Menuju konten utama

Bebas Memilih Makanan, Anak bisa Memiliki Perilaku Makan Sehat

Kita lupa bahwa segala sesuatu yang kita sebut "baik" pun bisa menjadi "buruk" bila dikonsumsi tanpa aturan dan berlebihan.

Bebas Memilih Makanan, Anak bisa Memiliki Perilaku Makan Sehat
Ilustrasi anak makan permen. foto/istockphoto

tirto.id - Kue ulang tahun bergambar tokoh kartun sangat disukai anak-anak. Rasa penasaran ingin mencolek dan menjilat krim di atas kue itu bagai tak tertahankan. Dalam imajinasi anak, kue bergambar Spongebob pastilah enak, karena itu adalah tokoh kartun kesukaannya.

Rasa penasaran terjawab ketika anak menemukan rasa manis dan gurih dari hiasan yang berasal dari paduan mentega atau margarin dan gula.

Tapi coba perhatikan, berapa banyak yang sanggup dimakan oleh anak? Setelah tahu rasanya, anak biasanya akan memutuskan apakah dia akan menyukainya atau tidak.

“Bebaskan anak untuk memutuskan apa yang akan mereka makan. Apakah tinggi gula atau lemak, dan makanan olahan,” demikian kata Crystal Karges, orang tua, ahli diet dan dokter di Amerika, yang dikutip oleh Sarah Toy dalam artikelnya yang dimuat di Wall Street Journal.

Karges menyarankan demikian karena menurutnya, cara ini dapat membantu anak mengembangkan perilaku makan yang sehat, dan mencegah terjadinya gangguan perilaku makan - yang dialami oleh 20 persen anak di seluruh dunia.

Di hari ulang tahun anaknya yang ke lima tahun, Karges memberinya kue tart, kemudian memberikan lagi sisa potongan kue itu keesokan harinya di saat sarapan. Selain kue itu, ia juga menyediakan telur dan buah-buahan.

“Kita coba mengendalikan anak kita karena pada kenyataannya mereka butuh kebebasan untuk memilih,” kata Karges. Artikel itu juga diunggah di Instagram @WSJ - dan bisa ditebak, banyak komentar netizen yang bernada kontra.

Dalam beberapa penelitian, membatasi makanan yang menggiurkan dikaitkan dengan peningkatan berat badan dan indeks massa tubuh yang lebih tinggi pada anak-anak.

Beberapa peneliti juga berpikir bahwa anak-anak dengan diet ketat tidak mengembangkan rasa lapar dan kenyang, yaitu suatu kondisi yang penting untuk mengatur asupan makanan.

Mereka makan tanpa rasa lapar, sama seperti orang dewasa kelebihan berat badan karena makanan itu menjadi godaan yang dilarang.

Infografik mau Makan Apa

Infografik mau Makan Apa. tirto.id/Fuad

Makanan Tidak Perlu Dinilai

Kita sering memberi label "makanan baik" dan "makanan buruk" atau "makanan sehat" dan "makanan tidak sehat" pada jenis makanan tertentu.

Donat salut gula lebih jahat dibanding brokoli, buah segar lebih baik dibanding es krim, daging tanpa lemak lebih baik dibanding daging dengan lemak, dan seterusnya.

“Stop memberi penilaian moral terhadap makanan”, demikian Victoria Taylor, seorang ahli gizi dalam sebuah artikel Why there’s no such thing as ‘good’ or ‘bad’ foods yang dimuat di British Heart Foundation.org.uk.

Kita memberi label "baik" dan "buruk" pada makanan dikaitkan dengan peningkatan berat badan dan berbagai penyakit sebagai dampaknya. Lalu berdasarkan penilaian kita terhadap makanan itu memberikan batasan yang super ketat pada anak-anak kita dengan tidak membolehkan mereka makan coklat, cheese cake yang super lezat, donat, biskuit, es krim dan permen.

Kita lupa bahwa segala sesuatu yang kita sebut "baik" pun bisa menjadi "buruk" bila dikonsumsi tanpa aturan dan berlebihan.

Makan dan makanan merupakan hal baru bagi anak-anak. Proses belajar makan dan mengenali makanan akan terus berlangsung hingga dewasa. Rasa, aroma, dan tekstur makanan adalah komponen dari makanan yang akan terus diadaptasi oleh lidah manusia sepanjang hidupnya.

Demikian pun cita rasa manusia akan terus berkembang. Anak-anak yang semula hanya menyukai satu jenis rasa - biasanya rasa manis dan gurih - akan belajar menyukai rasa lain seperti masam, asin, pedas, pahit, hambar, langu, dan sebagainya.

Kuncinya tentu saja pengenalan dan pembiasaan secara bertahap sesuai usia dan kesiapan anak.

