Menuju konten utama

Beda Es Kopi Mirna dan Jus Jeruk Munir

Kasus pembunuhan akibat racun yang diracik di dalam minuman tak hanya menimpa aktivis HAM Munir Said Thalib, tapi juga dialami Wayan Mirna Salihin. Namun, perlakuan aparat penegak hukum berbeda untuk kedua kasus tersebut.

Beda Es Kopi Mirna dan Jus Jeruk Munir
Suasana persidangan sengketa informasi Tim Pencari Fakta (TPF) kematian Munir di kantor Komisi Informasi Pusat (KIP), Jakarta, Senin (10/10). Dalam sidang itu Majelis Komisi Informasi Pusat memerintahkan Pemerintah Republik Indonesia untuk mengumumkan isi dokumen Tim Pencari Fakta (TPF) kasus Munir yang diduga dibunuh dengan racun dalam penerbangan dari Indonesia ke Belanda pada September 2004. ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay

tirto.id - Jakarta 6 Januari 2016. Rabu sore itu, sekitar pukul 17.00 WIB, Wayan Mirna Salihin mendatangi Kafe Oliver. Dia tidak sendiri, ditemani dua temannya Hanibon Juwita dan Jessica Kumala Wongso.

Jessica yang datang lebih dulu duduk menunggu. Setelah Mirna dan Hani memesan kue, keduanya lalu bergabung bersama Jessica. Mereka berpelukan sebelum duduk. Setelah duduk, Mirna lalu mengaduk es kopi Vietnam yang sudah tersedia di meja sebelum menyeruputnya.

Semula, semuanya terasa menyenangkan. Tiga sahabat menghabiskan waktu bersama. Namun, semuanya berubah total tak kurang dari lima menit. Usai menyeruput es kopi Vietnam, Mirna mendadak tak sadarkan diri. Tubuhnya limbung.

Mirna lantas dilarikan ke klinik tak jauh dari Oliver Kafe. Namun nahas, Mirna tak bisa diselamatkan. Dia meregang nyawa sekitar pukul 22.00 WIB.

Penyelidikan polisi menunjukkan, kematian Mirna diduga karena menenggak es kopi Vietnam yang diberi racun sianida. Di dalam tubuh Mirna ditemukan kandungan sianida. Kasus pun menjadi heboh. Polisi lantas menetapkan Jessica, sahabat Mirna, sebagai tersangka.

Setelah proses pemeriksaan dan persidangan yang menyita perhatian publik se-Indonesia, pada 5 Oktober 2016, jaksa menuntut Jessica 20 tahun penjara atas tuduhan pembunuhan berencana terhadap Mirna.

Jus Jeruk Arsenik

Kematian Mirna setelah meminum es kopi Vietnam mengingatkan pada kasus yang nyaris serupa, kematian aktivis HAM Munir Said Thalib.

Pada Senin 6 September 2004, Munir berjalan menuju pesawat yang akan membawanya ke Belanda. Di sana, Munir akan melanjutkan studinya. Dalam perjalanan menuju pesawat, Pollycarpus Budihari Priyanto, seorang Pilot Garuda, menghampiri Munir.

Setelah basa-basi, Pollycarpus menanyakan tempat duduk Munir. Munir tidak menjawab, dia hanya menunjukan nomor tempat duduk yang tertera pada tiket, kelas ekonomi kursi 40 G. Pollycarpus lalu menawarkan tempat duduk miliknya nomor 3 K di kelas bisnis untuk di tempati Munir.

Di dalam pesawat, Pollycarpus memberitahu Brahmanie Hastawati, purser pesawat, tentang perubahan tempat duduk itu. Brahmanie kemudian mendatangi Munir dan mempersilahkan Munir pindah ke kelas bisnis.

Setelah pesawat lepas landas, Yeti Susmiarti pramugari pesawat menyajikan welcome drink untuk para penumpang kelas bisnis, termasuk Munir yang sudah pindah. Ada dua minuman yang disediakan, yakni jus jeruk dan wine. Munir memilih jus jeruk.

Kurang lebih dua jam perjalanan atau sekitar pukul 23.32 WIB, pesawat GA-974 yang ditumpangi Munir transit di Bandara Changi Singapura. Setelah sejam transit, pesawat melanjutkan perjalanan ke Belanda. Munir pun harus kembali ke tempat duduknya semula, yakni 40 G di kelas ekonomi.

