Menuju konten utama
Revisi KUHP

Bebalnya DPR & Pemerintah Ngotot Bawa RKUHP ke Rapat Paripurna

Isnur menilai pasal-pasal bermasalah RKUHP seharusnya diselesaikan terlebih dahulu oleh pemerintah dan DPR.

Bebalnya DPR & Pemerintah Ngotot Bawa RKUHP ke Rapat Paripurna
Masas dari Aliansi Nasional RKUHP melakukan aksi damai di Jakarta, Selasa (23/8/2022). ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga/hp.

tirto.id - Pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) tinggal menunggu waktu. Komisi III DPR RI bersama pemerintah yang diwakili Kemenkumham menyatakan pembahasan RKUHP sudah selesai dan tinggal dibawa ke rapat paripurna.

“Hadirin yang kami hormati, kami meminta persetujuan kepada seluruh hadirin dan pemerintah agar RKUHP ini untuk dilanjutkan pada rapat paripurna terdekat,” kata Wakil Ketua Komisi III DPR, Adies Kadir di Ruang Komisi III, Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (24/11/2022).

Adies Kadir pun meminta perwakilan fraksi dan perwakilan pemerintah, yaitu Wakil Menteri Hukum dan HAM, Edward Omar Sharif Hiariej menandatangani draf persetujuan kesepakatan.

Secara terpisah, Edward mewakili Presiden Joko Widodo berterima kasih kepada DPR yang mengesahkan RKUHP pada tingkat I. Ia mengatakan, pembahasan RKUHP berakhir disepakati semua pihak karena permintaan fraksi-fraksi di DPR telah terakomodir dalam RKUHP.

“Sehingga pembahasan tadi sangat cepat dan bisa lolos di tingkat pertama,” kata dia.

Edward menekankan, RKUHP tidak bisa memuaskan semua pihak termasuk yang diajukan oleh koalisi masyarakat sipil dan Dewan Pers. “Setiap isu dalam RKUHP pasti penuh kontroversi, maka tugas pemerintah dan DPR menjelaskan mengapa mengambil pilihan A bukan B,” jelasnya.

Pernyataan Edward bukan tanpa alasan. Tidak semua fraksi sepakat untuk mengesahkan RKUHP, misalnya, Fraksi PKS. Mereka menolak sejumlah pasal dalam RKUHP karena dinilai bertentangan dengan aturan demokrasi dan kebebasan berpendapat.

“PKS konsisten menolak terhadap rumusan delik-delik penghinaan terhadap presiden dan lembaga-lembaga negara. Dalil-dalil tersebut dirasakan kental akan semangat feodalisme dan kolonialisme yang sejatinya ingin direformasi dari KUHP yang lama,” kata anggota Komisi III DPR dari Fraksi PKS, Achmad Dimyati Natakusumah.

Selain itu, Dimyati mengkritik pemerintah, terutama Tim Sosialisasi RKUHP yang kurang menyerap aspirasi publik. Menurutnya, sejumlah aspirasi masyarakat belum tersalurkan dalam RKUHP yang akan disahkan tersebut.

Dewan Pers juga mengkritik dan meminta agar Presiden Jokowi menunda pengesahan RKUHP. Pelaksana Tugas (Plt) Ketua Dewan Pers, Muhamad Agung Dharmajaya menilai, RKUHP masih bermasalah karena berpotensi membatasi kemerdekaan pers.

“Secara substansi RUU KUHP masih bermuatan membatasi kemerdekaan pers dan berpotensi mengkriminalisasikan karya jurnalistik. Secara prosedural, Dewan Pers juga belum menerima respons balik yang resmi dari pemerintah atas usulan yang telah Dewan Pers sampaikan pada pemerintah pada 20 Juli 2022,” kata Agung dalam keterangan resmi, Minggu (20/11/2022).

Dewan Pers mengaku mendukung pembaruan KUHP, tapi mereka mendorong agar ada simulasi kasus terhadap beberapa pasal yang berpotensi menghalangi kemerdekaan pers. Dewan Pers pun meminta transparansi draf RKUHP dari pemerintah yang dikirim ke DPR sehingga bisa dengan mudah diakses masyarakat luas.

