Menuju konten utama

Beban Berlapis Orang-Orang yang Ditinggal Bunuh Diri

Efek psikologisnya lebih besar dibanding peristiwa kematian karena alasan lain.

Beban Berlapis Orang-Orang yang Ditinggal Bunuh Diri
Ilustrasi seorang pemuda sedang bersedih. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Catatan kasus bunuh diri di Indonesia bertambah lagi. Kali ini, pelaku bunuh diri adalah MV, seorang karyawati bank berusia 26 tahun. Ibu dari bocah delapan bulan ini diduga terjun dari lantai 10 Apartemen Thamrin City dan ditemukan tewas pada Senin (8/1/2018).

Menurut keterangan ayah MV, pada Senin pagi saat ditemui Tirto di kediamannya di Yogyakarta, perempuan itu pamit keluar untuk membeli bubur kepada suaminya, tetapi ia tidak kunjung kembali. Tidak lama kemudian, setelah suami MV melapor ke polisi, P mendapat kabar kalau putrinya sudah tiada.

Selama ini, ia tidak melihat adanya tanda-tanda MV tengah menghadapi masalah besar atau sedang depresi. "Dia anaknya sumeh (murah senyum, ramah), baik-baik saja, saya kaget pas tau dia enggak ada, karena memang enggak ada apa-apa. Sebagai ayahnya, saya enggak pernah terlalu mengekang dia atau terlalu membebaskan," tutur sang ayah.

Dari kacamata sang ayah, relasi MV dan suaminya pun baik-baik saja. MV juga tidak banyak cakap soal urusan pekerjaannya kepada orangtua.

Sisi Psikis Orang Terdekat yang Ditinggal Bunuh Diri

Ayah MV dan sebagian orang-orang terdekat pelaku bunuh diri tidak menyangka peristiwa kehilangan tiba-tiba mesti mereka alami. Shock yang lebih besar bisa terjadi ketika tidak tampak adanya perubahan sikap atau keluhan-keluhan tertentu yang mengindikasikan adanya problem dalam kehidupan pelaku bunuh diri.

Shock ini diikuti oleh perasaan campur aduk dalam diri orang-orang terdekat yang ditinggalkan. Dalam situs Harvard Health Publishing tercantum, marah, merasa ditolak, atau ditinggalkan adalah beberapa contoh perasan yang bisa muncul di samping sedih. Di satu sisi, pelaku bunuh diri bisa saja dipandang tengah menghadapi masalah mental atau tertekan oleh situasi tertentu.

Namun di sisi lain, tindakannya juga dapat dipandang sebagai pengabaian atau penolakan terhadap orang-orang di sekitar yang mempedulikannya. Sebagai tambahan, menurut American Association of Suicidology, emosi lain yang dapat muncul dalam diri orang-orang terdekat yang ditinggalkan ialah putus asa, mati rasa, malu, menyangkal diri, kesepian, dan kebingungan.

Perasaan campur aduk semakin menjadi saat yang mengalami peristiwa pahit tersebut adalah anak kecil. Mereka dapat berpikir bahwa perasaan yang mereka miliki tidak bisa diterima sehingga serapat mungkin mereka coba tutupi dari orang lain. Upaya-upaya mengeblok perasaan pun dilakukan, salah satunya dengan cara tidak membicarakan atau memikirkan orang yang bunuh diri karena mereka merasa telah dikhianati atau ditolak olehnya.

Baca juga: Memahami Duka dan Kesedihan Anak

Di samping itu, kepergian tiba-tiba dengan bunuh diri dapat pula meninggalkan trauma mendalam, gangguan kecemasan, bahkan sampai PTSD (post traumatic stress disorder). Dalam kasus PTSD, trauma akan menimbulkan kecenderungan dalam diri seseorang untuk menghindari hal-hal yang memicu memori buruknya. Alih-alih menerima dan berdamai dengan kenyataan, ia akan terus berlari dalam pusaran kesakitannya sendiri.

