Menuju konten utama

Beda Isi UU Cipta Kerja Omnibus Law dan UU Ketenagakerjaan 13/2003

Perbedaan UU Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 dan UU Cipta Kerja Omnibus Law yang disahkan DPR RI.

Beda Isi UU Cipta Kerja Omnibus Law dan UU Ketenagakerjaan 13/2003
Buruh dari berbagai elemen organisasi melakukan aksi mogok kerja dengan turun ke jalan di kawasan industri Kebun Besar, Tangerang, Banten, Selasa (6/10/2020). ANTARA FOTO/Muhammad Iqbal.

tirto.id - RUU Cipta Kerja Omnibus Law telah disahkan DPR RI pada Senin (5/10/2020) saat Rapat Paripurna yang dipimpin Wakil Ketua DPR RI Aziz Syamsuddin. RUU Cipta Kerja tetap disahkan menjadi UU meski dihujani protes dari berbagai kalangan masyarakat.

Ada beberapa perbedaan antara UU Cipta Kerja Omnibus Law dan UU Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003. Beberapa pasal yang dihapus atau diganti dalam UU Cipta Kerja adalah:

Cuti dan Istirahat Mingguan UU Ketenagakerjaan vs UU Cipta Kerja

1. Pasal 79 ayat 2 huruf b UU No.13/2003 (UUK)

Dalam pasal ini diatur mengenai istirahat mingguan, pasal 79 ayat 2 huruf b UUK menyebutkan:

Istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu atau 2 (dua) hari untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu.

Dalam UU Cipta Kerja, aturan 5 hari kerja itu dihapus, sehingga berbunyi:

Istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu.

2. Pasal 79 Ayat 2d

Pasal ini dalam UUK menyatakan:

Istirahat panjang sekurang-kurangnya 2 (dua) bulan dan dilaksanakan pada tahun ketujuh dan kedelapan masing-masing 1 (satu) bulan bagi pekerja/buruh yang telah bekerja selama 6 (enam) tahun secara terus-menerus pada perusahaan yang sama dengan ketentuan pekerja/buruh tersebut tidak berhak lagi atas istirahat tahunannya dalam 2 (dua) tahun berjalan dan selanjutnya berlaku untuk setiap kelipatan masa kerja 6 (enam) tahun.

Dalam UU Cipta Kerja, regulasi mengenai cuti panjang diserahkan ke perusahaan.

RUU Cipta Kerja tidak mencantumkan hak cuti panjang selama 2 bulan bagi pekerja/buruh yang sudah bekerja selama 6 tahun secara terus menerus dan menyerahkan aturan itu kepada perusahaan atau perjanjian kerja sama yang disepakati.

3. Pasal 81 UUK

Pasal ini mengatur pekerja/buruh perempuan bisa memperoleh libur pada saat haid hari pertama dan kedua pada saat haid, berbunyi:

(1) Pekerja/buruh perempuan yang dalam masa haid merasakan sakit dan memberitahukan kepada

pengusaha, tidak wajib bekerja pada hari pertama dan kedua pada waktu haid.

(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dalam perjanjian kerja,

peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

UU Cipta Kerja tidak mencantumkan hak cuti haid bagi perempuan. UU Cipta Kerja tidak menuliskan hak cuti haid di hari pertama dan kedua masa menstruasi yang sebelumnya diatur dalam UU Ketenagakerjaan, sehingga untuk peraturan ini masih mengacu pada UUK Nomor 13 Tahun 2003.

4. Pasal 82 UUK

Pasal ini mengatur mekanisme cuti hamil-melahirkan bagi pekerja perempuan. Di dalamnya juga termasuk cuti untuk istirahat bagi pekerja/buruh perempuan yang mengalami keguguran.

(1) Pekerja/buruh perempuan berhak memperoleh istirahat selama 1,5 (satu setengah) bulan sebelum

saatnya melahirkan anak dan 1,5 (satu setengah) bulan sesudah melahirkan menurut

perhitungan dokter kandungan atau bidan.

(2) Pekerja/buruh perempuan yang mengalami keguguran kandungan berhak memperoleh istirahat

1,5 (satu setengah) bulan atau sesuai dengan surat keterangan dokter kandungan atau bidan.

Draft UU Cipta Kerja tidak mencantumkan pembahasan, perubahan atau status penghapusan dalam pasal tersebut, sehingga tetap berlaku sesuai aturan dalam UUK.

5. Pasal 83 UUK

Pasal ini mengatur bahwa pekerja/buruh perempuan yang anaknya masih menyusu harus diberi kesempatan sepatutnya untuk menyusui anaknya jika hal itu harus dilakukan selama waktu kerja.

"Pekerja/buruh perempuan yang anaknya masih menyusu harus diberi kesempatan sepatutnya

untuk menyusui anaknya jika hal itu harus dilakukan selama waktu kerja."

