Menuju konten utama

Bau Amis Pembangunan Gedung RSCM Kiara

Gedung PKIA di RSCM itu diberi nama Gedung Kiara, terdiri dari 12 lantai dan 2 rubanah. Dibangun sejak 2011, diresmikan Presiden SBY 2014, tapi hingga  kini pembangunannya belum selesai.

Bau Amis Pembangunan Gedung RSCM Kiara
Ilustrasi PKIA Kiara RSCM. tirto.id/Lugas

tirto.id - Gedung Kiara letaknya di sudut depan paling timur komplek Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), di Jakarta Pusat. Meski berada di paling pojok komplek, gedung Kiara ramai pengunjung tiap hari. Statistik pengunjungnya per hari bisa sampai 200 hingga 350 orang.

Sebagai Pusat Kesehatan Ibu dan Anak (PKIA), otomatis pasien yang paling sering mondar-mandir adalah anak-anak dan orang tua mereka. Tak jarang anak-anak yang datang ke sana adalah mereka dengan penyakit akut: kanker, talasemia, dan lainnya.

Sayangnya meski sudah banyak pasien, gedung Kiara sejatinya belum siap digunakan. Bangunan itu belum sepenuhnya jadi, namun tidak ada orang menyadarinya.

“Saya enggak tahu kalau (gedungnya) belum jadi. Saya pikir sedang direnovasi,” kata salah satu orangtua pasien saat kami tanyai secara acak.

“Mungkin sedang renovasi,” kata orangtua pasien lain, di waktu berbeda. Ia sadar kalau beberapa titik lubang lift di sana ditempeli triplek dan tidak bisa diakses.

Dari luar, gedung Kiara memang tampak utuh seperti gedung-gedung lain di kompleks RSCM. Padahal, sejak direncanakan pada 2010, dibangun pada 2011, pembangunannya sampai saat ini belum rampung. Tak pernah selesai, sehingga tak bisa disebut melakukan renovasi. Dari 12 lantai dan dua rubanah dengan total luas 68 ribu meter persegi itu, tak sampai separuhnya yang bisa dipakai.

Saat diresmikan pada September 2014 oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), hanya lantai I dan II yang diaktifkan: Lantai I untuk melayani Unit Penunjang Medik, IGD Anak, loket pendaftaran, serta Poli VIP Ibu dan Anak; sementara lantai II dibuka untuk melayani Poli Anak dan Ruang Transfusi Darah untuk pasien talasemia.

Pada 2016, lantai VIII dibuka untuk rumah singgah keluarga pasien, atas kerja sama dengan Rumah McDonald House Center. Namun, lantai lainnya sama sekali tak aktif, kecuali lantai 11 yang dipakai pihak teknisi gedung sebagai kantor.

Kami sempat bertanya pada Direktur Utama RSCM dokter Lies Dina Liastuti, yang hanya menjawab singkat.

“Konfirm baru buka beberapa lantai. Silakan hubungi Direktur Umum kami saja dulu,” jawab dokter Lies, 29 Maret 2019 lalu. Ia tidak menjawab pertanyaan kami mengenai penyebab belum dibukanya sejumlah lantai di PKIA Kiara.

Kami juga sempat bertemu Direktur Umum dan Operasional RSCM pada saat itu, dokter Surahman Hakim. Ia menjelaskan bahwa belum dibukanya sebagian besar lantai di PKIA Kiara lantaran belum dibangunnya sistem yang mendukung pelayanan rumah sakit.

“Bangunannya sudah siap tapi sistemnya belum ter-install. Misalnya saja, sistem NICU dan PICU dan sejumlah teknologi lain,” jelas Surahman, 29 Maret 2019 tahun lalu.

Surahman mengakui pihaknya kekurangan anggaran untuk segera memasang sistem yang dimaksud. Salah satu penyebabnya, menurut versi RSCM, anggaran Gedung Kiara dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes) sejak awal pembangunan hanya dipatok per tahun. Artinya, rumah sakit itu harus terus mengajukan anggaran tiap tahun.

“Jadi tidak sekaligus hingga proyek ini benar-benar selesai. Makanya bisa kekurangan anggaran. Sekarang sudah bisa multiyears contract, maka dari itu kami sedang mengajukan anggaran melalui Kemenkes,” imbuh Surahman.

Multiyears contract adalah jenis kontrak pembangunan yang bisa dilakukan dalam batas tahun tertentu, misalnya dua atau tiga tahun, dengan catatan harus selesai di rentang waktu tersebut.

Maret 2019 lalu, saat kami mencoba ke beberapa lantai PKIA, ternyata tak semuanya bisa diakses, kecuali dua lift di depan kantor Manajemen Kiara (lantai I) dan dua lift di dekat ruang pengambilan obat di utara gedung. Semua lubang lift yang belum diisi ditutupi triplek. Hanya lift karyawan dekat tangga emergency yang bisa diakses ke lantai lain.

