Menuju konten utama

Bau Kentut Limbah Madukismo Milik Sultan Yogyakarta

Limbah cair pabrik gula dan spiritus Madukismo milik Sultan DIY mencemari lingkungan. Mencemari sumur dan sungai untuk irigasi sawah.

Bau Kentut Limbah Madukismo Milik Sultan Yogyakarta
Ilustrasi Limbah Pabrik Gula dan Spiritus Madukismo. tirto.id/Lugas

tirto.id - Paliyem, pemilik warung makan, mendeskripsikan bau limbah pabrik gula Madukismo yang terletak di Bantul, Yogyakarta, “seperti kentut.” Warnanya kuning pekat dan sedikit kental. Ia bilang limbah bukan cuma menghasilkan bau busuk tapi juga bikin air sumur tidak layak digunakan untuk MCK apalagi dikonsumsi.

“[Warna airnya] kuning seperti karat. Saya memilih menggunakan PAM. Kadang bau tidak enak, tidak bagus. [Kalau airnya dipakai,] [kulit] tangan kaku.”

Limbah itu membuat Paliyem terpaksa mengeluarkan uang Rp70 ribu setiap bulan untuk membeli air penunjang kebutuhan dagang. Sedangkan untuk mandi hingga mencuci baju dia terpaksa menumpang di rumah adiknya agar menghemat tagihan PAM.

Paliyem tidak meminta ganti rugi pada Madukismo. Ia takut berurusan dengan perusahaan tersebut sehingga memilih diam dan mencari solusi sendiri, termasuk membeli air yang membuat pengeluarannya bertambah.

Limbah dan Kekuasaan

Ketakutan Paliyem dapat dimengerti mengingat Madukismo bukan pabrik sembarangan. Pabrik itu milik Sri Sultan Hamengku Buwono X, raja sekaligus Gubernur DIY seumur hidup. Madukismo sudah ada sejak zaman kolonial Belanda, tapi hancur dan tak terurus. Pada 1955, pabrik ini dihidupkan lagi oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Tiga tahun kemudian Presiden Sukarno meresmikan pabrik ini dan diberi nama PT Madu Baru PG/PS Madukismo.

Berdasarkan dokumen perusahaan, Sultan memiliki saham dominan dengan 52 ribu lembar senilai Rp52 miliar. Sisanya dimiliki oleh BUMN PT Rajawali Nusantara Indonesia, sebanyak 28 ribu lembar saham senilai Rp28 miliar. Putri sulung Sultan, GKR Mangkubumi, menduduki komisaris utama di perusahaan ini.

Selain pabrik gula, PT Madu Baru juga memiliki unit usaha lain, yakni pabrik alkohol atau etanol (PS) yang memproduksi spiritus dan kini juga membuat hand sanitizer.

Pabrik tidak memproduksi gula setiap hari. Dalam setahun biasanya hanya dilakukan selama enam hingga tujuh bulan, dimulai pada April atau Mei dan berakhir Oktober. Hal ini karena bahan baku tebu tak bisa didapat setiap saat. Produksi pabrik spiritus juga dilakukan pada periode yang sama. Bulan-bulan di luar itu dimanfaatkan untuk merawat mesin.

Ritual cembengan akan menjadi penanda produksi. Acara tahunan ini menggelar berbagai kegiatan, dari wayang kulit, pasar rakyat, hingga penanaman kepala kerbau atau sapi.

Selama masa produksi, pabrik mempekerjakan kurang lebih 1.000 orang. Jumlah tebu yang digiling dalam satu hari mencapai 3.000 TCD (ton cane day) dan alkohol mencapai 25 ribu liter.

Selain cembengan, bagi warga sekitar, produksi pabrik ditandai bau menyengat limbah di selokan kecil di selatan atau belakang Madukismo. Sisa hasil produksi itu disebut "serat fermentasi."

Kondisi ini tidak hanya dialami Paliyem, melainkan warga yang rumahnya berdekatan dengan sawah.

Ujang, seorang buruh tani yang biasa menggarap sepetak sawah di selatan Madukismo, mengatakan aliran limbah Madukismo mengakibatkan lahan seluas 0,12 hektare tak lagi bisa digunakan. “Sekarang sudah tiga kali [masa tanam] ini enggak saya tanami, kena air limbah dari Madukismo itu,” ujar Ujang. “Airnya kadang kental kayak beras kencur, kadang lembut.”