UU Cipta Kerja tidak mencantumkan pembahasan, perubahan atau status penghapusan dalam pasal tersebut.

6. Pasal 80 UUK

Pasal ini menyatakan:

Pengusaha wajib memberikan kesempatan yang secukupnya kepada pekerja/buruh untuk melaksanakan ibadah yang diwajibkan oleh agamanya.

UU Cipta Kerja tidak mencantumkan pembahasan, perubahan atau status penghapusan dalam pasal tersebut, sehingga masih berlaku peraturan yang lama dalam UUK.

Upah dalam UU Ketenagakerjaan vs UU Cipta Kerja

7. Pasal Soal Upah

Upah satuan hasil dan waktu tidak diatur dalam UUK sebelumnya.

Dalam UU Cipta Kerja, peraturan soal upah ini ditetapkan berdasarkan satu waktu seperti harian, mingguan atau bulanan. Sementara upah satuan hasil adalah upah yang ditetapkan berdasarkan hasil dari pekerjaan yang telah disepakati.

Upah diatur di Pasal 88B yang memberikan kebebasan kepada pengusaha untuk menentukan unit keluaran yang ditugaskan kepada pekerja sebagai dasar penghitungan upah (sistem upah per satuan). Tidak ada jaminan bahwa sistem besaran upah per satuan untuk menentukan upah minimum di sektor tertentu tidak akan berakhir di bawah upah minimum.

8. Upah Minimum Sektoral dan Upah Minimum Kabupaten/Kota

Dalam UUK Pasal 89, upah minimum ditetapkan di tingkat Provinsi, Kabupaten/Kotamadya, dan Sektoral. Setiap wilayah diberikan hak untuk menetapkan kebijakan Upah minimum mereka sendiri baik di tingkat provinsi dan tingkat Kabupaten/Kotamadya.

UU Cipta Kerja Omnibus Law, upah minimum diatur gubernur, tetapi dengan syarat. Pasal 88C UU Ciptaker menyatakan:

(1) Gubernur wajib menetapkan upah minimum provinsi.

(2) Gubernur dapat menetapkan upah minimum kabupaten/kota dengan syarat tertentu.

(3) Upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan berdasarkan kondisi ekonomi

dan ketenagakerjaan.

(4) Syarat tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi pertumbuhan ekonomi daerah dan inflasi pada

kabupaten/kota yang bersangkutan.

Pesangon dalam UU Ketenagakerjaan vs UU Cipta Kerja

9. Pesangon

Dalam UUK, pemberian Pesangon diatur lewat Pasal 156. Pasal tersebut mengatur soal pemberian pesangon dalam hal pemutusan hubungan kerja, perhitungan uang penghargaan, dan uang penggantian hak.

Dalam UU Cipta Kerja Omnibus Law, pesangon diatur dalam Pasal 156 dengan perbedaan pada:

Uang penggantian hak yang seharusnya diterima sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur;

b. biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ke tempat dimana pekerja/buruh

diterima bekerja;

c. hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.

Dalam UUK, uang penggantian hak juga meliputi penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan 15% (lima belas perseratus) dari uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi syarat.

Jaminan Kerja dalam UU Ketenagakerjaan vs UU Cipta Kerja

10. Sanksi Jaminan Pensiun Pasal 167 ayat (5)

Pasal 167 ayat 5 UUK menyatakan:

Dalam hal pengusaha tidak mengikutsertakan pekerja/buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja karena usia pensiun pada program pensiun maka pengusaha wajib memberikan kepada pekerja/buruh uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).

UU Cipta Kerja Menghapus sanksi pidana bagi perusahaan yang tidak mengikutsertakan pekerja/buruh dalam program jaminan pensiun yang sebelumnya tertuang pada pasal 184 UU Ketenagakerjaan yang menyatakan

“Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 167 ayat (5), dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau denda paling sedikit Rp100.000.000.00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp500.000.000.00 (lima ratus juta rupiah)”

11. Jaminan Kehilangan Pekerjaan

Sebelumnya, pasal ini tidak diatur dalam UUK. UU Cipta Kerja menambahkan program jaminan sosial baru yaitu Jaminan Kehilangan Pekerjaan, yang dikelola oleh BPJS Ketenagakerjaan berdasarkan prinsip asuransi sosial yang diatur dalam Bagian Ketiga Jenis Program Jaminan Sosial Pasal 82.