RAKER PENYEMPURNAAN RKUHP

Wamenkumham Edward Omar Sharif Hiariej menyampaikan paparannya dalam rapat kerja bersama Komisi III DPR di kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (24/11/2022). ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/rwa.

Pasal Bermasalah Tak Diubah

Ketua Umum YLBHI, M. Isnur menyayangkan langkah pemerintah dan DPR yang justru tergesa-gesa ingin mengesahkan RKUHP. Padahal, kata Isnur, masih ada banyak masalah dalam pasal-pasal di RKUHP.

“Kami juga bertanya mengapa DPR dan pemerintah tergesa-gesa untuk mengesahkan? Padahal itu sedikit lagi, sekitar 16 isu yang masih bermasalah dan kami tidak tahu apa agenda dan kehendak dari mereka, sehingga sangat tergesa-gesa, padahal masih ada waktu, masih ada kesempatan,” kata Isnur kepada Tirto, Jumat (25/11/2022).

Isnur menilai pasal-pasal bermasalah RKUHP seharusnya diselesaikan terlebih dahulu oleh pemerintah. Ia melihat masukan koalisi masyarakat sipil juga tidak diakomodir oleh DPR. Sebagai contoh, pasal ancaman pidana bagi masyarakat yang berdemo tanpa pemberitahuan masih ada dalam RKUHP terbaru.

“Itu, kan, jelas mengancam demokrasi, mengancam bisa mempidanakan siapa saja di besok-besok hari," kata Isnur.

Karena itu, Isnur mendesak pemerintah dan DPR memperbaiki pasal-pasal bermasalah dan mencabut pasal-pasal antidemokrasi. “Kemudian berikan kesempatan masyarakat sipil ikut terlibat berpartisipasi dalam perbaikan pasal-pasal tersebut,” tegas Isnur.

Sementara itu, Ketua Badan Pengurus Persatuan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) Julius Ibrani menilai, upaya buru-buru mengesahkan RKUHP membuktikan tuduhan bahwa pembahasan tidak terbuka, tidak partisipatif, dan tidak bermakna. Ia beralasan, perubahan yang diinisiasi pemerintah tidak dilakukan.

“Per pembahasan kemarin perubahan-perubahan itu, perubahan yang sifatnya tidak signifikan dan prinsipnya masih mengatur hal-hal yang sama,” kata Julius kepada Tirto, Jumat (25/11/2022).

Julius mengatakan, belasan pasal bermasalah yang disorot masyarakat sipil masih ada, seperti pidana mati, penghinaan presiden dan wakil presiden negara sahabat, hukuman pelanggaran HAM berat, penghinaan lembaga negara, hingga dalil peghinaan presiden dan kepala negara. Julius menilai, hal itu berbahaya karena dikhawatirkan berpotensi menjadi alat kriminalisasi.

Di sisi lain, Julius juga melihat saran-saran masyarakat sipil tidak diakomodir, termasuk pasal yang sesuai putusan MK. Ia mencontohkan bagaimana pemerintah tetap memasukkan pasal penghinaan presiden padahal sudah diputus dihapus oleh MK.

Ia juga khawatir pasal pemidanaan Marxisme-Leninisme akan menyasar pada kelompok tertentu saat berdemonstrasi sehingga memicu potensi kriminalisasi. Hal itu, kata Julius, terjadi pada para petani yang sedang berkonflik dalam isu konflik agararia.

Julius menilai, aksi pemerintah sudah seperti 'kompeni' di masa kolonial yang tidak menganggap masyarakat sipil sebagai konstituen yang harus dijunjung tinggi. Masyarakat justru dikhianati dan dibohongi dalam isu RKUHP.

Julius menegaskan, “Sosialisasi belasan kali, publikasi di tv dan lain-lain jelas tidak mengubah kondisi bahwa penyusunan tidak partisipatif, apalagi bermakna. Perubahan beberapa pasal tidak signifikan.”

AKSI TOLAK RKUHP BERMASALAH

Sejumlah mahasiswa dari beberapa universitas berunjuk rasa terkait pengesahan Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) di kawasan patung Arjuna Wijaya, Jakarta, Selasa (21/6/2022). ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/rwa.

