Baca juga artikel terkait KASUS NARKOBA atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Hukum
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Rio Apinino