Menurutnya, tak sedikit yang meyakini bahwa limbah pabrik itu adalah pupuk yang bisa menyuburkan tanah. Masalahnya, limbah ini selalu dalam kuantitas berlebih. “Kalau keluar air seperti beras kencur itu [padi] yang sudah tua pun bisa mati,” katanya.

“Kita mau apa? [Me]ngeringkan enggak bisa, buang ke timur enggak bisa, ke barat enggak bisa. Itu semua fondasi bocor semua,” katanya. “Satu-satunya jalan itu cuma fondasinya dipelur kembali.”

Sama seperti Paliyem, Ujang sebenarnya bisa saja menuntut ganti rugi kepada perusahaan, berdasarkan hitung-hitungan hilangnya potensi penghasilan panen padi sebesar Rp2,5 juta hingga Rp3 juta yang dibagi dengan pemilik sawah. Tapi, hal itu tak dia lakukan. “Mau minta ganti rugi sama Madukismo gimana? Enggak ya gimana? Yowes pasrah saja. Wong saya cuma buruh, nanti dikira neko-neko.”

Madukismo PT Madu Baru

Sejumlah pekerja mengawasi proses penggilingan tebu di Pabrik Gula dan Pabrik Spritus (PG/PS) Madukismo di Bantul, Yogyakarta, Minggu (13/5/12). (FOTO ANTARA/Sigid Kurniawan)

Walikun, buruh tani yang pernah bekerja di Madukismo, menghadapi persoalan serupa. Saat kedua pabrik itu memproduksi bertepatan dengan masa tanam padi, Walikun sering kali harus menunggu lebih dari satu jam untuk memastikan limbah terlalu pekat itu tak mengalir ke sawah. Sebab jika itu terjadi, padi yang masih kecil akan mati. “Ini airnya kental, panas,” katanya.

Saat limbah yang masih cukup kental masuk ke selokan, Walikun membiarkannya terus mengalir hingga ke Sungai Bedog. “Kalau ada oplosannya (limbah yang tidak lagi terlalu pekat) itu saya berani [membiarkan masuk sawah].”

Dia juga sempat protes, tapi justru dianggap salah sendiri karena menggunakan air limbah untuk mengairi sawah. Jadi, perusahaan menganggap tanaman-tanaman yang rusak itu karena para petani keliru dalam irigasi, padahal limbah yang mencemari saluran air dan petani tak punya banyak pilihan.

“Kalau tanya ke pabrik... [katanya], 'Air jelek kok untuk mengairi sawah?” Sudah kalah suara. Kalah saya dengan orang besar.”

Atta Nurochman, Kepala Seksi Pengolahan Limbah dan Lingkungan Madukismo, mengakui persoalan ini. Hanya saja, masalah ini tidak bisa serta merta diselesaikan. “Semua itu perlu proses, tidak bisa serta merta ... bim salabim jadi,” ujar Atta. “Ini cuma bau dan warna, dan secara karakter itu full organik,” tambahnya.

Dia berkata sebenarnya sisa produksi alkohol, atau dalam bahasanya serat fermentasi dari fermentor', tak selamanya buruk. “Kalau sudah ada tumbuhan padi, jangan dialirkan. Padi itu kayak bayi kecil, masih rapuh,” ujar Atta. “Tapi kalau sebelum ditanami padi, diolah dulu, dipupuk, didiamkan, paling enggak 15 hari atau 20 hari, itu safe.”

“Serat fermentasi atau istilahnya kayak lumpurnya itu bagus. Itu nanti ditampung, ditangkap, dan akan kembali untuk diproses menjadi pupuk. Tapi, semua kembali ke bujet. Biayanya besar. Untuk menyelesaikan masalah pupuk saja miliaran,” katanya.

Limbah Pabrik Madukismo itu mengaliri kali kecil di selatan pabrik hingga ke Sungai Bedog. Limbah dibuang kurang lebih satu jam, setelah itu berhenti. Namun, beberapa jam kemudian, limbah kembali mengalir.