Trauma ini juga bisa tak kunjung mereda lantaran orang-orang yang ditinggalkan mesti menjalani proses investigasi. Semakin sering mereka mendapat pertanyaan-pertanyaan terkait pelaku bunuh diri—entah masalah yang sedang dihadapi atau problem mentalnya—semakin mungkin penderitaan psikis mereka berlarut-larut.

Lebih lanjut, ingatan-ingatan akan momen bersama pelaku bunuh diri akan sering muncul dan mengganggu aktivitas sehari-hari seseorang. Hal ini juga bisa diikuti dengan penyesalan luar biasa karena tidak bisa menyelamatkan nyawa orang terdekatnya. Beban psikis akan semakin bertambah bila faktor yang mendorong seseorang bunuh diri adalah sesuatu yang bisa dikendalikan seseorang tetapi tidak dilakukannya, sehingga hal ini mendatangkan penyalahan dari orang-orang lain.

Dalam kasus MV, bayinya terpaksa tumbuh tanpa mengenal sosok ibu kandungnya sejak ia belum mengerti apa-apa. Pengalaman ini nyaris serupa dengan Frances Bean Cobain yang ditinggal bunuh diri ayahnya, vokalis Nirvana Kurt Cobain, pada saat ia bahkan belum menginjak usia 2. Perkenalan dengan sosok orangtuanya hanya didapatkan dari orang-orang sekitar, bukan dari pengalaman berinteraksi langsung dengan pihak terkait.

Ketika membicarakan soal orangtua yang mati bunuh diri, anak tidak sepatutnya dihindarkan dari fakta pahit tersebut meski tujuannya adalah ‘melindungi’ mereka. Menyembunyikan fakta akan menambah rumit masalah di kemudian hari, apalagi bila anak lantas tahu dari sumber lain yang bukan keluarganya. Tentu ada pendekatan lain dalam menjelaskan situasi kompleks bunuh diri kepada anak-anak sehingga pilihan kata atau caranya pun perlu disesuaikan dengan tahapan usia mereka.

Memulai membicarakan fakta kepada anak ini akan membantu mereka melewati proses duka yang mungkin lebih pelik daripada orang dewasa. Pasalnya, anak-anak tidak selamanya bisa secara gamblang mengekspresikan emosi mereka saat kehilangan orang yang dicintai. Kadang mereka bisa terlihat beraktivitas normal, bergeming saja, atau meledak tiba-tiba lantaran belum mampu mengontrol emosi akibat kejadian kehilangan mendadak yang dialami.

infografik ketika yang terdekat bunuh diri

Hidup Terus Berjalan

“Menghindari ketakutan, kesedihan, dan kemarahan bukan berarti menjadi bahagia. Saya hidup dengan kesedihan setiap hari, tetapi saya tidak membencinya… Ini tidak mudah. Kenyataannya, saya perlu mengerahkan usaha lebih untuk melakukannya dibanding memilih tetap sedih…dan untuk orang-orang yang menderita depresi, saya tahu betapa gelap dan terasa tak berujungnya terowongan yang kalian lalui, tetapi bila kebahagiaan mungkin untuk didapatkan, teruslah berharap sekalipun itu melelahkan. Karena saya pastikan, akan ada saat untuk saling berbagi, tidak peduli bagaimana dan kapan kamu menemukan jalan menuju ke sana.”

Tulisan ini adalah petikan surat terbuka di Instagram yang dibuat oleh Zelda Williams, putri aktor Robin Williams, setahun setelah ayahnya bunuh diri pada 2014.

Kematian Robin tentu sempat membuat situasi psikis Zelda terjun bebas. Ia sempat menyendiri setelah mengalami peristiwa traumatis tersebut. Dilansir People, pada saat-saat menyendiri, aktris ini mencoba mengalihkan perhatiannya dengan menulis sampai 17 naskah.

Namun, kesendirian yang dipilih Zelda tetap membuatnya berpikir lagi, apakah hal tersebut memang yang benar-benar dibutuhkannya. Ia pun selanjutnya memutuskan untuk keluar lebih sering dan melakukan macam-macam aktivitas sehingga kariernya di dunia akting tetap tumbuh.

