Menuju konten utama

La Nina Adalah Anomali Suhu: Artinya dan Perbedaan dengan El Nino

Beda La Nina umumnya membuat curah hujan bertambah, sedangkan El Nino umumnya membuat curah hujan berkurang.

Prakiraan cuaca hujan dan berawan. FOTO/istockphoto

tirto.id - Apa itu La Nina? Apakah Anda merasa akhir-akhir ini intensitas hujan semakin meningkat di wilayah Anda serta beberapa daerah lain di Indonesia?

Bagi Indonesia, fenomena La Nina yang terjadi pada periode awal musim hujan ini berpotensi meningkatkan jumlah curah hujan di sebagian besar wilayah, menurut keterangan resmi BMKG.

Dampak fenomena La Nina terhadap curah hujan di Indonesia tidak seragam, baik secara spasial maupun temporal, bergantung pada musim/bulan, wilayah, dan kekuatan La Nina sendiri.

Selain pengaruh sirkulasi angin monsun dan anomali iklim di Samudera Pasifik, penguatan curah hujan di Indonesia juga turut dipengaruhi oleh penjalaran gelombang atmosfer ekuator dari barat ke timur berupa gelombang MJO (Madden Julian Oscillation) dan Kelvin, atau dari timur ke barat berupa gelombang Rossby.

Hasil analisis kondisi dinamika atmosfer terkini menunjukkan adanya aktivitas MJO di atas wilayah Indonesia, yang merupakan kluster/kumpulan awan berpotensi hujan.

Aktifitas fenomena La Nina dan MJO pada saat yang bersamaan ini dapat berkontribusi signifikan terhadap pembentukan awan hujan di wilayah Indonesia.

Berdasarkan kondisi tersebut di atas, BMKG memprakirakan dalam periode sepekan ke depan akan terjadi peningkatan curah hujan dengan intensitas lebat yang dapat disertai kilat/petir dan angin kencang.

Lantas apa beda La Nina dengan El Nino?

Beda La Nina dan El Nino

Kepala Sub Bidang Produksi Informasi Iklim dan Kualitas Udara, Siswanto kepada Tirto mengatakan keduanya sama sama anomali iklim laut di Samudera Pasifik tengah dan timur yang berdampak ke Indonesia.

"La Nina (si gadis) dan El Nino (si boy) yang turut mempengaruhi iklim di wilayah Indonesia," ujarnya.

La Nina didefinisikan sebagai kondisi penyimpangan (anomali) suhu permukaan laut Samudera Pasifik tropis bagian tengah dan timur yang lebih dingin daripada kondisi normalnya.

Sedangkan El Nino, penyimpangan (anomali) suhu permukaan laut tersebut lebih hangat daripada kondisi normalnya

El Nino dan La Nina dinyatakan sebagai “Kejadian El Nino atau Kejadian La Nina” apabila kondisi penyimpangan (anomali) suhu permukaan laut Samudera Pasifik tropis bagian tengah dan timur yang lebih hangat atau lebih dingin setidaknya 0.5C daripada kondisi normalnya, yang diikuti oleh perubahan sirkulasi atmosfer di atasnya berupa peningkatan angin pasat timuran lebih kuat pada kondisi La Nina, atau pelemahan angin pasat timur pada kondisi El Nino dan telah berlangsung beberapa bulan.

BMKG melakukan analisis Indeks Nino 3.4 yang menggambarkan anomali suhu muka laut di wilayah Samudera Pasifik Tengah (wilayah Nino 3.4) untuk memantau perkembangan La Nina.

Kondisi La Nina ini dapat berlangsung dengan durasi selama beberapa bulan hingga dua tahun dan berulang setiap beberapa tahun (siklus 2-8 tahun).

Kejadian La Nina juga dapat mempengaruhi pola cuaca/iklim global.

Perubahan di Samudra Pasifik berupa interaksi laut dan atmosfer (La Nina/El Nino) terjadi dalam siklus antar tahunan dikenal sebagai El Nino – Southern Oscillation (ENSO)

Perubahan di Samudra Pasifik berupa interaksi laut dan atmosfer (La Nina/El Nino) terjadi dalam siklus antar tahunan dikenal sebagai El Nino – Southern Oscillation (ENSO)

"Kalau La Nina umumnya membuat curah hujan bertambah (tahun basah seperti tahun 2010), sedangkan El Nino umumnya membuat curah hujan berkurang (tahun kering seperti 1997 dan 2015)," tuturnya.

BMKG: Dampak La Nina Musim Hujan Terjadi hingga Pertengahan 2022

Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mengingatkan bahwa potensi peningkatan curah hujan atau biasa disebut musim hujan masih dapat terjadi hingga pertengahan 2022.

Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati mengatakan hal ini terjadi karena La Nina masih bertahan hingga pertengahan 2022, sehingga 47 persen zona musim (ZOM) di Indonesia diprediksi terlambat memasuki musim kemarau.

"Artinya potensi peningkatan curah hujan masih dapat terjadi hingga pertengahan 2022," ujar Dwikorita dilansir dari Antara.

Dwikorita mengatakan dari hasil pemantauan perkembangan musim hujan di 2021-2022, hingga awal Maret menunjukkan hampir seluruh zona musim di wilayah Indonesia atau 97,08 telah memasuki musim hujan.

Menurutnya, kondisi iklim di Indonesia, sangat tergantung pada kondisi di Samudra Pasifik dan Samudra Hindia.

"Hingga pertengahan Februari 2022, pemantauan terhadap anomali iklim global di dua samudra tersebut yaitu di Samudra Pasifik ekuator, menunjukkan La Nina masih berlangsung, dan Samudra Hindia menunjukkan Indian Ocean Dipole (IOD) Mode dalam kondisi netral," kata dia.

Kemudian indeks El Nino-Southern Oscillation (ENSO) menunjukkan wilayah Pasifik atau Pasifik tengah dalam kondisi La Nina, demikian dengan IOD Mode dalam kondisi negatif. Kondisi ENSO fase dingin ini, atau La Nina diprediksi akan terus melemah, dan beralih menuju netral pada periode Maret, April, dan Mei 2022.

Selanjutnya, pemantauan kondisi IOD Mode diprediksi akan kembali netral pada bulan Maret hingga Agustus 2022.

"Prediksi ini akan terus kami perbarui setiap sepuluh harian," kata dia.

Selain itu kedatangan musim kemarau umumnya berkaitan erat dengan peralihan angin Barat atau monsun Asia, menjadi angin Timuran ata monsun Australia.

Menurutnya, hingga Februari 2002, aliran angin monsun Asia masih cukup kuat sesuai dengan normalnya, dan diperkirakan masih berlaku hingga Maret 2022.

BMKG memprediksi peralihan angin monsun terjadi seiring aktifnya monsun Australia pada akhir April 2022, dan mulai mendominasi wilayah Indonesia pada bulan Mei hingga Agustus 2022.

Baca juga artikel terkait LA NINA atau tulisan lainnya dari Nur Hidayah Perwitasari

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Nur Hidayah Perwitasari
Editor: Nur Hidayah Perwitasari
Penyelaras: Yulaika Ramadhani
-->