12. PHK

Alasan perusahaan boleh melakukan PHK pada UU Ketenagakerjaan Nomr 13 Tahun 2003, ada 9 alasan seperti:

• Perusahaan bangkrut

• Perusahaan tutup karena merugi

• Perubahan status perusahaan

• pekerja/buruh melanggar perjanjian kerja

• pekerja/buruh melakukan kesalahan berat

• pekerja/buruh memasuki usia pensiun

• pekerja/buruh mengundurkan diri

• pekerja/buruh meninggal dunia

• pekerja/buruh mangkir

UU Cipta Kerja menambah 5 poin lagi alasan perusahaan boleh melakukan PHK, diantaranya meliputi:

• Perusahaan melakukan efisiensi

• Perusahaan melakukan penggabungan, peleburan, pengambilalihan, atau pemisahan perusahaan

• Perusahaan dalam keadaan penundaan kewajiban pembayaran utang

• Perusahaan melakukan perbuatan yang merugikan pekerja/buruh

• Pekerja/buruh mengalami sakit berkepanjangan atau cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 (dua belas) bulan.

13. Pasal PWKT dan PWKTT

Pasal 59 UUK mengatur Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) terhadap pekerja itu maksimal dilakukan selama 2 tahun, lalu boleh diperpanjang kembali dalam waktu 1 tahun.

UU Cipta Kerja mencantumkan Pasal 59 UU Ketenagakerjaan. Meski demikian, jangka waktu maksimum perjanjian kerja sementara dan jangka waktu perpanjangan maksimum belum secara spesifik diatur seperti dalam UU Ketenagakerjaan, namun disebutkan akan diatur dalam PP.

Aturan teknis apapun yang dibuat menyusul pengesahan Omnibus jangan sampai membebaskan pengusaha dari kewajiban mereka untuk mengubah status pekerja sementara menjadi pekerja tetap. Hal ini menghilangkan kepastian kerja.

14. Jam Kerja

Dalam UU Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003, waktu kerja lembur paling banyak hanya 3 jam per hari dan 14 jam per minggu.

UU Cipta Kerja memperpanjang waktu kerja lembur menjadi maksimal 4 jam per hari dan 18 jam per minggu.

15. Outsourcing

Dalam UU Ketenagakerjaan, penggunaan outsourcing dibatasi dan hanya untuk tenaga kerja di luar usaha pokok.

UU Cipta Kerja membuka kemungkinan bagi lembaga outsourcing untuk mempekerjakan pekerja untuk berbagai tugas, termasuk pekerja lepas dan pekerja penuh waktu. Hal ini akan membuat penggunaan tenaga alih daya semakin bebas.

16. Tenaga Kerja Asing

- Pasal 42 ayat 1 UUK menyatakan:

Setiap pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing wajib memiliki izin tertulis dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk.

Dalam RUU Cipta Kerja, izin tertulis TKA diganti dengan pengesahan rencana penggunaan TKA.

- Pasal 43 ayat 1 UU Ketenagakerjaan menyatakan:

Pemberi kerja yang menggunakan tenaga kerja asing harus memiliki rencana penggunaan tenaga kerja asing yang disahkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk.

Dalam UU Cipta Kerja, Pasal 43 mengenai rencana penggunaan TKA dari pemberi kerja sebagai syarat mendapat izin kerja dimana dalam RUU Cipta kerja, informasi terkait periode penugasan ekspatriat, penunjukan tenaga kerja menjadi warga negara Indonesia sebagai mitra kerja ekspatriat dalam rencana penugasan ekspatriat dihapuskan.

- Pasal 44 ayat 1 UU Ketenagakerjaan menyatakan:

Pemberi kerja tenaga kerja asing wajib menaati ketentuan mengenai jabatan dan standar kompetensi yang berlaku.

Dalam UU Cipta Kerja Omnibus Law, Pasal 44 mengenai kewajiban menaati ketentuan mengenai jabatan dan kompetensi TKA dihapus.

Link Download UU Omnibus Law Cipta Kerja

RUU Cipta Kerja Omnibus Law telah disahkan menjadi Undang-Undang oleh DPR RI pada Senin (5/10/2020). Bagi Anda yang ingin melihat isi UU Cipta Kerja final bisa mengunduhnya melalui link berikut ini.

Sementara itu, untuk link download RUU Cipta Kerja Omnibus Law adalah berikut ini: Download RUU Cipta Kerja Omnibus Law.

Isi UU Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 bisa diunduh melalui link ini.

------------------

Artikel ini berdasarkan draf UU Cipta Kerja bertanggal 5 Oktober 2020, yang setebal 905 halaman dan beredar di publik. Dokumen UU aslinya belum ada. DPR maupun pemerintah Joko Widodo belum mempublikasikan dokumen final, sekalipun UU ini sudah disahkan dalam Rapat Paripurna DPR pada 5 Oktober 2020.

Baca juga artikel terkait OMNIBUS LAW atau tulisan lainnya dari Dipna Videlia Putsanra

tirto.id - Hukum
Penulis: Dipna Videlia Putsanra
Editor: Agung DH