“Saya hanya terus berkata, 'Oke, saya akan bangun hari ini dan mencintai hal yang saya kerjakan. Besok, saya akan bangun, menjadi bahagia, dan mencintai yang saya kerjakan. Begitu terus hari berikutnya karena itulah yang bisa dilakukan',” ungkapnya terkait cara melewati perasaan buruk ditinggal bunuh diri ayahnya. Yang terpenting bagi Zelda, setiap ia merasa terpuruk, ia harus ingat untuk tidak berlama-lama lagi menyendiri.

Pilihan Zelda dalam melanjutkan hidup pascakematian Robin memang tampak baik. Akan tetapi, momen-momen ragu, sedih, atau meledak sewaktu-waktu bisa kembali lagi. Zelda pun, sampai dua tahun setelah Robin pergi, masih suka mempertanyakan, “Apa ada yang salah dengan diri saya?”

Baca juga: Efek Berbahaya dari Kasus Bunuh Diri Selebritas

Bila ada yang menganggap anak-anak yang ditinggal mati bunuh diri orangtuanya akan berpikiran setali tiga uang di kemudian hari, sikap Frances Bean Cobain membuktikan hal lain.

Pada 2014, ABCNews menulis, penyanyi Lana Del Rey sempat mengatakan kepada The Guardian, “Aku harap aku sudah mati” dalam konteks membicarakan penyanyi-penyanyi kesukaan yang bunuh diri pada usia 27 seperti Kurt Cobain dan Amy Winehouse.

Frances memberikan reaksi keras lewat Twitter kepada Del Rey dengan berkata bahwa kematian musisi muda bukanlah sesuatu yang patut diromantisasi. Ia tidak pernah mengenal ayahnya karena Kurt mati muda dan hal tersebut dianggap keren karena perkataan orang-orang seperti Del Rey.

“Ini hal yang sama sekali tidak keren. Jalani hidup karena hidup hanya sekali. Orang-orang yang kamu sebutkan menyia-nyiakan hidupnya. Jangan menjadi salah satu orang seperti itu,” demikian petikan ucapan Frances kepada Del Rey.

Kemudian, Del Rey pun memberikan klarifikasi bahwa saat membicarakan ayah Frances dan penyanyi ‘klub 27’ lainnya, ia tidak bermaksud meromantisasi aksi bunuh diri mereka, melainkan berfokus pada talenta penyanyi-penyanyi yang mati muda tersebut.

Baca juga: Kutukan Meninggal di Usia 27

Bagi sebagian pihak, membicarakan soal bunuh diri dipandang sebagai hal tabu sehingga penyelesaian masalah mental orang-orang terdekat yang ditinggalkan kian tertunda dilakukan. Alih-alih terus menghindari pembicaraan ini dan mengamini stigma yang ada, wacana tentang efek bunuh diri bagi pihak yang ditinggalkan perlu diangkat ke permukaan.

Setiap orang punya proses berbeda dalam menghadapi duka dan variasi temuan studi atau perbincangan tentang bunuh diri akan membantu orang-orang yang terkait dengan mereka untuk memahami situasi dan membantu pemulihan psikisnya.

========================

Jika Anda merasakan tendensi untuk melakukan bunuh diri, atau melihat teman atau kerabat yang memperlihatkan tendensi tersebut, amat disarankan untuk menghubungi dan berdiskusi dengan pihak terkait, seperti psikolog atau psikiater maupun klinik kesehatan jiwa. Salah satu yang bisa dihubungi adalah Into the Light yang dapat memberikan rujukan ke profesional terdekat (bukan psikoterapi/ layanan psikofarmaka) di intothelight.email@gmail.com.

Baca juga artikel terkait BUNUH DIRI atau tulisan lainnya dari Patresia Kirnandita

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Patresia Kirnandita & Dipna Videlia Putsanra
Penulis: Patresia Kirnandita
Editor: Maulida Sri Handayani