Menuju konten utama

Bayang-bayang Risiko Mata Uang Kripto dan Bitcoin di 2018

Ketakutan akan merosotnya harga Bitcoin dan mata uang kripto lainnya secara tiba-tiba masih hangat diperbincangkan. Benarkah masa depan uang digital ini makin terpuruk di 2018?

Bayang-bayang Risiko Mata Uang Kripto dan Bitcoin di 2018
Ilustrasi bitcoin. Getty Images/iStock Editorial

tirto.id - Mata uang kripto jadi buah bibir di sepanjang 2017 kemarin. Harga sang raja mata uang kripto: Bitcoin terus meroket.

Awal pekan Agustus, Bitcoin membuat rekor baru: untuk pertama kalinya, harga 1 Bitcoin lebih mahal daripada 1 ons emas. Waktu itu setara US$4 ribuan, atau sekitar Rp55-56 juta.

Bila ditilik lebih ke belakang, pencapaian itu lebih bombastis. Pada 2012 lalu, harga 1 BTC (satuan Bitcoin) adalah sekitar US$15, sekarang? Harganya lebih dari US$15 ribu, sempat diprediksi akan menyentuh US$60 ribu pada 2018.

Para pengamat terbelah, sebagian menganggap hal ini baik: sebagai sebuah kemajuan, lainnya menganggap tren tersebut tak akan berumur panjang. Biasa disebut dengan istilah Bitcoin Bubble—sebuah keadaan harga sebuah komoditas terus meroket sehingga membentuk gelembung, yang dikhawatirkan dapat pecah pada sewaktu-waktu.

“Sebut saja ‘gelembung’ kalau Anda suka, tapi bisakah Anda benar-benar menjauh dari mata uang kripto?” ungkap ahli analisis pasar Naeem Aslam, membuka tulisannya dalam Forbes tentang prediksi nasib mata uang kripto pada 2018.

Aslam yang mengaku memiliki mata uang kripto seperti Ether, Ripple, Bitcoin ini memperkirakan selama 2018 ini, investasi pada mata uang kripto tetap akan jadi tren dan sama sekali tak akan merugikan. Ia sendiri tak menampik kalau kekhawatiran tentang gelembung itu masuk akal. “Melihat angka ini membuat Anda berpikir bahwa tak disanksikan lagi (kejadian) ini adalah bubble, sebab pertumbuhan segini besar memang belum pernah terjadi sebelumnya,” tulis Aslam.

Namun baginya, pertanyaan paling penting dari kondisi itu adalah: bisakah tetap menghasilkan uang selagi Anda tetap berpikir bahwa ini bubble? “Jawaban blak-blakannya: jika Anda mampu bertahan kehilangan sejumlah duit yang tak akan mengubah hidup Anda, maka bertaruhlah,” ungkapnya.

Maksud Aslam, jika pendapatan rata-rata orang Amerika berumur 20-64 tahun adalah US$27 ribu sampai 50 ribu per tahun, maka berinvestasi US$100 saja tak akan mengganggu finansial.

Dalam hitung-hitungan Aslam, sambil melihat perkembangan mata uang kripto selama setahun terakhir, berinvestasi $100 dalam Ripple pada Januari 2018 akan membuahkan US$35.259 pada Desember nanti. Bahkan berinvestasi di mata uang kripto yang tidak terlalu tinggi harganya macam MaidSafeCoin, tetap akan menghasilkan $948 pada akhir tahun.

“Jika seorang investor berani menanam US$100 pada 10 mata uang kripto paling tinggi valuasinya, total keuntungan setahun yang diperoleh sampai US$64.707,” tambah Aslam.

Masih dari laporan Forbes, Kenneth Rapoza, pengamat mata uang kripto lainnya juga juga melihat masa depan cerah bagi para investor investasi uang digital ini. Ia melihat Etherum, NEO, dan Ripple adalah contoh mata uang kripto lain dianggap pernah menggeliat.

Etherum misalnya, memang tidak terlalu populer seperti Bitcoin di awal kehadirannya. Dalam 18 bulan pertamanya nilai tukar 1 ETH cuma setara sekitar 10 dolar AS. Baru pada Maret lalu naik perlahan, dan mencapai puncaknya dengan nilai setara US$395 pada Juni 2017, meski kembali jatuh jadi US$155 pada Juli.

Namun, sejak pertama kali keluar pada 2015, nilai Ether—sebutan mata uang Ethereum—naik hingga 2.300 persen sampai pertengahan kuartal II-2017. Kini, pada 24 jam awal Januari kemarin, total koin Ether yang diperdagangkan bernilai hingga setara US$3 miliar.

Total kapitalisasi pasar Ether mencapai US$84,12 miliar. “Yang berarti, teknologi blockchain yang dikembangkan Rusia ini sekarang bernilai sekitar $15 miliar lebih dari perusahaan minyak yang dikendalikan Brazil, Petrobras. Sebuah perusahaan dengan pengalaman lebih dari 60 tahun di pasar minyak dan gas,” ungkap Rapoza.

Saat ini kapitalisasi pasar dari Petrobras sekitar US$71 miliar dengan aset bernilai uang sungguhan, tak seperti Ether.

Di Indonesia, angka peminat alias investor mata uang kripto ini juga ikut tumbuh. Menurut Bitcoin Indonesia, perusahaan exchanger terbesar di dalam negeri, ada sekitar 550 ribu orang yang sudah bergabung berinvestasi. Padahal hanya tercatat sekitar 50 ribuan orang pada 2015.

Bitcoin yang diperkenalkan, 2009 lalu, sebagai alat pembayaran digital global tanpa batas geografi, mulai berdisrupsi menjadi barang komoditas—yang dipakai sebagai aset investasi. Bitcoin disebut-sebut sebagai "emas digital".

Oscar Darmawan, CEO Bitcoin.co.id, mengatakan istilah “Bitcoin Bubble” membuatnya bingung. “Spekulasi soal Bitcoin itu Bubble sudah ada semenjak harga 1 Bitcoin masih satu dolar, 100 dolar, maupun 1.000 dolar. Dan sampai sekarang masih ada spekulasi bubble. Harga Bitcoin naik turun itu, menurut saya masih wajar,” kata Oscar kepada Tirto.

Namun, beda lagi perspektif dari pemerintah Indonesia. Bank Indonesia (BI), selaku regulator justru menilai berinvestasi di mata uang kripto ini sangat berisiko tinggi. "Saya ingin mengatakan resiko itu adalah sesuatu yang jangan diambil enteng. Itu adalah sesuatu yang jangan kemudian disesali kalau seandainya ada masyarakat yang ingin lebih jauh mengetahui tentang Bitcoin," kata Gubernur BI Agus Martowardojo di kompleks Bank Indonesia, Jakarta, Senin (11/12/2017) seperti dikutip dari Antara.

Sebagai mata uang atau alat pembayaran, Bitcoin dan mata uang kripto lainnya ditolak. Sebab dalam undang-undang di Indonesia, ia tak sah jika dijadikan alat pembayaran. Namun, peredarannya sama sekali tak dilarang, selama dianggap sebagai komoditas, seperti emas.

Sekarang hanya tinggal keberanian Anda: ambil risiko atau tidak, di tengah ketidakpastian "uang digital" akan terjadi double atau bubble?

Baca juga artikel terkait BITCOIN atau tulisan lainnya dari Aulia Adam

tirto.id - Bisnis
Reporter: Aulia Adam
Penulis: Aulia Adam
Editor: Suhendra