Menuju konten utama

Beban Hidup Masyarakat Kian Bertambah Bila Sembako Dikenakan Pajak

Pemerintah seharusnya mencari sumber lain untuk pendapatan negara, bukan dengan mengenakan tarif pajak atas bahan kebutuhan pokok.

Beban Hidup Masyarakat Kian Bertambah Bila Sembako Dikenakan Pajak
Pedagang menata karung-karung berisi beras yang dijual di Pasar Minggu, Jakarta, Kamis (10/6/2021). ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/foc.

tirto.id - Anggota Komisi IX DPR RI Netty Prasetiyani tidak sepakat dengan rencana pemerintah yang akan mengenakan tarif pajak atas bahan kebutuhan pokok. Kebijakan tersebut dinilai Netty akan menambah beban hidup masyarakat dalam kondisi pandemi Covid-19.

"Pemerintah harus peka dengan kondisi masyarakat saat ini. Berhentilah menguji kesabaran rakyat dengan membuat kebijakan yang tidak masuk akal," ujar Netty dalam keterangan tertulis, Kamis (10/6/2021).

Alih-alih menaikan pajak, Netty meminta pemerintah mencari sumber lain untuk pendapatan negara. Pemerintah mestinya bisa lebih serius melakukan efisiensi pengelolaan anggaran dan memastikan tidak terjadi tindak pidana korupsi dan kebocoran anggaran.

Ia khawatir adanya pajak untuk bahan kebutuhan pokok akan memengaruhi kualitas hidup layak masyarakat dan akibatnya kesehatan masyarakat miskin menjadi rentan mengalami penurunan.

"Saat ini saja angka stunting dan gizi buruk kita masih tinggi, bahkan stunting kita nomor empat tertinggi di dunia," ujar politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu.

Kekhawatiran juga diungkapkan Wakil Ketua DPR Muhaimin Iskandar. Menurut Muhaimin langkah tersebut berpotensi semakin memberatkan kehidupan masyarakat bawah dan kontraproduktif dengan upaya pemerintah menekan ketimpangan melalui reformasi perpajakan dalam revisi UU KUP.

“Saya kira perlu ditinjau ulang. Apalagi kebijakan tersebut digulirkan di masa pandemi dan situasi perekonomian saat ini yang sedang sulit,” kata Muhaimin.

Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) itu menilai jika bahan pokok dikenakan PPN maka akan semakin membebani masyarakat. Kebijakan ini tentu saja bertolak belakang dengan kebijakan membebaskan pajak untuk mobil dan rumah.

“Itu kan jadi saling bertentangan. Kalau kita ingin perkembangan ekonomi nasional secara agregat, seharusnya jangan tambah beban masyarakat kecil dengan PPN,” kata Muhaimin.

Bahan pangan selama ini tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Ini menurut UU Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas UU No 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Pasal 4A Ayat 2 UU tersebut berbunyi:

Jenis barang yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai adalah barang tertentu dalam kelompok barang sebagai berikut:

a. barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya;

b. barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak;

c. makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya, meliputi makanan dan minuman baik yang dikonsumsi di tempat maupun tidak, termasuk makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha jasa boga atau katering; dan

d. uang, emas batangan, dan surat berharga.

Pemerintah berniat mengubah pasal tersebut. Menurut draf RUU KUP yang diperoleh Tirto, pasal 4A berganti menjadi: Jenis barang yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai yakni barang tertentu dalam kelompok barang sebagai berikut:

a. dihapus;

b. dihapus;

c. makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya, meliputi makanan dan minuman baik yang dikonsumsi di tempat maupun tidak, termasuk makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha jasa boga atau katering, yang merupakan objek pajak daerah dan retribusi daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang pajak daerah dan retribusi daerah; dan

d. uang, emas batangan untuk kepentingan cadangan devisa negara, dan surat berharga.

RUU KUP tentang Perubahan Kelima atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang diusulkan oleh pemerintah sudah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2021 dan Prolegnas 2020—2024. Pemerintah dan DPR akan segera membahas RUU KUP ini untuk kemudian disahkan.

Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis, Yustinus Prastowo memberikan penjelasan melalui akun Twitter-nya.

Yustiunus menjelaskan, bahwa pandemi membuat penerimaan pajak turun sehingga menyebabkan penerimaan negara bertumpu pada pembiayaan utang. Kini, pemerintah sedang berupaya untuk memikirkan cara lain memaksimalkan penerimaan pajak dan tak bergantung pada utang, setelah pandemi berakhir.

Pemerintah pun mulai memikirkan formula yang menjamin keberlanjutan fiskal jangka menengah/panjang. Salah satu yang dipikirkan pemerintah adalah pengenaan multitarif PPN. Menurut Yustinus, penerimaan PPN selama ini tidak maksimal. Salah satu penyebabnya adalah terlalu banyak pengecualian dan fasilitas.

Pengenaan pajak atas bahan pokok membuat pemerintah dikritik. Yustinus mengakui hal itu karena memang pemerintah membutuhkan uang, apalagi saat pandemi.

“Tapi dipastikan pemerintah tak akan membabi buta. Konyol kalau pemulihan ekonomi yang diperjuangkan mati-matian justru dibunuh sendiri,” jelasnya.

Ia memastikan, pengenaan PPN atas bahan pangan pokok ini akan diterapkan secara bertahap dan menunggu ekonomi pulih.

Baca juga artikel terkait PAJAK BAHAN KEBUTUHAN POKOK atau tulisan lainnya dari Alfian Putra Abdi

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Alfian Putra Abdi
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Bayu Septianto