Menuju konten utama
Sejarah Indonesia

Beda Isi Piagam Jakarta dengan Pancasila dan Sejarah Perubahannya

Sejarah Pancasila sebagai dasar negara Indonesia tidak bisa dilepaskan dengan isi Piagam Jakarta.

Beda Isi Piagam Jakarta dengan Pancasila dan Sejarah Perubahannya
Sidang BPUPKI merumuskan Piagam Jakarta. [Foto/wikipedia.org]

tirto.id - Sejarah Pancasila sebagai dasar negara Indonesia tidak bisa dilepaskan dengan isi Piagam Jakarta. Piagam Jakarta merupakan upaya untuk menjembatani antara pandangan dari golongan agamis dengan kelompok nasionalis-kebangsaan dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).

Piagam Jakarta atau Jakarta Charter disahkan pada 22 Juni 1945 dan disusun oleh Panitia Sembilan BPUPKI. Panitia Sembilan ini beranggotakan Ir. Sukarno, Drs. Mohammad Hatta, Mr. A.A Maramis, Abikusno Tjokrosujoso, Abdulkahar Muzakir, H. Agus Salim, Mr. Ahmad Subardjo, Wachid Hasjim, dan Mr. Muhammad Yamin.

Awalnya, Piagam Jakarta berisi garis-garis besar perlawanan terhadap imperialisme, kapitalisme, fasisme, serta untuk memulai dasar pembentukan Negara Republik Indonesia. Dalam Piagam Jakarta juga tercantum 5 rumusan dasar negara yang nantinya mengalami sedikit perubahan sebelum dinamakan Pancasila.

Perubahan Piagam Jakarta

Setelah Piagam Jakarta yang disahkan pada 22 Juni 1945, Mohammad Hatta mengungkapkan bahwa pada 17 Agustus 1945 sore hari, ia menerima kedatangan seorang opsir Angkatan Laut Jepang (Kaigun).

“Opsir itu, yang aku lupa namanya, datang sebagai utusan Kaigun untuk memberitahukan sungguh, bahwa wakil-wakil Protestan dan Katolik, yang (tinggal di wilayah yang) dikuasai Kaigun, berkeberatan sangat terhadap bagian kalimat dalam pembukaan Undang-undang dasar, yang berbunyi: Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya," ungkapnya dalam Mohammad Hatta: Memoir (1979).

Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka kalimat “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” yang menjadi salah satu isi Piagam Jakarta menimbulkan perdebatan.

Menurut Hatta, Indonesia sebagai negara kesatuan memiliki keragaman budaya dan agama beserta para pemeluknya. Maka itu, seluruh umat beragama di Indonesia sebaiknya merasa terwakili dalam rumusan dasar negara.

“Tercantumnya ketetapan seperti itu di dalam suatu dasar yang menjadi pokok Undang-Undang Dasar berarti mengadakan diskriminasi terhadap mereka (yang) golongan minoritas,” kata Hatta.

Sukarno dan Hatta kemudian mengundang Kasman Singodimedjo untuk menghadiri sidang PPKI. Tokoh Islam dari Muhammadiyah ini diundang untuk membicarakan isi Piagam Jakarta bersama beberapa tokoh lain pada 18 Agustus 1945.

Perundingan pun dilakukan meskipun berlangsung agak alot. Pada akhirnya, disepakati bahwa salah satu isi Piagam Jakarta yang berbunyi "Ketuhanan dengan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam bagi Pemeluk-pemeluknya" diganti.

Sebagai gantinya adalah "Ketuhanan yang Maha Esa" yang kemudian ditetapkan sebagai sila pertama Pancasila yang menjadi dasar negara sekaligus falsafah hidup bangsa Indonesia.

Isi Piagam Jakarta

Piagam Jakarta berisi empat alinea yang kemudian menjadi Pembukaan UUD 1945, termasuk 5 poin yang salah satunya kemudian diganti menjadi "Ketuhanan Yang Maha Esa" dalam Pancasila. Berikut ini isi Piagam Jakarta:

Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu maka pendjadjahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan perikeadilan.

Dan perdjuangan pergerakan Kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat jang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan Rakjat Indonesia kedepan pintu-gerbang Negara Indonesia, jang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.

Atas berkat Rahmat Allah Jang Maha Kuasa, dan dengan didorongkan oleh keinginan-luhur, supaja berkehidupan kebangsaan jang bebas, maka Rakjat Indonesia dengan ini menjatahkan kemerdekaannja.

Kemudian dari pada itu membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia jang melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah-darah Indonesia, dan untuk memadjukan kesejahteraan umum, mentjerdaskan kehidupan Bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia jang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Hukum Dasar Negara Indonesia, jang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia jang berkedaulatan Rakjat, dengan berdasar kepada: keTuhanan, dengan mewajibkan mendjalankan sjari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknja; menurut dan kemanusiaan jang adil dan beradab, persatuan Indonesia dan kerakjatan jang dipimpin oleh hikmat-kebidjaksanaan dalam permusjawaratan perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh Rakjat Indonesia.

Djakarta, 22-6-1945

Ir. Soekarno

Drs. Mohammad Hatta

Mr. A.A. Maramis

Abikusno Tjokrosujoso

Abdulkahar Muzakir

H. A. Salim

Mr. Achmad Subardjo

Wachid Hasjim

Mr. Muhammad Yamin

Isi Pancasila

Istilah Pancasila pertama kali diperkenalkan oleh Sukarno dalam sidang BPUPKI tanggal 1 Juni 1945 yang pada akhirnya nanti ditetapkan sebagai dasar negara Republik Indonesia.

Adapun isi atau bunyi 5 sila dalam Pancasila dan masing-masing lambang atau simbolnya adalah sebagai berikut:

  1. Ketuhanan yang Maha Esa; dilambangkan dengan bintang.
  2. Kemanusiaan yang Adil dan Beradab; dilambangkan dengan rantai.
  3. Persatuan Indonesia; dilambangkan dengan pohon beringin.
  4. Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan; dilambangkan dengan kepala banteng.
  5. Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia; dilambangkan dengan padi dan kapas.

Baca juga artikel terkait PANCASILA atau tulisan lainnya dari Yuda Prinada

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Yuda Prinada
Penulis: Yuda Prinada
Editor: Iswara N Raditya