Klaim DPR dan Respons Pemerintah

Wakil Ketua DPR, Sufmi Dasco Ahmad mengklaim, pasal-pasal yang kontroversial dinilai sudah dipertimbangkan oleh DPR dan dikaji lebih jauh, meski ada catatan dari beberapa partai.

“Mungkin kita minta DPR dan pemerintah untuk sosialisasikan kepada masyarakat mengenai hal-hal krusial supaya masyarakat mengerti karena ada beberapa pasal sebenarnya sudah kita harmonisasikan, harusnya nggak jadi polemik,” kata Dasco di Jakarta, Jumat (25/11/2022).

Dasco juga menegaskan, DPR akan tetap mengesahkan RKUHP sebelum masa reses. Ia pun mempersilakan publik yang tidak puas dengan isi RKUHP untuk mengujinya di MK. Ia berdalih, Indonesia sudah perlu RKUHP baru karena sebelumnya sempat tertunda.

“Kita, kan, ada jalur konstitusional. Yang tidak puas boleh upaya ke MK, misal. Karena kita punya RKUHP, sudah saatnya disahkan,” kata Dasco.

Sementara itu, Juru Bicara Anggota Tim Sosialisasi RKUHP, Albert Aries membantah klaim masyarakat sipil bahwa RKUHP tidak bermakna dan tidak partisipatif. Ia menegaskan pemerintah mengakomodasi kritik publik.

“Tidak benar jika dikatakan bahwa penyelesaian pembahasan RKUHP tidak partisipatif dan bermakna, sebab cukup banyak masukan dan aspirasi masyarakat sipil yang sudah diakomodosi perumus RKUHP,” kata Aries kepada Tirto, Jumat (25/11/2022).

Aries mencontohkan penghapusan kata “dapat” dalam penjatuhan pidana mati sebagai pidana khusus yang bersifat alternatif, reformulasi pasal penodaan agama yang telah disesuaikan dengan konvensi hak sipil dan politik (ICCPR), dan pencabutan Pasal 27 ayat 1 dan 3 serta Pasal 28 ayat 2 UU ITE dari ketentuan sektoralnya. “Bukankah itu adalah masukan dan aspirasi masyarakat sipil dan para aktivis?” kata Aries bertanya balik.

Aries meminta publik jangan sekali-kali mengartikan partisipasi yang bermakna dalam penyusunan UU sebagai penerimaan penuh atas seluruh masukan atau usulan yang diberikan, apalagi memaksakan pendapat yang sesungguhnya bukan merupakan ciri berdemokrasi.

Ia menegaskan, penyesuaian sanksi pidana atas tindak pidana pelanggaran HAM berat yang diatur dalam Bab Tindak Pidana Khusus di RKUHP sudah dihitung dan diukur secara objektif berdasarkan modified delphi method dan hanya mengambil core crimes dari UU sektoralnya.

Mengenai tindak pidana pengembangan atau penyebaran komunisme, Marxisme-Leninisme, kata dia, sudah ada sejak dahulu dalam UU No. 27 tahun 1999 tentang Perubahan KUHP berkaitan dengan kejahatan keamanan negara. Dia sebut, pasal-pasal itu tidak pernah dibatalkan MK dan memiliki pengecualian bagi yang melakukan kajian terhadap ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme untuk kepentingan ilmu pengetahuan.

Selanjutnya, Pasal 218 RKUHP tentang penyerangan harkat dan martabat diri presiden/wapres dan juga Pasal 240 RKUHP tentang penghinaan terhadap pemerintah atau lembaga negara, sudah dimerger dengan Pasal 347 RKUHP. Ia klaim semua sudah diberikan uraian penjelasan yang cukup untuk dapat membedakan mana kritik dan delik (penghinaan).

Ia juga menegaskan, “Sama sekali tidak membatasi kebebasan berekspresi dan berdemokrasi, serta mengadopsi ketentuan Pasal 6 huruf d UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers yaitu kritik, saran, koreksi yang berkaitan dengan kepentingan umum,” kata Aries.

DEMO MAHASISWA TOLAK RKUHP

Ribuan mahasiswa memadati Jalan Gerbang Pemuda menuju depan Gedung DPR/MPR, Jakarta, Senin (30/9/2019). ANTARA FOTO/Reno Esnir/ama.

Baca juga artikel terkait RKUHP atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Politik
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz