Menuju konten utama

Beda Nasib SBY dan Jokowi Saat Menaikkan Harga BBM

SBY dan Jokowi sama-sama pernah menaikkan harga BBM. Namun karena SBY tidak seakomodatif Jokowi, dia mendapat perlawanan besar-besaran di DPR.

Beda Nasib SBY dan Jokowi Saat Menaikkan Harga BBM
Ilustrasi HL presiden Joko Widodo dan presiden Susilo Bambang Yudhoyono. tirto.id/Lugas

tirto.id - Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Joko Widodo sama-sama menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) selama menjabat sebagai presiden. Namun, beda dengan SBY, keputusan Jokowi tidak mendapat banyak tekanan terutama dari parlemen, juga, dalam tingkat tertentu, oposisi jalanan.

SBY tercatat menaikkan harga BBM empat kali selama menjabat (dan menurunkannya tiga kali). Kenaikan pertama terjadi pada Maret 2005 dan kenaikan berikutnya hanya berselang tujuh bulan kemudian. SBY kembali menaikkan harga BBM pada Mei 2008. Terakhir kali BBM naik di era tersebut terjadi pada 2013 atau setahun sebelum sang mantan jenderal lengser. Ketika itu Premium menjadi Rp6.500 per liter atau naik Rp2 ribu.

Kenaikan BBM pada 2013 sebenarnya telah direncanakan sejak setahun sebelumnya. Dan sejak saat itu pula perlawanan dari masyarakat dan partai di parlemen masif.

Pada 2012, jadi atau tidaknya BBM naik ditentukan lewat rapat paripurna DPR Jumat 30 Maret. Ketika itu pembahasannya menemui jalan buntu. PDIP, partai berkuasa saat ini, ketika itu melakukan walk out karena sidang telah melewati jam 12 malam. Ketika meninggalkan ruangan itulah Tempo melaporkan sejumlah kader menitikkan air mata, salah satunya Rieke Diah Pitaloka. Rieke juga adalah kader PDIP yang cukup getol melawan di jalanan bersama para demonstran.

Tempo juga melaporkan saat memberikan penjelasan ke awak media massa usai keluar ruang rapat, Puan Maharani, saat itu ketua fraksi PDIP dan sekarang ketua DPR, “nada suaranya tampak bergetar seperti menahan tangis.”

Di luar gedung dewan, masyarakat termasuk para mahasiswa juga berdemonstrasi. Itu adalah puncak dari demonstrasi-demonstrasi yang telah berlangsung beberapa waktu sebelumnya. Demonstrasi menentang harga BBM naik pada 2012 memang meledak di mana-mana.

Penyebab SBY menaikkan harga Premium--yang disubsidi--sebenarnya tidak berbeda dengan sekarang, yaitu karena naiknya harga minyak mentah dunia. Ketika itu diasumsikan minyak mentah ada di angka 90 dolar AS per barel, tapi nyatanya melonjak antara 106 sampai 121,40 dolar AS. Harga asli yang jauh lebih tinggi dari asumsi tentu saja mengakibatkan membengkaknya subsidi dalam APBN. Ruang fiskal jadi sangat terbatas.

Tapi PDIP merasa cara yang dipilih pemerintah terlalu gampangan. Menurut mereka ada alternatif untuk menyelamatkan perekonomian negara tanpa menyusahkan masyarakat (misalnya mencari sumber pendanaan lain). Pandangan ini mereka sampaikan lewat buku berjudul Argumentasi PDI Perjuangan Menolak Kenaikan Harga BBM yang diproduksi sekitar 40 ribu eksemplar dan dibagikan kepada para kader, media, dan masyarakat.

Sebenarnya saat itu SBY bukan saja tidak didukung PDIP dan demonstran, tapi juga memiliki basis penyokong yang rapuh. Efriza dalam “Sistem Presidensial Pasca Amandemen Undang-undang Dasar 1945; Studi Kasus Kepemimpinan Presiden SBY dan Jokowi” (Jurnal Renaissance, Vol. 1 No. 01, Mei 2016) mengatakan hal ini terlihat misalnya ketika anggota koalisi memberikan suara yang berlainan saat pemungutan suara kenaikan harga.

“Lemahnya kesolidan dari partai-partai pendukung pemerintah juga disebabkan pergerakan orientasi partai-partai politik yang tidak pernah memiliki ketetapan dan konsistensi pada tingkat keyakinan atau ideologi politik,” catat Efriza.

Efriza juga punya pandangan menarik terhadap partai yang menentang kebijakan pemerintah. Menurutnya mereka kerap menjadi oposisi dengan dalih demi masyarakat, namun sebenarnya sekadar sibuk memperjuangkan kepentingan kelompok belaka bahkan “mengalahkan kepentingan bangsa yang lebih besar.”

SBY Kena Gempur, Jokowi Makmur

Sikap PDIP tampak berubah ketika seorang kadernya, Joko Widodo, dipastikan menjadi presiden menggantikan SBY. PDIP, juga ketua umumnya, Megawati Sukarnoputri, saat itu malah mendesak SBY untuk menaikkan harga BBM beberapa bulan sebelum Jokowi dilantik. Dia menampik bahwa keputusan mendukung itu akibat dari menangnya Jokowi-JK, tapi murni karena “defisit APBN” semakin sulit diselamatkan.