Saat itu, lantai dua rubanah PKIA Kiara juga terpantau tergenang banjir dan memang belum dibuka untuk umum. Kata salah satu pekerja yang kami temui, lantai rubanah itu memang rentan banjir karena dindingnya sudah bocor.

Menanggapi hal itu, dokter Surahman menjamin kondisi itu masih aman untuk pasien ataupun pengunjung rumah sakit. Begitu pun saat Tirto tanyai menyoal lubang lift yang hanya tertutup triplek.

“Coba lihat gedung lain. Sama. Ada yang banjir juga basement-nya. Kami sudah diaudit dan hasilnya masih aman kok,” kata Surahman kala itu.

Tiga bulan kemudian, pada Juni 2019, Lokataru—kantor hukum dan HAM—melaporkan dugaan korupsi proyek pembangunan PKIA Kiara ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Lengkap beserta tumpukan daftar bukti dokumen-dokumen pembangunan gedung Kiara sejak perencanaan hingga tahap VII.

Kami kemudian mempelajari lima folder dokumen—setebal lebih dari dua ribu halaman itu, dan mencoba mencari jawaban. Bau amis dari gedung yang tak kunjung jadi itu ternyata sudah keluar dari komplek RSCM.

Kematian Tukang Ojek

Peresmian gedung Kiara di RSCM, September 2014 lalu meriah. Presiden SBY yang meresmikan tepat di hari ulang tahunnya, 9 September. Foto tangis haru Presiden SBY dan mendiang Ibu Negara Ani Yudhoyono juga masih ada di internet, saat mendapat kado dari seorang anak penderita kanker, pasien di rumah sakit itu.

Harapan pada PKIA Kiara memang besar. Status RSCM sebagai Rumah Sakit Umum Pusat Nasional (RSUPN) alias rumah sakit pemerintah, membuatnya jadi rumah sakit rujukan utama di Indonesia, termasuk untuk layanan buat perawatan ibu dan anak.

Gedung 12 lantai itu, dalam perencanaannya akan diisi mulai dari unit transfusi thallasemia, poli kebidanan, hematologi, hepatologi, gastrologi, layanan EEG dan USG, hingga layanan kemoterapi.

Buat negara, proyek ini adalah kewajiban yang realisasinya dicicil lewat APBN jatah Kemenkes. Buat para pasien anak, terutama mereka yang dari ekonomi ke bawah, eksistensi Kiara adalah harapan. Sehingga kehadirannya memang ditunggu-tunggu banyak pihak.

Namun, yang tak banyak diketahui orang, Gedung Kiara masih dalam tahap pembangunan ketika diresmikan. Tepatnya, akhir pembangunan tahap V. Artinya, keseluruhan struktur gedung dan finishing bagian luar telah berdiri lengkap: 12 lantai dan 2 rubanah. Namun, interior alias bagian dalam gedung yang dilengkapi hanya di lantai I dan II, dua lantai yang dioperasionalkan.

Itu berarti, karena pembangunan yang belum selesai, pelayanan di Kiara akan berjalan di tengah penyelesaian kontruksi lantai-lantai berikutnya. Bukan situasi ideal buat proses penanganan kesehatan. Alasan itu pula yang akhirnya membuat Poli Kebidanan tak jadi diletakkan di Gedung Kiara.

Keputusan meresmikan Kiara juga makin aneh, mengingat pada Januari 2014, pembangunannya sempat dihentikan karena sebuah kecelakaan yang menewaskan seorang tukang ojek.

Dedi Supriadi (35) tewas tertimpa bahan material pembangunan Kiara pada 10 Januari 2014. Dilansir dari Liputan 6 keluarga korban mendapatkan kabar bahwa pihak RSCM tidak akan bertanggung jawab atas kejadian nahas tersebut. Alasannya, PT Waskita selaku pihak kontraktor pada tahap pembangunan saat itu yang akan memberikan santunan pendidikan bagi anak-anak korban.

Kematian Dedi juga membuka tabir yang lebih mengejutkan tentang Kiara. Ternyata, pembangunan gedung itu tidak memiliki izin pembangunan (IMB). Sehari kemudian, gedung itu akhirnya disegel oleh Dinas Pengawasan dan Penertiban Bangunan (P2B) Pemprov DKI Jakarta.

Kepala Sudin P2B Jakarta Pusat Elisabeth Ratu Rant, waktu itu menyebut alasan penyegelan adalah tidak adanya IMB gedung tersebut. Namun begitu, ia tidak menyebutkan kenapa proyek itu baru disegel setelah jatuh korban jiwa.

