Menuju konten utama

Beban Sejarah Tambah Panjang jika Pelaku 22 Mei Tak Terungkap

Indonesia punya banyak beban sejarah pelanggaran HAM masa lalu. Daftarnya akan semakin panjang jika kematian sembilan orang dalam kerusuhan 22 Mei tak juga terungkap.

Beban Sejarah Tambah Panjang jika Pelaku 22 Mei Tak Terungkap
Personel kepolisian mengamankan jalannya Aksi 22 Mei yang ricuh di depan kantor Bawaslu, Jakarta, Rabu (22/5/2019). ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto/wsj.

tirto.id - Sembilan orang tewas dalam kerusuhan di Jakarta pada 21-22 Mei lalu, setidaknya demikian menurut catatan Komnas HAM. Polisi telah menyelidiki kasus ini kira-kira tiga pekan, tapi belum juga terang siapa dalang di balik itu, atau bahkan eksekutor lapangannya sekalipun.

Aktivis HAM terus mendesak polisi serius menuntaskan kasus. Sebab ada konsekuensi serius jika kasus tak terungkap: pemerintahan saat ini, yang dipimpin seorang sipil bernama Joko Widodo, akan punya beban sejarah sebagaimana Orde Baru dengan kasus-kasus pelanggaran HAM-nya. Ini bakal jadi ironi lantaran salah satu janji kampanye Jokowi pada 2014 adalah menyelesaikan kasus HAM masa lalu.

Versi Komnas HAM, ada empat orang meninggal karena luka tembak, satu karena kehabisan napas kena gas air mata, sisanya belum jelas. "Yang lain itu mati belum dikonfirmasi. Kami harus berkunjung," ujar Komisioner Komnas HAM, Beka Ulung Hapsara kepada reporter Tirto, Selasa (11/6/2019).

Belakangan, Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik menyebut ada dua korban tewas karena peluru tajam.

Liani, tante Widianto Rizky Ramadhan, salah satu korban yang ter(di)tembak di Petamburan dan dimakamkan di Karet Bivak, menuduh polisilah yang mesti bertanggung jawab atas kematian keponakannya.

"Mana peluru boongan, peluru karet, itu keponakan saya kena tembak di leher, meninggal, sama polisi," ujar Liani di RSUD Tarakan kala hendak menjemput jenazah keponakannya tersebut, Rabu (22/5/2019).

Polisi berkali-kali menegaskan kalau mereka tak menggunakan peluru tajam saat menghadapi massa yang mengamuk. Namun, Kontras menilai wajar jika muncul asumsi peluru itu memang punya polisi.

"Saya rasa wajar asumsi ini," kata Wakil Koordinator Bidang Strategi dan Mobilisasi Kontras Feri Kusuma.

Beban Sejarah

Koordinator Kontras Yati Adriyani adalah salah satu pihak yang mendesak kasus segera dituntaskan karena alasan "beban sejarah". Kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu yang belum juga terungkap di antaranya pembantaian pasca 30 September 1965, penculikan aktivis periode reformasi, dan Tragedi Semanggi I dan II. Jika tak selesai, kasus ini akan menambah panjang daftar tersebut.

Alasan lain kenapa kasus ini mesti segera dituntaskan adalah kemungkinan kasus serupa terulang lagi di masa depan. Pelaku--siapa pun itu--merasa aman karena mencabut nyawa orang ternyata tak mendapat hukuman.

"Pola-pola serupa akan sangat mungkin terjadi lagi di masa depan," kata Yati kepada reporter Tirto, Kamis (23/5/2019).

Masalahnya, keseriusan polisi untuk menuntaskan kasus ini diragukan, misalnya oleh Direktur Kantor Hukum dan HAM Lokataru Haris Azhar. Dia menilai kinerja tim pencari fakta Polri--yang dibentuk untuk mendalami kasus kematian di 21-22 Mei--masih jauh dari kata optimal. Justru lembaga swadaya masyarakat dan Komnas HAM yang lebih terlihat bekerja keras, katanya.

Polisi malah terlihat membedakan penyelidikan antara kepemilikan senjata api ilegal, kata Haris, dengan timbulnya korban jiwa dalam peristiwa tersebut.

"Dalam kasus kematian sembilan orang ini, saya justru mau bilang polisi menutupi kejahatan. Bukan mengungkap kejahatan tapi menutupi kejahatan. Itu yang dilakukan polisi," tegas Haris kepada reporter Tirto, Kamis (13/6/2019).

TGPF

Agar kasus ini benar-benar tuntas, Kontras berharap pemerintah membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) atau Tim Pencari Fakta (TPF). Sifat tim ini mestilah independen dan terdiri dari gabungan penegak hukum dan masyarakat sipil.

"Ini peristiwa besar dan harus melibatkan komponen lain di luar kepolisian," kata Wakil Koordinator Kontras Bidang Strategi dan Mobilisasi, Feri Kusuma.

Meski Polri sudah memiliki tim pencari fakta, Feri menegaskan itu tidak cukup. Perlu ada tim gabungan karena akan lebih transparan.

"Jokowi sebagai kepala negara bertanggung jawab untuk mengurai peristiwa ini dan memastikan supremasi hukum dan penegakan HAM. Kami mendorong presiden membentuk tim pencari fakta peristiwa 21-22 yang independen," ujar Feri lagi.

Polisi sendiri menjelaskan alasan kenapa mereka belum juga berhasil mengungkap pelaku penembakan. Kabag Penum Divisi Humas Polri Kombes Asep Adi Saputra di Mabes Polri, Rabu (12/6/2019), mengatakan mereka tidak tahu di mana semua korban meninggal, sebab, "korban-korban yang diduga pelaku aksi rusuh ini langsung diantarkan ke rumah sakit." Sementara lokasi korban penting diketahui.

"Kami harus tahu bagaimana arah tembak, jarak tembak dan sebagainya. Jadi olah TKP itu penting," sambung Asep.

Sementara itu, Kapolri Jenderal Tito Karnavian tampaknya menolak pembentukan TGPF. Ia lebih memilih menggandeng Komnas HAM buat menuntaskan kasus ini.

"Untuk apa ada TGPF kalau seandainya kalau Komnas HAM adalah otoritas resmi yang dibentuk oleh UU dan bukan posisinya di bawah presiden, apalagi di bawah Polri," tutur Tito.

"Kami percayakan kepada Komnas HAM dan tim investigasi untuk bisa menembus ke dalam institusi sendiri. Karena TGPF untuk menembus sangat sulit untuk meminta outsider. Tapi insider lebih mudah menembus. Tapi membuka ruang kepada outsider yang merupakan otoritas resmi," sambung Tito.

Baca juga artikel terkait AKSI 22 MEI atau tulisan lainnya dari Felix Nathaniel

tirto.id - Hukum
Reporter: Felix Nathaniel
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Rio Apinino