Yos Handani, warga sekitar Sungai Bedog, berkata saat ini limbah sudah berkurang bila dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. “Dulu limbah yang dibuang [membuat] airnya jadi hitam, ikan-ikan mati tapi masyarakat memungutinya lalu dimasak, digoreng,” kata Yos. “Tapi aku enggak tahu [apakah limbah yang membuat air sungai hitam] dari Madukismo apa enggak.”

Pada 2016, Yos dan beberapa komunitas lingkungan seperti Payung Hijau pernah mendatangi Madukismo. Dasar upaya dialog ini menurutnya adalah peraturan yang memungkinkan ada partisipasi masyarakat. Upaya ini gagal karena “ketika masyarakat berpartisipasi malah kayak jadi pintu konflik.”

“Kami bilang dengan perusahaan supaya, 'Ayo temukan solusi bersama-sama, supaya sama sama bisa hidup berdampingan'. Mau kami seperti itu, bukan mau berkonflik.”

Infografik HL Konflik PG/PS Madukismo

Infografik HL Konflik PG/PS Madukismo. tirto.id/Lugas

DLH Bantul Apresiasi Madukismo

Ketika ada warga sekitar pabrik yang terganggu atas limbah tebu dan spititus itu, Kepala Dinas Lingkungan Hidup Bantul Ari Budi Nugroho malah mengapresiasi pengolahan limbah Madukismo.

Menurutnya, pengolahan limbah saat ini sudah lebih baik bila dibandingkan tahun 2017, bahkan “sudah sangat baik berdasarkan laporan rutin setiap enam bulan dan pemantauan kami di lapangan.”

Saat disinggung soal limbah mengalir ke sungai kecil di belakang pabrik dan Sungai Bedog, Ari berkilah itu air sisa pendinginan mesin, bukan limbah. “Air juga dibutuhkan untuk pendinginan mesin. Di Madukismo masih ada air yang dikeluarkan. Koyok ketel ono banyune, sing panas dan sebagianya. Sebagian dibuang ke sungai.”

“Dilihat dari volume sudah jauh berkurang karena memang sebagian sudah diolah menjadi pupuk cair,” tambahnya.

Pernyataan Ari bertentangan dengan keterangan perusahaan yang mengakui masih ada limbah cair dari produksi alkohol yang dibuang ke Sungai Bedog meski jumlahnya diklaim sudah tak sebanyak tahun-tahun sebelumnya.

UPACARA ADAT MENGAWALI MUSIM GILING

Warga mengikuti kirab upacara adat 'cembengan' atau 'tebu manten' (pengantin tebu) di Pabrik Gula Madukismo, Bantul, DIY, 29 April 2016. ANTARA Foto/Andreas Fitri Atmoko/kye/16.

Berdasarkan hasil pemeriksaan sampel limbah yang kami ambil pada 6 Agustus 2020 dari saluran irigasi atau kali kecil di belakang dan di barat perusahaan, beberapa kandungan terbukti melebihi kadar maksimal.

Sampel di kali selatan menunjukkan tingkat kebutuhan oksigen hayati (BOD5) yakni 806Mg/L, padahal batas maksimalnya 60Mg/L. Begitu juga tingkat kebutuhan oksigen kimiwai (COD) mencapai 1620, padahal kadar maksimalnya 100Mg/L. Kadar TDS (jumlah padatan logam terlarut dalam air) masih di bawah maksimum tapi kadar pH (keasaman air) di bawah ketentuan.

Sampel limbah di kali barat juga demikian. Misalnya, tingkat BOD5 mencapai 1885Mg/L dan COD 3320Mg/L. Sedangkan untuk TDS masih di bawah kadar maksimum tapi kadar pH 4,1, di bawah angka maksimum 6,0-9,0.

Uji sampel ini menunjukkan dampak dari limbah pabrik terhadap kualitas air di sekitarnya sekaligus yang membikin warga seperti Paliyem kesulitan mendapatkan air layak dan meningkatkan risiko penyakit.

=========

Tulisan ini merupakan hasil karya Nur Hidayah Perwitasari dan timnya melalui Program Virtual Environmental Data Hackathon 2020 yang didukung oleh Indonesian Data Journalism Network & Internews' Earth Journalism Network.

Baca juga artikel terkait PENCEMARAN LINGKUNGAN atau tulisan lainnya dari Nur Hidayah Perwitasari

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Nur Hidayah Perwitasari
Penulis: Nur Hidayah Perwitasari
Editor: Rio Apinino