“Bangunan tersebut izinnya belum selesai diproses,” ujar Ratu, 11 Januari. Pihaknya, tambah Ratu, meminta kepada pihak RSCM untuk mengurus perizinan proyek bangunan gedung baru itu. “Jadi kita minta izinnya diselesaikan terlebih dahulu,” tegasnya.

Direksi RSCM juga bertindak cepat. Lewat surat nomor 1082/TU.K/41/I/2014, mereka meminta kontraktor untuk menghentikan sementara kegiatan pembangunan per tanggal 13 Januari 2014, karena ingin mengurus IMB. Surat ini juga ditembuskan ke Sudin P2B sebagai bentuk keseriusan mereka.

Sepuluh hari kemudian, P2B DKI Jakarta mengeluarkan surat izin pendahuluan struktur menyeluruh, yang ditandatangani Kepala Dinas P2B Jakarta I Putu Ngurah Indiana. Fungsinya sebagai IMB yang belum bisa dikeluarkan, untuk memperbolehkan pembangunan Kiara.

RSCM sendiri tak kena sanksi apa pun terkait kematian Dedi, yang dianggap terjadi karena kecelakaan belaka.

Kerentanan yang Dirahasiakan

Keputusan melanjutkan pembangunan sambil mengoperasionalkan lantai I dan II Gedung Kiara akhirnya jadi buah simalakama. Sebagian gedung yang aktif memang mulai bisa digunakan untuk menolong pasien, tapi bukan tanpa risiko. Apalagi masalah keselamatan para pasien dan pekerja di gedung itu.

Temuan kami beberapa lantai yang belum dipakai juga mulai mengalami kerusakan yang membahayakan keselamatan dan memengaruhi fungsi operasional Kiara.

Dua bulan setelah diresmikan misalnya, terjadi kebocoran pada 21 November 2014, akibat mampetnya floor drain dan keran wastafel serta keran shower di kamar mandi Ruang Anasthetic Lounge yang tidak ditutup. Insiden ini menyebabkan kebocoran di ruang poli umum dan konseling gizi.

Dari dokumen yang dimiliki Lokataru, kami juga akhirnya bisa membuktikan bahwa genangan air yang ada di rubanah 2 memang tidak cuma terjadi sekali. Pada Maret 2015—tak kurang dari lima bulan pasca-peresmian—sebagian dinding di area parkir rubanah 2 roboh karena tingginya tekanan air tanah, akibatnya dinding ramp pun jebol.

Solusinya?

Kontraktor saat itu (tahap VII), PT PP Pracetak, melapisi bagian yang roboh dengan lapisan baru. Dinding palsu itu dibuat dengan tujuan menutupi ketidaksempurnaan dinding penahan tanah yang bocor dan miring. Padahal, dinding palsu tidak dibenarkan dalam standar rumah sakit versi internasional (JCI) dan nasional (KARS). Akhirnya, dinding palsu itu dibongkar.

Usia bangunan yang makin tua juga menyebabkan banyak bagian dari Kiara yang mulai rusak, karena tidak terawat meski belum dipakai. Dalam dokumen analisis kondisi Kiara untuk operasionalisasi per Februari 2017, banyak plafon di sejumlah lantai jebol dan menyebabkan kebocoran. Ditemukan pula tata cahaya dan udara di lantai I ternyata belum terselesaikan.

Kondisi lift yang bisa diakses juga mengkhawatirkan. Beberapa kali lift mengalami kerusakan yang membahayakan pasien dan pekerja di gedung itu. Berdasarkan surat hasil pemeriksaan PT. Mitsubishi Jayak Elevator dan Escalator per tanggal 25 Oktober 2016, menemukan bahwa elevator merk mereka nomor 1, 2, 3, dan 4 yang terpasang di Gedung Kiara membahayakan keselamatan dan kesehatan kerja.

Kondisi itu melanggar sejumlah peraturan Keselamatan Kerja, seperti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 Bab III Pasal 2 Ayat 1; SNI 03-1718-1989; SNI 03-6573-2001; dan SNI 03-7017.1-2004.

Catatan-catatan tentang kerusakan dan perawatan Gedung Kiara memang terlampir dalam dokumen Lokataru. Tapi, tak sulit untuk membuktikan keringkihan Gedung Kiara. Dari 7 kali terakhir kami mengunjungi Kiara sejak September 2019 sampai Februari 2020, tangga eskalator di lobi utama cuma sekali benar-benar berfungsi keduanya. Sering kali yang kami temui, salah satunya dinonaktifkan dengan tanda peringatan sedang dalam pemeriksaan, atau keduanya sama sekali tidak menyala.