Selang sekitar 15 menit pesawat lepas landas, Munir merasa mual dan perutnya mulas. Munir pun muntah-muntah. Tiga jam setelah lepas landas, Munir dipindahkan ke kelas bisnis. Di sana, Munir diminta minum dua butir tablet new diatabs, sebutir Zantac dan sebutir promag oleh dr Tarmizi. Munir juga disuntik Primperam dan Diazepam.

Dua jam sebelum pesawat mendarat, Munir menghembuskan nafas terakhirnya. Hasil visum Kementerian Kehakiman lembaga Forensik Belanda tertanggal 13 Oktober 2004, menjelaskan bahwa munir meninggal karena konsentrasi arsen yang tinggi di dalam lambungnya.

Setelah melakukan pemeriksaan, polisi menetapkan Pollycarpus sebagai tersangka. Pollycarpus kemudian terbukti bersalah di pengadilan. Jaksa Penuntut Umum di persidangan menyatakan bahwa Polly membubuhkan arsenik ke gelas jus jeruk yang diminum Munir. Sejak awal, Pollycarpus tahu Munir tidak minum alkohol, sehingga dipastikan Munir akan memilih jus jeruk sebagai welcome drink.

Keseriusan Penegak Hukum

Dua kematian tragis karena racun itu sama-sama menggemparkan publik. Namun, keduanya mendapat respons berbeda. Kasus racun sianida di es kopi Vetnam mendapat porsi perhatian publik dan penegak hukum yang luar biasa. Sejak kematian Mirna, kasus itu diekspos tanpa henti oleh media. Meme kopi sianida yang entah berapa banyaknya pun menyebar di dunia maya, dari grup pesan singkat hingga media sosial.

Televisi bahkan menyiarkan sidang kematian Mirna dengan terdakwa Jessica secara live secara terus-menerus. Mulai dari sidang pertama sampai tuntutan jaksa, bahkan masih terus berlanjut sampai sekarang.

Begitu juga sikap pemerintah. Pascagempar kopi sianida, BPOM bergerak cepat. Mereka langsung mendatangi toko-toko bahan kimia di Jakarta dan memberikan surat edaran agar tidak menjual bahan kimia terlarang ke masyarakat.

Begitu pula dengan perlakukan para penegak hukum. Mereka juga memberikan perhatian yang dahsyat. Sidang digelar hingga tengah malam. Misalnya sidang pada 14 September 2016 yang digelar hingga pukul 23.50 WIB.

"Karena waktu sudah mendekati jam 24.00 WIB, sidang diakhiri sampai di sini. Ditunda sampai besok pagi, Kamis 15 September pukul 10.00 WIB," kata Kisworo, Ketua Majelis Hakim, dikutip dari Antara.

Berbeda dengan kasus Jessica, kasus kematian Munir terasa senyap. Sampai saat ini kasus Munir belum tuntas. Meski Pollycarpus sudah dinyatakan bersalah dan menjalani hukuman, tetapi siapa sesungguhnya otak di balik pembunuhan Munir belum juga terungkap.

Semula pemerintah terlihat serius menangani kasus ini dengan membuat Tim Pencari Fakta (TPF) untuk mengusut tuntas kasus pembunuhan Munir. Setelah TPF bekerja, dokumen hasil penelusuran TPF pun diserahkan secara langsung kepada Presiden SBY untuk ditindaklanjuti. Dokumen diserahkan pada 24 Juni 2005. Namun, hasil TPF itu pun tidak pernah dibuka sampai sekarang. Alih-alih dibuka, dokumen yang diserahkan TPF justru dinyatakan hilang.

Bagi sebagian kalangan, hilangnya dokumen TPF tampaknya bukan sesuatu yang mengejutkan. Sebab sejak awal, pemerintah memang tidak serius menuntaskan kasus Munir.

Ketidakseriusan juga terlihat dari perlakukan pemerintah terhadap Pollycarpus. Eksekutor pembunuhan Munir itu sudah bebas bersyarat sejak 28 November 2014. Selama ditahanan, Pollycarpus mendapatkan banyak remisi di era Presiden SBY. Total pemotongan hukuman yang diterima mencapai 51 bulan plus 80 hari atau sekitar empat tahun.

Tentunya perbedaan perlakukan pengungkapan dua kasus ini bukan disebabkan perbedaan rasa antara es kopi sianida atau jus jeruk arsen. Mana yang lebih manis atau mana yang lebih cepat merenggut nyawa. Perbedaannya terletak niatan memberikan keadilan bagi Mirna dan Munir.

Baca juga artikel terkait KOPI SIANIDA atau tulisan lainnya dari Mawa Kresna

tirto.id - Hukum
Reporter: Mawa Kresna
Penulis: Mawa Kresna
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti