Menuju konten utama
Kebijakan Penjualan Rokok

Bebani Masyarakat, LPPKI Tolak Larangan Penjualan Rokok Eceran

Wacana larangan penjualan rokok batangan bakal menekan ekonomi warga kecil sebab tidak semua perokok dewasa punya kemampuan.

Bebani Masyarakat, LPPKI Tolak Larangan Penjualan Rokok Eceran
Pekerja menunjukkan rokok Sigaret Kretek Tangan (SKT) di salah satu pabrik rokok di Kudus, Jawa Tengah, Jumat (4/11/2022). ANTARA FOTO/Yusuf Nugroho/foc.

tirto.id - Lembaga Perlindungan dan Pemberdayaan Konsumen Indonesia (LPPKI) menolak rencana pemerintah yang mau melarang penjualan rokok batangan yang tertuang dalam rencana revisi PP 109/2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan. Sebab, wacana ini akan semakin menekan ekonomi masyarakat menengah ke bawah, termasuk memangkas pendapatan pedagang kecil.

“Kami dari Lembaga Perlindungan dan Pemberdayaan Konsumen Indonesia menjalankan tugas berdasarkan UU 8/1999 tentang perlindungan konsumen, yaitu melakukan upaya untuk memastikan kepastian hukum demi memberikan perlindungan kepada konsumen,” ungkap Ketua LPPKI DKI Jakarta, Megy Aidillova dalam pernyatannya, di Jakarta, Jumat (10/2/2023)

Megy menjelaskan, jika alasan kebijakan ini diterbitkan untuk menekan prevalensi perokok anak dan remaja, maka kebijakan yang diajukan harus fokus dalam menjawab masalah tersebut, bukan dengan membuat kebijakan pukul rata yang bisa merugikan kelompok masyarakat lainnya, seperti pedagang-pedagang kecil.

“Jadi, kami harap presiden bukan melarang rokok dijual secara batangan yang dapat membebani masyarakat menengah ke bawah dan mematikan usaha para pedagang,” sambungnya.

Megy melanjutkan, wacana pelarangan penjualan rokok batangan bakal menekan ekonomi masyarakat ke bawah sebab tidak semua perokok dewasa memiliki kemampuan untuk membeli rokok secara bungkusan. Terlebih, banyak pedagang kecil yang memang mengandalkan penjualan rokok secara batangan untuk mempertahankan usahanya.

Ketua Umum Komite Ekonomi Rakyat Indonesia (KERIS), Ali Mahsun menjelaskan, pedagang kecil, misalnya pedagang asongan, menjual rokok secara batangan lantaran keterbatasan modal. Oleh karena itu, mereka hanya bisa membeli beberapa bungkus rokok untuk kemudian dijual kembali secara batangan.

Misalnya, pedagang asongan menjual rokok Rp23.500 per bungkus, keuntungan mereka hanya Rp1.500. Tapi, kalau dijual batangan bisa sampai Rp6.500.

“Belum lagi modal mereka ini kecil. Jadi, bukan sekedar omzet dan keuntungan, tapi kita juga harus memikirkan agar pedagang asongan ini tidak kehilangan pekerjaan,” terang Ali Mahsun.

KERIS dan sejumlah elemen masyarakat belum lama ini telah mendeklarasikan “Gerakan Nasional Pedagang dan Rakyat Kecil: Rokok Bukan Untuk Anak” sebagai komitmen mereka dalam menekan prevalensi perokok anak berusia di bawah 18 tahun dalam upaya menyelamatkan generasi penerus bangsa.

Oleh karenanya, ia meminta agar pemerintah membatalkan rencana revisi atas PP 109/2012

Penolakan terhadap rencana revisi PP 109/2012 ini juga akan disampaikan melalui pengiriman surat kepada Presiden Joko Widodo. Tujuannya, agar Presiden dapat membatalkan revisi PP 109/2012 yang dinilai meresahkan para pedagang dan rakyat kecil.

“Kami mendesak Presiden Republik Indonesia, Bapak Joko Widodo, untuk membatalkan rencana revisi PP 109/2012, yang di dalamnya terdapat rencana larangan penjualan rokok batangan. Karena kami tak ingin jutaan rakyat kehilangan mata pencaharian yang layak,” tegas Ali.

Baca juga artikel terkait ROKOK atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Abdul Aziz