Begitu juga dengan lift yang bisa diakses pasien di dekat ruang pengambilan obat. Salah satunya sering kali dipasangi tanda tak bisa digunakan.

Kami berusaha mengonfirmasi kondisi Kiara pada Direksi RSCM. Namun, hingga kini tak ada satu pun yang mau ditemui.

Kami sudah menghubungi dokter Arif Sadad, selaku Direktur Umum dan Operasional. Namun ia beralasan baru menjabat dan akan menyarankan untuk menghubungi Dirum Operasional sebelumnya, dokter Surahman Hakim. Namun, saat kami bilang juga ingin mengonfirmasi beberapa hal yang juga terjadi di masa kepemimpinannya, ia bilang akan mengoordinasikan dulu dengan direksi lain, terutama Direktur Utama dokter Lies.

Sementara dokter Lies dan dokter Surahman Hakim menyarankan untuk menjadwalkan wawancara dengan Humas RSCM dokter Ananto. “Untuk tertib administrasi,” kata Surahman.

Hingga saat ini, Ananto bilang masih berusaha menemukan jadwal wawancara. Respons terakhirnya, “Saya masih nunggu ketemu ibu direktur [dokter Lies],” pada 31 Januari kemarin.

Kami juga mencoba menghubungi dokter Heriawan Soejono, Dirut sebelum dokter Lies untuk meminta konfirmasi sejumlah hal yang terjadi di kepemimpinannya. Ia adalah Dirut RSCM saat Kiara diresmikan pada 2014. Namun ia sempat bilang tidak bekerja di Kiara, dan tidak merespons lagi.

Infografik HL PKIA Kiara RSCM 1

Bau amis dari gedung PKIA RSCM. tirto.id/Lugas

Audit dari PUPR

Kami juga mencoba mengonfirmasi keterlambatan progres pembangunan Kiara pada Kementerian PUPR, selaku pihak yang mengawasi proyek dan pihak yang memberikan izin proposal membangun. Diana Kusumastuti Direktur Bina Penataan Bangunan, Ditjen Cipta Karya Kementerian PUPR bilang kalau masalah utama lambatnya penyelesaian gedung Kiara adalah pembiayaan yang dibikin bertahap-tahap per tahun.

“Sudah salah sejak awal sebenarnya, karena pembiayaannya bertahap-tahap per tahun. Tapi itu kan bukan di kita [PUPR],” kata Diana.

PUPR sudah pernah mengaudit, lewat Pusat Litbang Perumahan dan Permukiman (Puslitbangkim). Rencana pengauditan itu datang dari RSCM, kata Diana. Hasilnya, mereka menemukan masalah-masalah di atas, termasuk kebocoran plafon, pemasangan lubang udara yang belum sempurna, konstruksi lubang lift yang kekecilan sehingga tak muat untuk bed transportation pasien, dan sebagainya.

“Ternyata ada bocor, ada apa, dan sebagainya. Nah itu kan istilahnya ada kesalahan-kesalahan dalam pelaksanaan konstruksi. Mungkin ada kesalahan pelaksanaan yang enggak sesuai perencanaan,” ungkap Diana.

Semua itu disampaikan dalam rapat hasil audit yang diselenggarakan di Hotel Dharmawangsa, September tahun lalu. PUPR menyatakan butuh sekitar Rp313 miliar lagi untuk menyelesaikan Kiara sampai utuh, dengan syarat harus menggunakan multiple years contract. “Tapi, keputusan itu ada di Kemenkes,” tambah Diana.

Namun, hingga 3 Februari kemarin, Diana mengaku belum menerima respons atas usulan itu dari pihak RSCM.

Menurut salah satu sumber Tirto yang tak bisa disebutkan identitasnya, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) juga sempat melakukan audit proyek Kiara pada 2017. Saat kami konfirmasi ke BPKP, mereka membenarkan adanya audit tersebut, tapi tak bisa membagikan hasilnya ke media.

Berdasarkan informasi sumber Tirto, hasil audit menyebutkan proses pembangunan itu merugikan sampai sekitar Rp60 miliar.

Selama proses pembangunan sejak perencanaan 2010 sampai tahap VII di 2016, total pembiayaan gedung Kiara adalah Rp561,5 miliar.

Haris Azhar dari Lokataru bilang, proses pembangunan Kiara yang tak kunjung selesai ini benar-benar mencurigakan. “Dari waktunya saja sudah aneh. Sudah terlalu lama. Masa tidak ada satu pihak pun yang sadar kalau dana sebesar itu berpotensi disalahgunakan,” katanya.

Baca juga artikel terkait RSCM atau tulisan lainnya dari Aulia Adam

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Aulia Adam & Restu Diantina Putri
Penulis: Aulia Adam
Editor: Mawa Kresna