Menuju konten utama

Beda Cara Polisi Tangani Kasus Novel dan Faisol yang Kritik Jokowi

Ketua YLBHI Asfinawati menilai penangkapan Faisol malah makin menjauhkan hukum dari penegakan keadilan. Jika dibandingkan dengan kasus Novel, justru terlihat adanya "pilih-pilih" kasus.

Beda Cara Polisi Tangani Kasus Novel dan Faisol yang Kritik Jokowi
Ilustrasi UU ITE. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Kasus penyerangan terhadap penyidik KPK Novel Baswedan belum juga menemukan titik terang. Tim pencari fakta (TPF) yang dibentuk Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian pada 8 Januari 2019 pun tak berhasil mengusut perkara ini. Jangankan dalang, pelaku lapangan saja tak berhasil mereka ungkap.

Dalam keterangan pers yang disampaikan di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Rabu (17/7/2019), juru bicara TPF Nurkholis hanya memberikan sejumlah rekomendasi kepada Tito untuk ditindaklanjuti tim teknis yang bakal dikomandoi Kabareskrim Komjen Pol Idham Aziz.

Hal itu membuat publik kecewa. Sebab, tingginya ekspektasi masyarakat atas hasil kerja tim pencari fakta yang beranggotakan Indriyanto Seno Adjie, Hendardi, Hermawan Sulistyo, Ifdhal Kasim, serta 60 orang lainnya tidak memberikan hasil yang memuaskan.

Di hari yang sama, Polri secara sigap mengumumkan ditangkapnya pemilik akun Instagram bernama Faisol Abod Batis yang mengunggah konten yang memuat kritik terhadap Presiden Jokowi dan Polri terkait konflik agraria dengan menggunakan data dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA).

Namun, ternyata kritik Faisol itu dinilai polisi sebagai pelanggaran pidana. Kasubdit II Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri, Kombes Pol Rickynaldo Chairul mengatakan “dia [Faisol] mengunggah konten SARA serta ujaran kebencian” di akun Instagram @reaksirakyat1.

Tujuan tersangka mengunggah konten itu, kata Rickynaldo, untuk menghasut masyarakat agar membenci instansi pemerintah dan Korps Bhayangkara. Polisi menyita dua telepon seluler yang digunakan pelaku untuk penyebaran konten tersebut.

Pelaku mengunggah pernyataan yakni:

1. Kebohongan Demi Kebohongan Dipertontonkan oleh Seorang Pemimpin Negara. Bagaimana Rakyat akan Percaya terhadap Pemimpin seperti ini.

2. Konflik agraria rezim Jokowi: 41 orang tewas, 51 orang tertembak, 546 dianiaya, dan 940 petani; pejuang lingkungan dikriminalisasi. Terjadi 1.769 kasus konflik agraria sepanjang pemerintahan tahun 2015 - 2018. Kasus tersebut meliputi konflik perkebunan, properti, hutan, laut, tambang, dan infrastruktur.

3. Polisi gagal melindungi hak asasi manusia saat Aksi 21-23 Mei 2019.

Ketika reporter Tirto menelusuri unggahan itu, tidak ditemukan lagi seluruh pernyataan tersebut.

Menuai Kritik

Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Anggara Suwahju menilai penangkapan Faisol sebagai langkah berlebihan karena apa yang dilakukannya adalah salah satu bentuk ekspresi yang sah yang dijamin oleh UUD 1945.

Anggara menilai apa yang dilakukan oleh kepolisian tidak berdasar dan jelas menghambat demokrasi. “Pernyataan Polri yang mengatakan Faisol melakukan penghinaan terhadap presiden tidaklah berdasar,” kata Anggara.

Anggara juga menekankan bahwa kritik terhadap presiden bukan lah merupakan propaganda kebencian.

“Perlu ditekankan kembali bahwa tujuan dari diaturnya propaganda kebencian sebagai tindak pidana adalah untuk menjamin pemenuhan hak asasi manusia untuk golongan atau kelompok minoritas yang rentan haknya terlanggar karena adanya diskriminasi berbasis atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA)" jelas Anggara.

Pilih-Pilih Kasus Atas Kepentingan Politik

Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati pun mengecam penangkapan Faisol. Ia menilai hal tersebut malah semakin menjauhkan hukum dari arah penegakan keadilan.

Jika dibandingkan dengan kasus Novel Baswedan, Asfinawati justru melihat adanya "pilih-pilih" kasus yang dilakukan oleh kepolisian.

“Terlihat polisi memilih,” kata Asfinawati kepada reporter Tirto, Kamis (18/7/2019).

Asfinawati menjelaskan salah satu hal yang menjadi permasalahan dalam "pilih-pilih" kasus ala kepolisian tersebut tak lepas dari adanya intervensi politik dalam penegakan hukum.

“Sebenarnya kalau yang kasus Novel jelas sekali [ada pengaruh dari kepentingan politik]” kata Asfinawati menambahkan.

Ia memaparkan sejumlah landasan dari argumennya itu. Pertama, terlihat ada upaya dalam penjatuhan kredibilitas Novel melalui sejumlah isu yang dilayangkan, salah satunya adalah mengaitkan Novel dengan isu radikalisme.

“Itu, kan, konteksnya sebenarnya supaya mengurangi dukungan kepada Novel atau membajak isu yang sedang ramai” kata Asfinawati.

Kedua, kata Asfinawati, pembentukan sejumlah tim untuk penyelidikan yang tak pernah independen dan selalu di bawah kepolisian. Parahnya, rilis dari tim yang terakhir justru memiliki poin yang menyalahkan Novel atau victim blaming.

“Jadi sudah kelihatan bahwa ini ada nuansa politik,” kata Asfinawati.

Dengan demikian, Asfinawati menyimpulkan bahwa sikap kepolisian dalam kasus Novel ialah, "bukan polisi tak bisa, tapi tak mau mengungkap.”

Asfinawati pun menyamakannya dengan sikap polisi pada kasus kerusuhan yang terjadi pada 21-22 Mei 2019.

“Peristiwa 21-22 Mei, mereka bisa membongkar, ada mantan jenderal, militer pula, terlibat dan mereka bisa sangat terbuka memperlihatkan barang bukti, tersangka, dan lain-lain. Tapi dalam kasus Novel, yang relatif lebih sederhana, karena ini bukan kerusuhan massal gitu, hanya di satu daerah, kepolisian tak juga membuka,” kata dia membandingkan.

Baca juga artikel terkait KONFLIK AGRARIA atau tulisan lainnya dari Fadiyah Alaidrus

tirto.id - Hukum
Reporter: Fadiyah Alaidrus
Penulis: Fadiyah Alaidrus
Editor: Abdul Aziz