Jokowi tak ketinggalan berharap serupa. “Alangkah baiknya [subsidi BBM dikurangi],” katanya. Menurut Jokowi, dengan menaikkan harga BBM, beban subsidi yang mencapai Rp 363 triliun dalam APBN bisa dialokasikan untuk berbagai hal lain.

SBY tidak mengabulkan itu dan kenaikan harga BBM baru terwujud di periode awal pemerintahan Jokowi. Premium yang tadinya Rp6.500 menjadi Rp8.500 dan subsidi dialihkan untuk membiayai infrastruktur.

Sepanjang masa pemerintahannya, Jokowi menaikkan harga BBM berkali-kali (juga menurunkannya mengikuti harga minyak dunia). Dalam beberapa kasus kebijakan ini berdampak pada migrasi BBM dan kelangkaan BBM non-subsidi. Pemerintah terakhir kali mengotak-atik harga minyak awal April lalu. Mereka memutuskan menaikkan harga BBM jenis Pertamax dari Rp9.000 menjadi Rp12.500.

Namun reaksi terhadap kebijakan Jokowi beda dengan SBY.

Perlawanan dari masyarakat bisa dibilang lebih kecil. Hal ini mungkin karena memang tidak ada yang mengetahui pasti tentang rencana kenaikan BBM hingga palu benar-benar diketuk pada 1 April lalu.

Lebih dari itu, tak ada lagi protes apalagi tangis dari PDIP meski alasannya serupa ketika mereka menentang kebijakan SBY, yaitu harga minyak mentah dunia yang tinggi. Lebih luas, kenaikan harga BBM juga tidak mendapat banyak kritik dari DPR.

Sebabnya dapat dilihat dengan menyelisik lebih dalam relasi presiden dan legislatif. Menurut Efriza dalam artikel Koalisi dan Pengelolaan Koalisi pada Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla (2018), Jokowi sejak awal telah mengupayakan “koalisi gemuk” atau “koalisi semua partai” untuk menghindari kebuntuan yang kerap terjadi di era SBY.

“Jika tidak dilakukan pengupayaan 'koalisi gemuk', maka partai yang tidak bergabung bisa membentuk poros oposisi di parlemen. Tentu saja ini akan menyebabkan sulitnya proposal presiden atau pemerintah untuk diterima di DPR,” catat Efriza.

Dalam rangka membentuk koalisi gemuk ini, sejak awal berkuasa Jokowi telah membagi-bagikan jabatan ke kader partai-partai pendukungnya. Di periode kedua, cara ini tetap dipertahankan, termasuk membagikan kursi ke partai oposisi terbesar, yakni Partai Gerindra. Kini hanya tersisa dua partai yang masih jelas berada di sisi oposisi, yaitu PKS dan Partai Demokrat.

Ben Bland, peneliti dari Lowy Institute, menyebut situasi ini sebagai “demokrasi gotong-royong.” Dalam buku Man of Contradictions: Joko Widodo and the Struggle to Remake Indonesia (2020), salah seorang pejabat mengatakan kepada Bland bahwa merangkul banyak sekali partai memang upaya menghabisi oposisi. “Ketika dia memilih Prabowo [sebagai Menteri Pertahanan] artinya sudah selesai,” kata pejabat tersebut. “Dia melakukan itu untuk melumpuhkan oposisi.”

Infografik BBM SBY Jokowi

Infografik BBM SBY Jokowi. tirto.id/Fuad

Taktik politik ini berhasil. Hampir hilangnya oposisi di parlemen mampu menghasilkan stabilitas. Buktinya, hampir semua kebijakan pemerintah yang ditentang oleh publik tidak mendapat perlawanan berarti di DPR. Misalnya saja UU Cipta Kerja.

Masalahnya, keberadaan oposisi merupakan unsur penting sebuah negara dikatakan demokratis. Di era Jokowi, karena pemerintah merangkul banyak kekuatan, “penguatan demokrasi seperti diabaikan,” kata Irmaline Pakazeni dan Cindy Nabilla dalam penelitian berjudul “Analisis Sistem Pemerintahan di Indonesia pada Demokrasi di Era SBY dan Jokowi” (2020). “Namun begitu Presiden Jokowi tetap menyampaikan bahwa kehidupan demokrasi di eranya begitu diperhatikan.”

Sementara menurut Saiful Mujani dan R. William Liddle dalam “Indonesia: Jokowi Sidelines Democracy” (2021), “ketika oposisi di parlemen justru semakin lemah dan kehilangan kemampuan untuk mengkritisi presiden,” itu sama saja dengan “demokrasi di Indonesia kian terpuruk.”

Benar bahwa SBY sibuk menaikkan harga BBM bersubsidi, sedangkan Jokowi menaikkan BBM nonsubsidi--yang memang harganya dikendalikan mekanisme pasar. Tapi dampaknya serupa, yakni BBM yang lebih murah jadi rebutan. Meskipun begitu, karena taktik politik sedemikian rupa, nasib mereka berbeda.

Baca juga artikel terkait HARGA BBM atau tulisan lainnya dari Felix Nathaniel

tirto.id - Politik
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Rio Apinino