Kita tidak akan memberikan makanan pedas pada anak usia dua tahun, memberikan cotton candy, marshmallow atau makanan super manis pada anak yang belum mahir menggosok giginya.

Soal gizi bukan isu moral. Kita tidak dapat membuat kategori makanan menjadi "makanan yang baik" dan "makanan yang buruk". Kita semua sepakat bahwa sayuran mengandung mineral penting yang dibutuhkan tubuh manusia.

Tapi apakah benar hanya memberinya sayuran saja akan baik bagi tumbuh kembang anak? Mengajarkan anak makan secara sehat tidak dengan cara mengatakan pada anak "makan ini baik", "makan itu tak baik".

Anak, Adalah Makhluk Pintar

Sebuah artikel di ellynsatterininstitute.org Trust your child and grow in the right way menyatakan bahwa anak belajar makan dari apa yang orangtuanya makan. Ia belajar tentang makanan dari melihat, mencium aromanya dan merasai teksturnya.

Meski anak pernah makan sesuatu, tapi belum tentu ia mau mengulanginya lagi. Misalnya hari ini ia makan sepotong kue ulang tahunnya, belum tentu ia mau mengulanginya lagi besok.

Maka bisa dipahami bila Crystal Karges berani menyediakan lagi sisa kue ulang tahun anaknya untuk sarapan keesokan harinya. Sebagai orang tua dan ahli gizi ia bisa mengontrol. Itu sebabnya ia juga tetap menyediakan buah dan telur sebagai pilihan atau tambahan.

Demikian pun ketika Anda memperkenalkan sate kambing dengan lemak pada anak, tidak ada alasan untuk khawatir. Setelah mencicipi dua potong lemak belum tentu ia akan menyukainya meski ia melihat Anda begitu menikmati lemak kambing. Rasa, aroma, dan tekstur lemak kambing belum tentu disukai anak.

Juga ketika Anda mencobakan kulit ayam yang renyah dan gurih, mungkin saja anak mau menghabiskan satu potong, tapi setelah itu ia memutuskan untuk tidak suka. Bisa saja anak justru mendapat tantangan rasa dan tekstur dari daun selada, ketimun, dan tomat segar.

Sebaiknya kita menghargai pilihan anak yang dibarengi pengetahuan tentang cara makan yang sehat. Meski anak menyukai lobak misalnya, bukan berarti kita membuat menu aneka lobak setiap hari, karena ada sayuran lain yang memberi manfaat berbeda.

Kepandaian anak dalam hal makan dapat kita jumpai ketika dia memutuskan untuk berhenti makan karena merasa perutnya sudah kenyang.

Kesalahan kita adalah ketika kita mengatakan, “Belum, kamu belum kenyang. Ayo habiskan dulu makannya” padahal kita mungkin memberinya porsi makan melebihi kapasitas lambungnya atau kita lupa telah memberinya kudapan berdekatan dengan waktu makan.

Alangkah baiknya bila kita menghargai keputusan anak untuk makan sesuai kebutuhannya.

Netizen yang membaca unggahan di akun @WSJ tentang membebaskan anak memilih makanan ala Crystal Karges memberi komentar bahwa aturan dari orang tuanya untuk menghabiskan isi piringnya membuatnya takut memutuskan untuk berhenti makan meski sudah kenyang.

Di usia 41 tahun sang netizen ini selalu merasa bersalah jika tidak menghabiskan makannya. Ia memiliki masalah dengan body image sebagai dampaknya.

Memberi kepercayaan pada anak apa yang ingin dia makan dan tidak ingin dia makan, berapa banyaknya, dan kapan ia ingin berhenti makan, adalah cara lain untuk membuat anak makan secara sehat. Ini tidak terjadi dalam sekejap tetapi perlu waktu bertahun-tahun.

Yang dibutuhkan oleh anak adalah orang tua yang cerdas gizi untuk dapat menjelaskan manfaat setiap jenis makanan, dan orang tua yang memiliki komitmen sedikitnya sekali dalam sehari untuk makan bersama anak di meja makan.

Tingkatkan kualitas hubungan Anda dengan anak di meja makan untuk mengajarnya makan secara sehat.

Jangan berharap hasilnya Anda peroleh segera. Dibutuhkan kesabaran, konsistensi, dan cara yang tepat sampai anak-anak memiliki kebiasaan makan yang sehat dan menjadikannya pola bagi dirinya sampai ia dewasa.

Crystal Karges dan para ahli gizi dari Amerika menantang Anda untuk lebih permisif dalam hal makanan karena sikap ini diyakini dapat membantu anak untuk belajar mengatur diri. Berani mencoba?

Baca juga artikel terkait TIPS PARENTING atau tulisan lainnya dari Imma Rachmani

tirto.id - Gaya hidup
Kontributor: Imma Rachmani
Penulis: Imma Rachmani
Editor: Lilin Rosa Santi